You are here:

Islam Nusantara: Islam Lokal yang Menuju Islam Global?

Setelah gagal merumuskan secara serius konsep Islam Nusantara dalam pelaksanaan Muktamar Nahdlatul Ulama ke 33 yang gaduh tahun lalu, diskursus Islam Nusantara kembali menggeliat. Penolakan sejumlah pihak dan juga ketidaksepakatan internal di kalangan pendukung Islam Nusantara memaksa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) hasil Muktamar ke 33 dan Pengurus Wilayah NU Jawa Timur menggelar diskusi untuk merumuskan konsep Islam Nusantara pekan lalu.

Di saat beredar rumusan hasil Bahtsul Masail PWNU Jawa Timur melalui broadcacst di smartphone, KH Afifuddin Muhajir dari Situbondo mengirimkan pesan kepada saya, “…Apa yang disebut Islam Nusantara
tidak boleh melampaui wilayah [Syariat]. Maka tidak semua ajaran Islam bisa dinusantarakan.” Pandangan Kiai Afif yang terkenal luwes, fleksibel tapi tetap berpegang pada kaidah fikih ini menyiratkan masih
ada persoalan penting yang belum selesai dibahas para pendukung Islam Nusantara.

Sejatinya pendukung dan penolak Islam Nusantara menggelorakan kembali perdebatan klasik soal Islam dan budaya, khususnya pada pertanyaan, “Islamisasi Jawa atau Jawanisasi Islam.” Apakah budaya Jawa yang telah berhasil di-Islamkan sehingga praktek-praktek yang bertentangan dengan Syariat telah dimodifikasi agar sesuai dengan ajaran Islam, ataukah yang terjadi itu masuknya budaya Jawa ke dalam praktek ritual Islam sehingga ekspresi dan praktek Islam di Jawa berbeda dengan di tempat lain akibat terpengaruh unsur-unsur non Islami?

Bagi penolaknya, Islam Nusantara dianggap berusaha melegitimasi praktek budaya yang bertentangan dengan Islam. Bagi pendukungnya, Islam Nusantara dimaknai sebagai Islam yang ramah terhadap budaya lokal. Bagi penolaknya, Islam Nusantara berada pada wilayah akidah yang seharusnya tanpa kompromi. Bagi pendukungnya, Islam Nusantara berada pada wilayah fikih yang fleksibel. Bagi penolaknya, praktek kejawen, misalnya, dianggap penyimpangan. Bagi pendukungnya, praktek kejawen dianggap kekayaan budaya yang layak diapresiasi. Sampai di sini, bagi penolaknya, Islam Nusantara itu paham yang salah. Bagi pendukungnya, penolakan terhadap Islam Nusantara itu karena salah paham.

Terlepas dari perdebatan istilah yang dipilih, secara substansi Islam Nusantara sebenarnya kelanjutan dari ide pribumisasi Islam yang dilontarkan KH Abdurrahman Wahid, dan kemudian diteruskan Ketum PBNU berikutnya, KH Hasyim Muzadi, dalam bentuk menolak gerakan Transnasional Islam sebagai gerakan Islam import yang tidak cocok dengan budaya Indonesia, dan kemudian KH Said Aqil Siradj melanjutkan gagasan pendahulunya dengan menyodorkan Islam Nusantara. Dari sudut keilmuan, Islam Nusantara ini kelanjutan dari gagasan Prof Hazairin akan mazhab nasional dan ide Fikih Indonesia dari Prof Hasbi As-Shiddieqy beberapa dekade silam.

Islam Nusantara dimunculkan di tengah meluasnya gerakan ISIS (Islamic State of Iraq and Syria). Sebagaimana jamak diketahui, ISIS mencitrakan Islam yang murni, keras dan barbar. Dikhawatirkan ideologi
semacam itu akan masuk pula ke tanah air. Harus ada penegasan kembali akan corak islam di tanah air yang berbeda dengan ISIS dan selama ini telah terbukti menebarkan kedamaian di tanah air selama berabad-abad.

Singkatnya, proyek deradikalisasi butuh ideologi tandingan. Itusebabnya ide Islam Nusantara disambut baik oleh BNPT (Badan NasionalPenanggulangan Terorisme). Presiden Jokowi pun menyambut baik Islam Nusantara karena telah menjadi ‘benteng’ dan ‘banteng’ bagi Pancasila, Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945 dan NKRI.

Pendukung Islam Nusantara melangkah lebih jauh dengan bermaksud mempromosikannya ke dunia Islam. Islam Arab yang penuh konflik diusulkan untuk mengadopsi Islam Nusantara yang ramah dan toleran.
Tapi benarkah Islam Nusantara akan laku di dunia Arab? Jikalau yang hendak dipromosikan itu adalah produknya bukan metodenya maka dapat dipastikan Islam Nusantara tidak akan laku di belahan dunia lain.

Jangankan Islam Nusantara, Nahdlatul Ulama saja hanya kuat di daerah Jawa. Nahdlatul Ulama belum mendunia seperti gerakan Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir. Isu yang diangkat oleh gerakan
transnasional Islam itu adalah isu global sehingga bisa menyebar ke berbagai belahan dunia, sedangkan isu yang diangkat dan direspon oleh Nahdlatul Ulama adalah isu budaya lokal khususnya Jawa. Bagaimana
kemudian lokalitas Islam Nusantara mau diangkat ke dunia global?

Modal terbesar Islam Nusantara mau berkiprah di dunia global adalah jumlah Muslim Indonesia terbesar di dunia. Akan tetapi Arab Saudi mendeklarasikan dirinya sebagai pelayan dua tanah suci, Turki merasa
mewakili dunia Islam karena merekalah kekhalifahan terakhir, sementara Mesir sejak dulu sampai sekarang selalu menjadi pusat studi Islam lewat Universitas al-Azharnya, lantas apa yang dimiliki Islam Nusantara?

Kalau Islam Nusantara menganggap tidak mengapa Salat memakai blangkon, namun apa mau orang Arab mengganti surbannya dengan blangkon? Gamisnya dengan sarung dan nasi kabuli dengan nasi uduk? Mempromosikan Islam Nusantara akan dianggap
memasukkan budaya luar ke dunia Arab. Ini jelas musykil karena sejarah, politik dan sosial budayanya jelas berbeda. Ini bukan lagi sekedar salah paham vs paham yang salah, tapi sudah gagal paham.

Yang justru sedang mengglobal saat ini adalah Bank Islam dan Sertifikat Halal. Dunia Barat pun telah mengadopsinya. Di tanah air, keduanya sudah puluhan tahun digarap lebih dulu oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia). Maka tantangannya, selain istighatsah, tahlilan dan ratiban, apa program NU yang bisa dipromosikan ke dunia luar sebagai contoh produk Islam Nusantara?

Sebaiknya yang dipromosikan itu adalah manhaj Islam Nusantara, yaitu Islam yang mengakomodir budaya lokal. Itupun agak susah menembus dunia Arab
karena budaya Arab sudah sukar dipisahkan dalam praktek keislaman mereka sehari-hari. Manhaj Islam Nusantara justru punya potensi untuk berkembang di dunia Barat. Maka lewat manhaj tersebut akan muncul
Islam Australia, Islam Amerika atau Islam Eropa –yaitu pemahaman Islam yang sesuai dengan budaya lokal dimana Muslim berada, bukan dengan memasukkan budaya nusantara ke Eropa, Amerika atau Australia.

Justru sekarang ini pemerintahan di dunia Barat sedang pusing dengan perilaku Muslim yang masih saja tidak mau membaur dengan budaya setempat dan menonjolkan budaya negeri asal masing-masing. Islam Nusantara tidak perlu menambah kepusingan ini dengan mempromosikan dakwah melalui selametan, wayang, dan ketoprak ke dunia barat. Manhaj Islam Nusantara sebaiknya mempromosikan perlunya “fikih minoritas” untuk dijadikan pegangan bagi Muslim yg tinggal di dunia Barat.

Gelombang pengungsi Iraq dan Syria yang melanda Eropa misalnya menimbulkan problem sosial. Ada kekhawatiran bahwa para pengungsi dan imigran akan
mengubah negara-negara Eropa menjadi negeri Islam. Dunia barat pun mengeluh: “mereka pindah ke sini karena negeri mereka yang berdasarkan Islam kacau balau, lantas kenapa mereka hendak mengislamkan negeri kami yang aman dan nyaman? Nanti kalau negeri kami sudah mereka islamkan, negeri kami akan kacau balau persis seperti negeri asal mereka”. Di sinilah pemahaman fikih yang lentur dan fleksibel bisa memberi pemahaman bahwa “dimana bumi dipijak, di sana langit dijunjung”.

Sekali lagi, yang dipromosikan itu adalah bagaimana budaya lokal –dimanapun berada– bisa berinteraksi positif dengan ajaran Islam. Itulah hakikat Islam Nusantara: bukan sekedar Jawanisasi Islam vs
Islamisasi Jawa, atau Islamisasi Eropa versus Eropanisasi Islam. Karena itu semua masih mengandaikan budaya impor vs budaya inferior,
sehingga persoalannya menjadi budaya mana yang menang atau kalah.

Sejatinya, peradaban manusia ini merupakan proses interaksi dan akulturasi beragam budaya. Agama, bersama nilai-nilai sosial lainnya, menjadi kawan yang berjalan seiringan demi menggapai negeri yang gemah ripah loh jinawi dan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Islam Nusantara hanyalah salah satu manhaj menuju ke sana. Semoga.

(Kolom Majalah Gatra edisi 25 Februari 2016)