You are here:

Mengolok Allah dan Rasul: Tafsir Surat at-Taubah Ayat 65-66

mecca

Ada yang bertanya mengenai Surat at-Taubah ayat 65-66 dimana tercantum pihak yang mengolok-olok Allah dan RasulNya, dan Allah menolak maaf mereka, bahkan mereka dinyatakan kafir sesudah beriman. “Tidakkah ini berbeda dengan penjelasan Anda mengenai lemah lembutnya sikap Nabi, Gus?”

Ini jawaban saya.

Pertama, kita harus mengerti kandungan umum surat at-Taubah. Kedua, kita harus menyimak konteks ayat 65-66 dalam narasi surat at-Taubah. Terakhir, kita harus paham pula konteks turunnya ayat 65-66 tersebut.

Pertama, surat at-Taubah secara umum berisi pembatalan perjanjian antara umat Islam dengan kaum musyrikin saat itu. Itu sebabnya sementara ulama menjelaskan mengapa surat ini adalah satu-satunya surat yang tidak diawali dengan basmalah. Di dalamnya juga dibahas mengenai kisah orang munafik dalam perang Tabuk. Intinya, narasi surat at-Taubah memang berisi kecaman terhadap orang musyrik dan munafik.

Kedua, ayat 65-66 berada pada bagian kelompok keenam dari surat at-Taubah, sebagaimana dijelaskan oleh Tafsir al-Mishbah. Kelompok ayat ini dimulai dari ayat 32 sd 72. Memahami ayat 65-66 tentu harus memahami narasi utuh dimulai dari ayat 32-72, jangan hanya memahaminya pada ayat 65-66.

Kumpulan ayat 32-72 ini berbicara mengenai keengganan orang munafik untuk ikut perang Tabuk pada tahun 630 M atau tahun 9 H. Ini adalah perang melawan kerajaan Bizantium Romawi —negeri super power pada masa itu.

Pada musim panas tahun 9 H umat Islam mendengar pergerakan pasukan Bizantium ke wilayah Hijaz. Nabi memerintahkan umat untuk bersiap pergi perang. Dalam narasi ayat 32-72 diceritakan bagaimana sejumlah orang munafik meminta ijin Nabi untuk tidak berperang. Macam-macam modus mereka. Ada yg mengaku tidak akan tahan dengan kecantikan perempuan romawi. Ada yang mau menyumbang harta saja, asal tidak berangkat, dll.

Kondisi saat itu memang benar-benar ujian keimanan. Berperang di musim panas, dengan jumlah unta terbatas (konon 1 unta dipakai bergantian 18 orang), dan bekal yang amat minim. Itu sebabnya banyak yang cari-cari alasan untuk tidak berperang.

Nah, itulah konteksnya. Yaitu orang munafik yang enggan pergi perang Tabuk. Konteks ini penting kita pahami agar tidak menyasar pihak lain seolah-olah ayat 65–66 dikenakan pada saudara kita yang saat ini berbeda pandangan, lantas kita anggap munafik bahkan kafir.

Ketiga, inilah ayat 65–66 surat at-Taubah:

65. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

66. Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.

Tafsir Ibn Asyur mengaitkan ayat 65 dengan ayat 61- 62 dimana mereka kerap mengganggu Nabi dan bahkan berani bersumpah bohong. Ayat ini turun terkait orang-orang munafik di perang Tabuk yang berkata: “Apakah lelaki ini berharap menaklukkan kerajaan-kerajaan dan benteng-benteng negeri Syam? Mustahil itu dilakukan olehnya”

Begitulah kelakuan kaum munafik yang mengolok dan bahkan hendak menakut-nakuti dan menurunkan semangat perang para sahabat Nabi Saw.

Lalu Allah menampakkan hal tersebut kepada NabiNya dan menanyakannya kepada mereka, lalu menjawab: “Wahai Rasulullah, Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bersenang-senang saja” Kemudian turunlah ayat 65 ini.

Abdullah bin Umar ra berkata: suatu hari seseorang berkata di suatu perkumpulan saat perang Tabuk: “kami tidak pernah melihat orang yang lebih menyukai makan, lebih pendusta lisannya, dan lebih pengecut dalam menghadapi musuh, melebihi para pembaca al-Qur’an itu”. Maka seseorang dalam perkumpulan itu menjawab: “kamu telah berdusta, dan kau adalah orang munafik! Sungguh aku akan memberitahu Rasulullah”.

Lalu ia menyampaikannya kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat al-Qur’an di atas. Abdullah bin Umar melanjutkan: “maka aku melihat orang tersebut menggantung pada tali dari unta Rasulullah dan bebatuan tertendang-tendang kakinya hingga berdarah, seraya ia berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja”. Rasulullah menjawab: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?”

Bayangkan konteks sedang bersiap perang, mereka malah bercanda yang mengolok-olok merendahkan perintah Allah, mencela Nabi dan sahabatnya, serta menakut-nakuti pasukan Nabi. Ini lho kelakuan mereka!

Kata: لَا تَعْتَذِرُوا diterjemahkan oleh Kemenag sebagai “jangan kamu minta maaf”. Ada lagi yang mengartikannya: “jangan berdalih mencari alasan”. Maknanya, dalih atau udzur yang mereka sampaikan di ayat 65 bahwa mereka hanya bercanda saja itu tidak bisa diterima. Bahkan mereka dianggap kafir, setelah sebelumnya beriman.

Lantas kenapa pada kasus perang uhud, Nabi memaafkan kesalahan pasukan yang turun dari bukit, tapi dalam kasus perang Tabuk dalih mereka yang hanya bercanda tidak diterima?

Jawabannya: pada perang uhud, kesalahan pasukan Nabi itu akibat tergelincir pada hawa nafsu ingin pampasan perang. Sedangkan pada kasus perang Tabuk, kesalahan mereka itu karena penyakit di hati mereka enggan menjalankan perintah Allah. Efeknya berbeda.

Kaum Munafik itu ada penyakit di hati mereka. “Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta” (QS 2:10)

Ini persis mengapa kesalahan Nabi Adam diampuni Allah, tapi kesalahan iblis tidak dimaafkan? Nabi Adam tergelincir karena hawa nafsu, sementara Iblis karena penyakit hati, yaitu kesombongan.

Ibn Qayyim al-Jauziyah dalam “al-Fawaid” terdapat perbedaan makna antara “menolak perintah Allah” dengan ”melanggar larangan Allah”. Iblis menolak perintah Allah karena kesombongan dirinya yang merasa lebih unggul dari Adam. Sedangkan Adam melanggar larangan Allah karena dorongan nafsu.

Nah, di antara orang-orang yang dimaksudkan oleh ayat 66 ada yang dimaafkan oleh Allah dan diberi hidayah kepada Islam. Ini berbeda dengan pernyataan sebagian pihak bahwa Allah tidak memaafkan mereka yang dianggap mengolok-olok Allah dan Rasul.

Tafsir Ibn Katsir menjelaskan: Dan tersebutlah bahwa di antara orang yang dimaafkan dalam ayat ini ialah Makhsyi ibnu Humair. Lalu ia mengganti namanya menjadi Abdur Rahman, dan memohon kepada Allah agar dirinya gugur sebagai syuhada tanpa diketahui tempatnya. Akhirnya ia gugur dalam Perang Yamamah dan tidak dijumpai bekas-bekasnya.

Ini sesuai dengan bunyi ayat 66:
…. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.

Artinya mereka yang semula mengolok-olok Allah dan Rasul, bila bertaubat dengan sesungguhnya, insya Allah akan diterima taubatnya. Yang tidak mau bertobat, kelak mereka diazab Allah.

Apakah Nabi Muhammad sendiri tidak pernah bercanda? Ada riwayat dimana Nabi dicandai sahabatnya, dan ada pula riwayat Nabi pun mencandai sahabatnya. Hal ini pernah saya jelaskan dalam tulisan lainnya. Bercanda tentu berbeda dengan mengolok-olok perintah Allah. Dan tentu berbeda bercanda saat serius dalam persiapan perang. Anda bercanda di airport soal keamanan/security saja tidak bisa diterima!

Jangan pula kita terlalu mudah menuding orang lain munafik. Ayat-ayat tentang orang munafik itu seharusnya menjadi introspeksi diri kita agar tidak termasuk orang munafik, bukan malah digunakan untuk menuduh orang lain munafik, seperti pernah pula saya jelaskan dalam artikel lainnya.

Jadi kesimpulannya:

1. Surat at-Taubah ayat 65-66 itu turun berkenaan dengan orang munafik yang enggan memenuhi perintah Allah dan RasulNya untuk pergi perang Tabuk.
2. Modus mereka macam-macam untuk tidak ikut perang, termasuk dengan mengolok-olok Nabi Muhammad seolah Nabi tidak akan menang perang, dan meruntuhkan moral pasukan Nabi.
3. Penyakit di hati mereka ini yang menyebabkan dalih atau alasan mereka tidak diterima, dan bahkan dinyatakan kafir.
4. Namun ada juga yang kemudian bertaubat dan diterima taubatnya. Yang tidak mau bertobat, kelak akan diazab Allah.

Wa Allahu a’lam bish-Shawab

Tabik,

Nadirsyah Hosen