Karikatur itu “penggambaran suatu objek konkret dengan cara melebih-lebihkan ciri khas objek tersebut.” Jadi, objek yang mau dikarikaturkan itu harus sesuatu yang konkret sehingga meskipun diotak-atik objeknya, orang lain akan tetap mengenali objek tersebut.
Hidungnya bisa dipanjangkan, rambutnya bisa dibikin lebih kribo, atau mulutnya bisa lebih dower. Namun yang melihat objek karikatur tetap tahu siapa itu, dengan atau tanpa menyebutkan nama objek yang ada di karikatur.
Dengan pemahaman di atas, begitu muncul heboh karikatur yang diklaim objeknya sebagai Nabi Muhammad, tegas kami katakan bahwa itu bohong atau sebenarnya tidak ada itu karikatur Nabi.
Kenapa? Karena objek konkretnya yaitu wajah Nabi tidak diketahui secara umum. Gambar Nabi tidak ada di publik. Kalau anda sudah lihat apa yang diklaim sebagai karikatur Nabi itu ternyata objeknya yang pakai sorban, berkumis dan berjenggot seperti orang Arab pada umumnya. Lantas diberi label “Mahomet” atau “Muhammad”.
Pembuat karikatur dan kita semua, tidak ada yang tahu wajah konkret Nabi Muhammad. Itu sebabnya karikatur tersebut hanya dibuat berdasarkan imajinasi kolektif tentang sosok orang Arab. Dan jelas itu bukan wajah Nabi. Itu cuma wajah kebanyakan orang Arab. Tak ada ciri khas sosok Nabi yang kita ketahui lewat berbagai riwayat Hadits.
Nah, kenapa larut dalam permainan imajinasi mereka? Provokasi recehan mereka malah kita tangkap. Kita kena jebakan. Kita emosi. Dan terjadilah tragedi pembunuhan itu yang semakin membuat citra Islam menjadi jelek: seolah Islam sebagai agama kekerasan. Kita memberikan apa yang mereka ingin citrakan kewat karikatur tersebut. Mereka menang. Kita kalah masuk jebakan mereka. Padahal kalau kita merespon dengan bilang: “itu bukan karikatur Nabi Muhammad karena objeknya tidak dikenali secara konkret”, maka urusan akan selesai. Niat mereka hendak mengolok-olok menjadi berantakan. Kita tidak kena provokasi recehan. Karikatur mereka gagal lewat definisi karikatur itu sendiri.
Ada yang membantah dengan pakai logika: “kalau dibuat karikatur bapak/ibumu yang kami tak tahu wajahnya, lantas ditulis kata babi, anjing, monyet, ente gak marah kan?”
Logika ini cacat karena dua alasan. Pertama, dalam karikatur di Perancis itu tidak ada babi, anjing atau monyet. Kalian ternyata belum lihat karikaturnya yah? Justru kalian hendak mengolok-olok kami melebihi karikatur yang di Perancis itu.
Kedua, semua orang TAHU wajah binatang yang disebut itu seperti apa. Objeknya konkret. Pada karikatur di Perancis, semua orang TIDAK TAHU objek konkret wajah Nabi Muhammad. Sudah paham bedanya?
Jadi kalau ada yang mengolok-olok bikin karikatur wajah bapak/ibumu dengan wajah binatang, gampang saja: sodorkan foto asli bapak/ibumu. “Ini lho wajah aslinya. Bukan wajah binatang. Ente salah gambar.” Objek yang real bisa diketahui, dan jelas bukan wajah binatang.
Tapi dalam kasus karikatur di Perancis itu, tak ada yang tahu foto asli Nabi Muhammad. Katakan kepada mereka, “Ente salah imajinasi.” Objek yang real tak bisa tergambarkan, apalagi mau dikarikaturkan.
Yang pertama, salah gambar. Yang kedua, salah imajinasi. Keduanya sama-sama salah. Bedanya, yang pertama objek konkretnya diketahui, yang kedua objek konkretnya tidak diketahui. Makanya analogi karikatur bapak/ibumu (yang pertama) dengan karikatur Nabi (yang kedua) di atas menjadi cacat. Perlu belajar logika yang lurus. Celakanya, orang emosi memang susah diajak berpikir dengan logika yang jernih.
Apa meluruskan soal ketiadaan objek konkret Karikatur di Perancis itu berarti membela penghina Nabi? TIDAK. Kami hanya meluruskan bahwa jangan terkena jebakan provokasi recehan. Karena kita meyakini tak ada foto asli Nabi, maka objek konkret karikatur tersebut tidak ada. Maka gambar apapun yang diklaim sebagai Nabi Muhammad itu pasti keliru dan sebuah kebohongan. Bagaimana mungkin kami mau membela sebuah imajinasi keliru? Ya ikut-ikutan keliru namanya.
Dengan kata lain, olok-olok karikaturis itu salah sasaran. Meleset jauh. Dengan terpancing emosi tanpa sadar seolah kita turut membenarkan bahwa objek di karikatur itu adalah wajah Nabi. Justru berbahaya. Kita, sekali lagi, masuk jebakan olok-olok mereka. Karikatur memang dibuat untuk main-main. Dan mereka sukses mempermainkan emosi kita. Kalau kami jelas tidak mau masuk jebakan mereka, entah dengan anda.
Saat ini umat Islam gampang sekali terpancing emosinya. Satu pihak bilang ini ghirah keagamaan. Namun jangan lupa, kalau kita mudah sekali emosian, maka kita mudah kena jebakan dan provokasi.
Reaksi emosional kita mudah terbaca. Kita gampang dipermainkan. Dan ini selalu terulang. Makanya postingan kami yang viral itu bertujuan hendak mengingatkan bahwa gak usah terpancing emosi atas imajinasi keliru mereka akan sosok Nabi Muhammad. Katakan saja: “Itu bukan wajah Nabi kami! Karikaturmu meleset dan salah sasaran”. Dan kita pun berlalu.
Sayangnya, malah banyak yang hendak membela Nabi, tanpa mengikuti pesan maupun teladan akhlak Nabi. Lantas yang kita ikuti itu Nabi Muhammad atau Abu Jahal sih? Di twitter, ada yang memaki almarhum Abah Gus Nadir dengan “kiai anjing”. Di Instagram malah ada anak muda yang mengirimkan ancaman pembunuhan kepada Gus Nadir. Reaksi yang jauh dari tuntunan Nabi Muhammad ini hanya gara-gara tidak memahami postingan kami bahwa tidak ada itu karikatur Nabi.
Mari kita jeda sejenak sambil merenung sudahkah kita meneladani Nabi Muhammad, terlebih lagi di bulan kelahiran beliau Shallallahu ‘Alayhi was Salam?
Tabik,
Khazanah GNH
(Komunitas Santri Gus Nadirsyah Hosen)