You are here:

Kisah Kiai Tua dan Kiai Muda (1): Menggendong Gadis Cantik

Kiai Muda (KM) itu membuntuti Kiai Tua (KT) yang tengah berjalan menembus hutan. “Pak Yai, ijinkan aku turut berjalan bersamamu,” pinta KM saat KT menoleh kepadanya. Kiai Tua mengangguk ramah.

Berjalanlan mereka berdua menembus hutan, mendaki bukit hingga sampai di sebuah sungai. Hujan deras semalaman telah membuat aliran sungai begitu ganas hingga menerjang satu-satunya jembatan.

Mereka melihat ada seorang gadis ayu yang seperti kebingungan. Dia membawa belanjaan pasar. Kata gadis itu, “ibu saya menunggu hasil belanja ini tapi saya tak bisa pulang karena jembatan telah hancur. Sudikah kiranya salah satu dari anda berdua menggendong saya menyeberangi sungai?”

Kiai Muda langsung menggeleng. “Kami berdua ini kiai, tidak pantas menggendong bukan mahram. Apa kata orang kalau kami sampai berani melakukannya, apalagi anda tidak berjilbab. Jangan-jangan anda perempuan tidak benar yang hendak menggoda kami”.

Kiai Tua memberi isyarat agar Kiai Muda berhenti bicara. Kiai Tua melihat mata sang gadis meneteskan air mata. Kiai Tua tersenyum, “ayo naiklah ke punggungku. Aku hantar kau ke seberang biar ibumu tidak khawatir. Semoga Allah menjaga kita yang hendak berjalan melewati sungai ini. Dan kamu, Kiai Muda, tolong bawa belanjaan ini yah”.

Kiai Muda terkejut. Bagaimana bisa Kiai Tua melanggar ayat Allah?! Diam tak berani membantah KM angkat belanjaan di samping KT yang menggendong sang gadis di punggungnya. Sang gadis berterima kasih setelah sampai di seberang dengan selamat.

Ketika KT dan KM melanjutkan perjalanannya, sepanjang jalan Kiai Muda awalnya protes, lantas mulai marah dan kemudian mencaci maki Kiai Tua. Kiai Tua hanya diam saja. Kiai Muda mengeluarkan hafalan dalilnya yang berlapis-lapis sambil terus nyinyir pada Kiai Tua.

“Tua bangka! Langsung ambil kesempatan menggendong gadis cantik. Tak malu yah dengan sorban di kepala tapi modus mau menggendong gadis yang cantik, senyum menawan dan kerling matanya yang melemahkan iman. Tak kusangka, iman pak yai runtuh seketika!”

Menjelang maghrib, Kiai Tua berseru: “Sudah diamlah Nak! Saya hanya menggendong gadis itu selama 15 menit menyeberangi sungai dengan susah payah. Tapi kamu? Ya kamu! Kamu terus menggendong dia dalam pikiranmu berjam-jam lamanya sampai sekarang!”

Kiai Muda terdiam seketika. Mukanya tertunduk malu. “Pak Yai, maafkan saya. Ijinkan saya terus berjalan dan belajar bersama pak yai”. Kiai Tua mengangguk dan seolah tak ada kejadian apapun di antara mereka dan kembali berjalan.

Bersambung pada kisah kedua: membakar al-Qur’an….

Tabik,

Nadirsyah Hosen