You are here:

Ada Apa Dengan Kiai

Anak muda itu bersungut-sungut dan curhat ke Ujang: “Kenapa ceramah dari kiai sepuh tadi itu kok isinya cerita saja, jarang sekali kutipan dalil ayat dan hadisnya.”

“Terus? Apa lagi?” tanya Ujang

“Iya Kang….begitu diminta baca doa, mbah kiai itu juga doanya pendek-pendek saja, gak bisa bikin jamaah menangis kayak dzikirnya ustad yang sering tampil di tv itu lho”

“Masih ada? keluarkan saja…ayo apalagi?”

“Satu lagi Kang….kok mbah kiai tadi juga pakaiannya sederhana dan gak pakai sorban melingkar di atas kepalanya, atau tangannya gak memegang biji tasbih. Saat diajak bicara juga biasa saja gak kelihatan kayak orang alim yang sedikit-sedikit menyebut subhnallah…masya Allah. Bahkan tadi malah guyonan gitu sama panitia. Beliau beneran kiai gak sih?”

Ujang meletakkan hp nya di atas meja. “Jundi, ente dengerin yah….soalnya saya cuma ngomong ini sekali. Tidak ada siaran ulangan,” ujar Ujang dengan suara yang mendadak terdengar berat dan berwibawa ala vokalis Jamrud.

Jundi, anak muda yang curhat itu, mendadak tegang.

Sedetik kemudian Ujang tertawa ngakak. “Nah kan…baru saya ubah gaya saya bicara dan pasang muka jaim, ente sudah tegang. Para Kiai itu gak mau jaim dalam tutur kata maupun sikap kesehariannya, karena umat bisa tegang terus. Para Kiai itu ingin akrab dan dekat dengan umat, bukan malah menciptakan jarak dengan berbagai atribut ke-kiai-annya. Ada kalanya para Kiai itu pakai sorban, atau cuma peci, atau malah pakai blankon, topi cowboy, atau topi pet gaya anak muda. Kiai yang gondrong juga ada lho. Ilmu mereka luwas, dan sikap serta penampilan mereka luwes.”

Jundi mulai manggut-manggut.

Ujang meneruskan gaya kultumnya. “Para Kiai itu tahu betul hadis Nabi yang mengatakan Allah tidak melihat penampilanmu, tapi melihat isi hatimu. Innallaha la yanzhuru ila ajsamikum wa la ila suwarikum, walakin yanzhuru ila qulubikum.”

“Ah mendadak pakai dalil deh diriku ini” mbatin Ujang.

Ujang lantas membuka hpnya dan menunjukkan kepada Jundi sejumlah foto para Kiai yang penampilannya santai. Ada foto santai Mbah Muslim Imampuro (Allah yarham), ada foto Kiai Mustofa Bisri yang selepas menolak menjadi Rais Am wajahnya makin bersinar dan terlihat sehat berseri tanda tidak punya beban berat. Beliau enteng saja mau pakai topi, peci atau sorban. Dan foto Habib Luthfi, sang mursyid tarekat, yang dengan nyamannya pakai topi cowboy atau blankon.

“Kalau soal para Kiai jarang pakai dalil apa alasannya Kang?”

“Jundi, kalau soal dalil tanya sama santri….mereka dalam dua menit sudah bisa ngasih dalil yang kamu minta. Sekarang itu sudah ada software maktabah syamilah. Gampang banget nyari dalil. Justru kalau para Kiai ceramah, saya lebih fokus pada kisah dan cerita yang mereka sampaikan hasil pergumulan batin mereka berpuluh tahun mengajar dan mengabdi. Ini yang gak ada software-nya. Ini yang susah kita temukan. Justru ceramah modal para Kiai itu sudah refleksi seabrek-abrek dalil dan aplikasinya sehari-hari. Level para beliau itu gak lagi main dalil. Sama saja dengan level Jenderal bintang empat kok masih ditanya gimana caranya baris berbaris. Jenderal sudah mikir gimana menang perang kok ditanya dalilnya hadap kanan-hadap kiri.”

Ujang melanjutkan: “dulu Gus Dur juga ditanya kenapa kalau ceramah gak ngutip ayat dan hadis kayak penceramah yang lain. Kata Gus Dur: lha yang lain itu ngutip ayat dan hadis biar dipanggil kiai, sedangkan saya dari dulu juga sudah dipanggil Kiai.”

Jundi berusaha menahan senyum lantas tanpa sadar Jundi mengelus jenggotnya yang cuma lima lembar dan dipaksakan tumbuh itu. “Tapi mengapa doa mereka pendek saja Kang?”

“Doa itu bukan soal panjang atau pendek, atau berurai air mata. Doa itu soal bisikan kalbu yang langsung tersambung ke Arasy Ilahi. Para Kiai doanya pendek karena mereka sudah habis waktunya untuk mengajar santri dan mengurusi umat (ditambah lagi menjawab pertanyaan dan komentar di fesbuk). Nanti disepertiga malam, di saat semua terlelap, para Kiai berkhalwat dan bermunajat sendirian. Doa dan rintihan mereka panjang sekali saat itu. Sajadah mereka basah oleh tangisan. Tapi itu dilakukan di bilik tempat mereka berkhalwat. Bukan di depan umum dan disorot kamera tv.”

Jundi mengelus lagi jenggotnya. Ujang mulai kumat isengnya. “Jundi, nih duit dua puluh ribu untuk dirimu, beli yah obat penumbuh jenggot…biar lebatan dikit itu jenggot. Mau nyunnah kok tanggung gitu sih. Cuma lima lembar…udah gitu tumbuhnya kok berjauhan. Gak kompak blas…!”

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen