[aswaja_big_letter]Salah satu kemusykilan dalam memahami Hadis adalah bagaimana memahami konteks Rasul bersabda dan bagaimana pula konteks perawi saat menceritakan apa yang mereka dengar dari Rasulullah. Ahlus Sunnah Wal Jamaah menyakini semua sahabat Nabi itu adil (kulluhum ‘udul), dalam arti mereka tidak mungkin berbohong atas nama Nabi. Jadi, kalau sudah sampai pada Sahabat, ilmu jarh wa ta’dil yang dipakai menilai kualitas perawi tidak lagi dipergunakan. Sahabat Nabi semuanya otomatis dianggap adil.[/aswaja_big_letter]
Bahwa kualitas Sahabat Nabi sebagai perawi tidak diragukan itu suatu hal yang saya terima sepenuhnya. Tetapi bukan berarti kita tidak boleh mengaji lebih jauh konteks sosial para Sahabat. Bukankah mereka juga manusia biasa yang sepeninggal Nabi meriwayatkan untuk kita perkataan dan perbuatan atau diamnya Nabi. Sekali lagi, yang ingin kita pahami adalah konteksnya. Memahami konteks akan membantu kita untuk memahami teks.
Repotnya, kita tidak punya catatan harian dari para Sahabat. Itu sebabnya kita harus membaca sejarah biografi mereka, atau melihat sejumlah indikasi dalam riwayat yang mereka sampaikan untuk merekonstruksi ulang konteks periwayatan Hadis. Minimal kita berusaha memahami asbabul wurudnya sebelum mengeluarkan fatwa berdasarkan teks Hadis. Itu sebabnya membaca teks Hadis harus dilengkap dengan paling tidak membaca penjelasan para ulama akan maksud Hadis, sebagaimana ayat Qur’an pun sebaiknya tidak langsung kita pahami tanpa menyelami konteks dan kedalaman maknanya yang dijabarkan oleb para ulama.
Saya ingin memberi contoh bagaimana kemusykilan memahami satu riwayat yang sudah sangat populer tapi kalau kita baca teks lengkapnya dan kita pelajari biografi Sahabat yang meriwayatkannya, dan kemudian kita bandingkan dengan riwayat lain, maka kita didorong untuk melakukan refleksi ulang atas pemahaman kita selama ini. Bukan hendak meragukan, tapi justru untuk memperkaya pemahaman kita.
Imran bin Hussain adalah seorang sahabat Nabi yang meriwayatkan sabda Nabi bahwa sebaik-baik umat adalah generasi yang hidup pada masaku, kemudian mereka yang datang setelahnya, lantas masa setelah mereka. Hadis “khairu ummatiy qarniy” ini tertera dalam kitab Shahih Bukhari, Hadis Nomor 2457 dalam Bab Tidak boleh bersaksi palsu; Nomor 3377 dalam Bab Keutamaan Sahabat Nabi; nomor 3415 dalam Bab Waspada dari gemerlap dunia; Nomor 6201 dalam Bab Dosa bagi yang tidak membayar nazar. Pencantuman teks Hadis yang sama dalam berbagai bab yang berbeda mengisyaratkan betapa teks Hadis ini mengandung makna yang beragam.
Sebenarnya riwayat Imran bin Hussain di atas belum lengkap. Masih ada terusannya yang jarang disebut para penceramah padahal kalimat selanjutnya mengindikasikan hal penting. Nabi melanjutkan sabdanya, dalam riwayat ini, bahwa “kemudian akan datang setelah masa kalian suatu kaum yang mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi, dan mereka berkhianat sehingga tidak bisa dipercaya, mereka memberi peringatan tanpa diminta memberikan fatwa dan ciri dari mereka itu berbadan gemuk.” Dalam teks di bab lain disebutkan tambahan “mereka bernazar tapi tidak memenuhi nazarnya”.
Membaca kalimat lanjutan di atas memberi kita pemahaman baru bahwa keutamaan 3 generasi awal itu bukan semata-mata soal keimanan mereka tapi juga soal penegakkan hukum dan moral. Generasi selanjutnya menjadi redup sinarnya karena mereka telah memainkan kesaksian, nazar, dan fatwa sehingga mereka bergelimang harta duniawi yang dicirikan dengan tubuh mereka yang gemuk sebagai simbol kemakmuran. Ini yang berbeda dengan 3 generasi awal.
Pemahaman semacam ini semakin diperkuat dengan konteks biografi perawi, yaitu Imran bin Hussain. Beliau sahabat Nabi yang diutus ke Yaman sebagai qadhi, lantas di jaman khulafa al-rasyidin beliau menjadi qadhi (hakim) di Kufah, dan kemudian memgundurkan diri karena melihat kesaksian palsu. Imam Bukhari dan juga Imam Muslim meriwayatkan teks Hadis senada melalui jalur periwayatan Abdullah bin Mas’ud. Ternyata sahabat Nabi yang satu ini juga seorang hakim di Kufah. Boleh jadi kedua sahabat Nabi SAW ini menceritakan sabda Nabi ini dalam suasana duka, yaitu mereka mengenang masa-masa indah bersama Nabi, dan mereka melihat indikasi degradasi penegakkan hukum dan moral pada masa mereka tinggal.
Secara politik, Ibnu Mas’ud berbeda pandangan dengan Khalifah Utsman. Maka bisakah sabda Nabi masaku (qarni), kemudian setelahnya dan setelahnya, dipahami merujuk kepada masa Nabi hidup, kemudian Khalifah Abu Bakar dan Khalifah Umar? Para ulama memang berdiskusi mengenai berapa lama ‘qarn’ itu. Secara bahasa maknanya rentang waktu dari 10 hingga 100 tahun. Maka ulama umumnya merujuk tiga periode itu sebagai masa 300 tahun yang lantas dipahami sebagai generasi salafus salih, yaitu sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in. Akan tetapi kita tahu sejarah masa 3 abad itu bagaimana pergolakan bahkan peperangan internal umat telah merobek tenun keummatan. Masa 300 tahun itu tidak sepenuhnya ideal.
Bagaimana kalau kita kembalikan kepada riwayat Imran bin Hussain? Imam Bukhari justru mencatat keraguan Imran apakah setelah Nabi menyebut masa/periode beliau kemudian Nabi menyebut dua sampai tiga kali masa setelahnya. Dengan kata lain, kalau kita ikuti alur pemahaman bahwa sebenarnya yang dimaksud itu adalah Nabi menyebut masanya dan masa kedua khalifah awal, maka terkesan sahabat Imran tidak yakin bahwa masa Khalifah Utsman ikut disebut sebagai masa terbaik.
Ini hanya contoh sebuah cara lain untuk memahami Hadis Nabi dengan mempertimbangkan konteks sosial politik dan biografi sahabat Nabi. Benar atau tidaknya, Wa Allahu A’lam bi al-Shawab!
Tabik,
Nadirsyah Hosen