You are here:

Dabusi dan Sarakhsi

Ada dua pendekatan dalam merumuskan metode istinbath hukum. Pertama, Imam Abu Hanifah tidak menulis kitab ushul al-fiqh. Beliau berfatwa dulu dengan argumentasi yang sangat detil. Baru belakangan metode beliau berijtihad dituliskan oleh para murid dan pengikutnya. Kasus dulu, baru kemudian prinsip hukum dirumuskan secara induktif.

Corak kedua adalah yang dilakukan oleh Imam Syafi’i. Beliau menulis al-Risalah yang menguraikan prinsip-prinsip hukum dalam berijtihad. Kemudian fatwa yang beliau keluarkan ditulis dalam kitab al-Um. Inilah pendekatan deduktif, yang juga dikenal dengan corak Mutakallimun, Prinsip hukum terlebih dulu yang ditetapkan, baru kemudian diaplikasikan di dalam kasus.

Dalam dunia perbandingan hukum, pendekatan pertama lebih cocok dengan sistem hukum common law yang bertumpu pada case law. Sedangkan pendekatan kedua lebih mirip dengan sisten hukum Eropa kontinental atau civil law.

Rumee Ahmed dalam bukunya Narratives of Islamic Legal Theory (Oxford, 2012) membuktikan bahwa pendekatan pertama ala mazhab Hanafi itu tidak sekedar menjustifikasi fatwa-fatwa Imam Abu Hanifah –seperti kritikan sebagian pihak, tetapi juga membuka ruang terobosan baru dalam membuat prinsip-prinsip hukum untuk lahirnya ijtihad baru.

Rumee Ahmed membandingkan dua kitab Ushul al-Fiqh yang menjadi rujukan utama mazhab Hanafi. Kitab pertama, Taqwim al-Adillah fi Ushul al-Fiqh ditulis oleh Abu Zayd al-Dabusi (wafat tahun 1039). Kitab kedua berjudul Ushul al-Sarakhsi, yang ditulis oleh seorang ulama besar dalam mazhab Hanafi yang digelari Syamsul A’immah, yaitu Abu Sahl al-Sarakhsi (wafat tahun 1090)

Al-Dabusi bukan saja dianggap peletak dasar dari ʿilm al-khilāf, cikal bakal ilmu fiqh perbandingan (fiqh muqarin), tapi juga seorang ulama yang sangat progresif. Ibn Khaldun mengemukakan kekagumannya akan al-Dabusi yang mengembangkan lebih jauh teori qiyas dalam mazhab Hanafi. Imam al-Ghazali dalam al-Mustasfa juga memuji gaya penulisan al-Dabusi.

Rumee Ahmed bercerita bagaimana para gurunya di India terkejut saat mengupas kitab Taqwim al-Adillah karya al-Dabusi. Hari pertama, gurunya protes bahwa jangan-jangan kitab ini bukan ditulis al-Dabusi yang ulama hebat itu. Hari kedua, gurunya protes bahwa pandangan al-Dabusi banyak berbeda dari mazhab Hanafi yang dia kenal. Hari ketiga, gurunya tidak tahan lagi dan mengatakan jangan membaca kitab ini, karena isinya sudah menyimpang dari Islam.

Begitulah ustaz jaman now, banyak yang terkaget-kaget ketika membaca pemikiran klasik para ulama yang luar biasa progresifnya bahkan untuk ukuran jaman sekarang, padahal ulama klasik semisal Ibn Khaldun dan al-Ghazali memuji karya al-Dabusi. Al-Dabusi juga menulis kitab al-Amad al-Aqsa yang bercorak sufi. Dia ahli ushul al-fiqh dan tasawuf sekaligus –spesies yang langka saat ini.

Adapun Sarakhsi dikenal sebagai pemuka mazhab Hanafi yang bukan saja alim dalam bidang metodologi tapi juga menulis 30 jilid kitab fiqh yang berjudul al-Mabsut. Abah saya dulu berpesan, “mereka yang belum membaca kitab al-Mabsut maka pandangannya dalam fiqh belum luas”. Dia dipenjara 15 tahun karena mengkritik Khalifah dan dengan memorinya yang luar biasa mendiktekan isi kitab al-Mabsut selama dalam penjara itu.

Upaya Rumee Ahmed, saat ini Professor di University British Columbia, Canada, dalam membandingkan dan mendiskusikan isi kedua kitab di atas sangatlah menarik. Perdebatan Ushul al-Fiqh (metodologi hukum islam) sangatlah kompleks dan dinamis. Masing-masing mazhab memiliki metodologi yang berbeda yang akhirnya berujung pada perbedaan hasil ijtihad mereka.

Belakangan ini banyak orang yang seenaknya mengeluarkan fatwa. Parahnya lagi fatwa itu mereka keluarkan hanya untuk menyerang pihak lain. Mereka yang berani berfatwa tanpa menguasai ilmu Ushul al-Fiqh ada baiknya merenung apa sudah siap terkena ancaman Rasulullah SAW: “Orang yang paling berani di antara kalian dalam berfatwa adalah orang yang paling berani masuk neraka” (HR. Ad-Darimi).

Tabik,

Nadirsyah Hosen
Penulis buku Tafsir al-Quran di Medsos