Karena tidak bisa membedakan mana inti dan teknis ibadah, maka ada dua golongan yang berbeda pendapat:
Pertama, ada yang berpendapat bahwa semua aturan syar’i dan teknis serta urutan ibadah tidak boleh diubah dan harus ikut tata cara yang diajarkan Nabi Muhammad. Di luar itu, bid’ah dan masuk neraka.
Kedua, ada pula yang berpendapat semua aturan hukum dan ibadah bisa dimodifikasi sesuai dengan perkembangan zaman. Teknis fiqh tidak penting. Yang penting itu sesuai dengan kepraktisan modern. Gak mau mengikuti perkembangan zaman namanya: jumud dan bebal. Pantesan umat Islam ketinggalan dari peradaban dunia.
Yang pertama biasa disebut dengan kelompok literal. Yang kedua sering dilabeli dengan kelompok liberal.
Sebaik-baik urusan yang pertengahan saja. Inilah wasathiyah atau moderasi dalam beragama. Makanya para kiai pondok mengajarkan kaidah memahami mana maqashid dan mana wasail; mana aqidah dan mana budaya; mana ibadah mahdhah dan mana yang ghair mahdhah; mana yang qat’i dan mana yang zanni; mana yang masuk kategori ma’lum minad din bid dharurah (aksioma) dan mana yang masuk wilayah dibolehkan berijtihad.
Inilah jalan kelompok ketiga: al-muhafazhah ‘alal qadimis shalih wal akhzu bil jadidil ashlah. Hal-hal lama yang masih baik dipertahankan, dan hal-hal baru yang lebih baik boleh juga diambil.
Di salah satu group wa, sahabat dan guru saya Rais Syuriah NU Mesir, syekh Muhlashon, gak paham cara pakai sticker wa. Beliau hanya pakai emoticon. Lantas saya ledek beliau (sesama Rais Syuriah saling meledek kan gak apa-apa hehhehe):
“al-muhafazhah ‘alal EMOTICON shalih wal akhzu bil jadidil STICKER ashlah.”
Kembali ke topik utama, lantas ada yang tanya bagaimana contoh mengambil posisi jalan ketiga ini.
Sekarang ada dua kasus:
1. Bolehkah orang thawaf pakai kecanggihan teknologi dimana lantainya yang berputar thawaf di seputaran Ka’bah? Ini artinya, jamaah cukup diam saja berdiri, justru lantainya yang berputar.
2. Bolehkah saat melempar jamrah, dibuatkan lantai yang canggih sehingga bisa berputar di seputaran jamrah, sehingga jamaah cukup berdiri melempar, sementara lantainya berputar sendiri?
Kelompok pertama boleh jadi akan mengatakan bahwa dalam kedua kasus itu tidak dibenarkan melakukan modifikasi apapun. Kelompok kedua boleh jadi akan mengatakan keduanya dibenarkan dan dibolehkan. Bagaimana pandangan kelompok ketiga?
Boleh jadi para ulama jalan “tengah-tengah” alias kelompok ketiga akan mengatakan: Pada kasus thawaf, inti ibadahnya berjalan berputar mengelilingi Ka’bah. Maka tidak boleh hanya lantainya yang berputar, sementara orangnya diam saja. Artinya, modifikasi seperti ini boleh jadi akan ditolak.
Pada kasus melempar jamrah, intinya adalah melempar. Apakah melemparnya sambil lantai berputar atau tidak, itu gak masalah karena hanya teknis menjalankan saja. Maka modifikasi pelaksanaan melempar jamrah seperti di atas boleh jadi bisa diterima.
Gimana? Sudah jelas? Enakkan ambil yang tengah-tengah saja kan? 😊🙏
Tabik,
Nadirsyah Hosen