Ba’da sholat zuhur berjamaah di masjid jami’, Ujang merasa kehausan. Kakinya lantas melangkah ke warung Mpok Ruqayah. Ujang memesan es kelapa muda.
Pada saat yang bersamaan, seorang anak muda yang berjenggot tipis dan memakai celana cungkring (sekitar 10-15 senti di atas mata kaki) duduk disamping Ujang. Sambil tersenyum pada Ujang, anak muda yang bernama Jundi ini bertanya kepada Ujang, “Tadi malam akhi Ujang ikutan ratiban di kediaman Haji Yunus yah?”
“Iyah alhamdulillah saya ikutan bareng-bareng baca Ratib al-Haddad bersama Wak Haji”, jawab Ujang sebelum menyeruput es kelapa muda.
“Apa akhi Ujang tahu apa dalilnya ikut ratiban semacam itu?” Jundi bertanya sambil tersenyum.
“wah itu sih urusan Wak Haji…kata beliau ratiban ini kumpulan doa yang tentu saja ada dalilnya. Lha dalilnya itu apa dan bagaimana yah…tolong aja kang Jundi tanya langsung sama Wak haji Yunus”. Ujang nyerocos sambil tangannya mencomot pisang goreng di depannya.
“Itu namanya taqlid alias fanatisme buta. Agama melarang kita untuk taqlid semacam itu. Bukankah Pak Yunus itu manusia biasa yang bisa salah dan khilaf. Kok akhi Ujang mau saja ikut-ikutan sama beliau. Itu namanya menyembah Pak Yunus. Haram itu hukumnya!” suara Jundi mulai meninggi.
“wah…udara udah panas begini, kang Jundi kok malah bikin saya jadi gerah nih.” Ujang mengipas-ngipaskan pecinya ke arah tubuhnya.
“bukan begitu akhi…saya sekedar mengingatkan saja. Rasulullah SAW telah bersabda, ‘Aku tinggalkan dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama berpegang teguh dengan keduanya, yaitu: Kitabullah dan Sunnahku’. Jadi segala persoalan harus berdasarkan kepada Qur’an dan Sunnah. Nggak boleh hanya kata kiyai anu atau ulama sana atau cuma kata Pak Yunus.”
“bentar kang….” Ujang merubah posisi kakinya sambil kemudian mengangkat sedikit kain sarungnya. Ujang terus meneruskan, “Hadis yang tadi kang Jundi baca itu shahih atau dha’if?”
“Hadis-nya shahih ya akhi Ujang” jawab Jundi sambil memegang jenggotnya.
“O, ya? Akang tahu dari mana kalau itu hadisnya shahih?”
“Dari Syekh al-Albany. Beliau ini ulama besar…dalam kitab Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, beliau bilang hadis ini shahih.” Jundi lantas membuka catatannya. “Ya betul akhi…ini disebutkan dalam buku Syekh al-Albany juz 4, halaman 330”
Sambil membetulkan peci hitam yg sudah lusuh, Ujang bertanya lagi:
“sudah akang periksa argumennya al-Albany sampai beliau bilang hadis ini shahih? Misalnya dicek ulang gitu semua argumen beliau”
“Belum. Tapi Syekh al-Albany menyebutkan sumber-sumber rujukannya kok”
“Terus darimana akang bisa yakin kalau yang dilakukan Syekh al-Albany dalam mengatakan Hadis ini shahih itu benar?”
“Lho al-Albany kan ahli hadis, dia punya kualifikasi untuk itu,
masak dia bohong?” suara Jundi mulai meninggi. Dalam hatinya dia bilang, “ini orang kok ngeyel banget sih. Susah banget menerima sebuah kebenaran!”
“Ehmm…akang sudah taqlid dong sama Syekh al-Albany. Yang akang lakukan sama saja dengan kawan-kawan saya tadi malam yang mengikuti Wak Haji Yunus utk ratiban bareng tanpa mengkaji terlebih dahulu dalil dan argumen wak Haji Yunus. Kami melakukannya karena “percaya”
bahwa wak Haji Yunus itu ahli dalam bidangnya”
Sambil nyengir meniru gaya film james Bond yang ditontonnya saat layar tancep, Ujang meneruskan:
“Sama saja dengan saya kalau sakit pergi ke dokter. Apa yang dikatakan dokter saya percaya. Disuruh minum obat A atau B saya ikuti. Soalnya saya “percaya” akan otoritas dokter tsb. Saya nggak mau bilang begini, ‘Maaf dokter, saya butuh waktu untuk menguji apakah obat yg anda kasih itu benar atau tidak, saya harus cek dulu argumentasi anda utk mengatakan penyakit saya ini A dan bukan penyakit B”
Muka Jundi langsung memerah. Dia tidak menyangka Ujang yang sarung dan pecinya sudah lusuh dan wajahnya ndeso banget itu dengan telak menohok argumentasi Jundi.
Mpok Ruqayah, yang dari tadi cuma mendengarkan sambil menggoreng pisang, tiba-tiba ikutan nimbrung.
“Perasaan ane hadis yang tadi bang Jundi bacakan ada versi lainnya deh. Dulu Wak haji Yunus udah pernah menjelaskan saat ane ikutan pengajian di rumahnya”
“Enggak ada Mpok…hadisnya ya cuma ini. kalau ada versi lain, ya itu dha’if” jawab Jundi sambil membolak-balik buku catatannya.
“ah urusan dha’if apa kagak itu sih urusan orang sekolahan…bukan urusan ane…urusan ane sih dagang aja” Mpok Ruqayah tertawa sambil membetulkan posisi sendal jepitnya.
“Iya nih akang masih doyan aja sembarangan mendha’ifkan hadis”
“Soalnya kata murabbi saya begitu akhi”
“Tuh kan…ente taqlid lagi” Ujang kembali nyengir.
“Bukan…ini bukan taqlid. Ini namanya tsiqah pada qiyadah”
“ya sama aja dong…intinya kan tunduk dan patuh serta percaya pada pemimpin dan panutan kita. Saya taqlid sama Wak haji Yunus. Akang Jundi tsiqah sama murabbi. Intinya kan sama aja. Artinya sama-sama baik. Karena Wak Haji Yunus orang baik, dan Murabbi akang juga orang baik. Begitu kang…”
Di saat itu datanglah Haji Yunus sambil mengucapkan salam. Ujang dan Mpok Ruqayah lantas menceritakan dialog dengan Jundi tersebut. Jundi yang duduknya menjadi gelisah, ditepuk-tepuk bahunya oleh Haji Yunus. “Bagus…bagus…inilah pemuda harapan kita. Selalu bersemangat dalam menjalankan Din Allah ini”
“Nak Jundi kuliah dimana? tanya Haji Yunus dengan lembut.
“Di Universitas Prabu Siliwangi, jurusan akunting. Saya lagi buat skripsi Pak Yunus”
“Oh bagus…bagus…apa saat menulis skripsi itu Nak Jundi mencantumkan footnote yang isinya pendapat para pakar dan juga mengikuti petunjuk yang diberikan oleh pembimbing skripsi?”
“Tentu saja Pak. Dunia akademik memang seperti itu”
“Mungkin Nak Jundi belum tahu, ttulah tradisi ilmiah dalam Islam yang diadopsi oleh dunia intelektual modern saat ini. Tradisi merefer dan merujuk itu bisa dilacak dalam khazanah Islam.” Haji Yunus menjelaskan sambil memberi kode kepada Mpok Ruqayah utk membuatkan kopi.
“Wah jangan-jangan akang Jundi ini taqlid juga sama pembimbing dan para pakar yg dicantumkan dalam footnote skripsinya nih” Ujang nyeletuk sambil megang perutnya yang buncit.
Jundi tersenyum masam.
Haji Yunus melotot pada Ujang, tanda beliau kurang suka dengan Ujang yang menggoda Jundi. Lalu beliau menoleh kembali pada Jundi:
“Tadi hadis yang dibacakan oleh Nak Jundi itu bagaimana bunyinya dan bagaimana terjemahnya?” tanya Haji Yunus.
“Maaf Pak Yunus…saya hanya mencatat dari kumpulan materi pengajian. Kebetulan hadisnya ini sudah diterjemahkan.”
Ujang nyeletuk lagi:
“itu namanya akang bukan kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah…tapi kembali ke terjemahan al-Qur’an dan terjemahan Sunnah. Lha yang nerjemahin itu siapa? Kok akang percaya saja sama terjemahannya. Itu namanya akang taqlid sama terjemahan tersebut. Terjemahan Qur’an dan Hadis kan banyak macamnya. Cari aja di-google. Otong yang kawan saya aja bisa. Betul kan Wak Haji?”
Muka Jundi memerah kembali.
“Iya betul”, kata Haji Yunus, “tapi kamu jangan biasakan memojokkan saudara sendiri seperti itu. Kita semua kan sama-sama belajar.” tegur Haji Yunus.
“Maaf Wak Haji…” Ujang menundukkan pandangan matanya, sebagai tanda ia menerima teguran Haji Yunus. Lantas mata ujang melirik ke lantai. Tiba-tiba ia berseru panik.
“Lho Mpok Ruqayah…kok sendal saya hilang. Tadi kan masih di sini.” Ujang celingukan mencari sendal jepitnya.
“wah jangan-jangan sendal jepit saya hilang akibat adanya konspirasi Yahudi dan CIA untuk mencuri harta ummat Islam nih….” Ujang nyerocos sambil garuk-garuk kepala.
Mpok Ruqayah langsung nyengir….”masak Yahudi sama CIA ngurusin sendal jepit kamu yang jelek itu…Ujang…ujang…ada-ada aja sih!”
Haji Yunus pura-pura tidak mendengar dan memilih untuk menikmati kopinya. Jundi masih tersenyum kecut sambil melirik catatan pengajian yang berjudul, “ghazwul fikri antara yahudi-barat versus ummat Islam”
(reposting tulisan sekitar 11 tahun yang lalu)