Tahun 2011 di Sydney area, seorang bule bernama Martinez masuk Islam. Seminggu kemudian seorang Muslim yang menjadi mentornya, Wassim Fayad, melihat bahwa Martinez meminum minuman beralkohol. Tradisi meminum bir memang sudah menjadi bagian budaya orang Australia sehingga kelihatannya butuh waktu bagi muallaf ini untuk memahami aturan hukum Islam.
Malam harinya Wassim bersama tiga kawannya mengendap-ngendap memasuki apartemen Martinez, dan kemudian menyergap dan mencambuk Martinez 40 kali dengan kabel. Wassim mengatakan kepada Martinez bahwa inilah hukuman menurut Syariah terhadap mereka yang meminum khamr.
Martinez berteriak-teriak sambal menangis meminta ampun. Namun keempat orang itu terus mencambuk hingga genap 40 kali. Martinez tidak bisa bangun selama seminggu dan akhirnya kemudian melaporkan kejadian ini ke pihak yang berwajib. Maka gemparlah Australia. Media massa seakan berlomba melaporkan kasus ini.
Ujang terkaget-kaget membaca berita tersebut di koran Sydney Morning Herald. Kasus ini kemudian memasuki pengadilan, dan Wassim fayad dan ketiga kawannya dihukum 16 bulan penjara. Brian Maloney, hakim yang menjatuhkan putusan itu, mengatakan pada Wassim, “Anda harus tahu bahwa tindakan main hakim sendiri yang anda lakukan itu hanya membawa nama jelek buat Islam. Kasus ini bukan masalah Islam atau hukum Islam. Kasus ini murni kriminal.”
Ujang sepakat dengan pernyataan Hakim Maloney. Australia bukan Negara Islam, jadi bagaimana mungkin ada pelaksanaan hudud ala Saudi Arabia di sini. Bahkan mayoritas negara Islam tidak menerapkan hudud. Kalaupun kejadian yang menimpa Martinez itu terjadi di negara Islam yang menerapkan hudud, maka tidak bisa sembarang orang serta merta mencambuk orang lain.
Semuanya harus melalui proses pengadilan. Hanya pengadilan yang kemudian berwenang melakukan eksekusi cambuk tersebut. Kalau setiap orang bisa melakukannya, maka negara akan kacau balau.
Ujang mendiskusikan kasus menarik ini dengan Shinta. Respon pertama Shinta adalah: “Tapi Kang Ujang, apa benar hukum syariah itu kejam?” tanya Shinta takut-takut.
“Syariah itu luar biasa indah kalau dipahami dengan benar. Kalau hanya sepotong saja, seperti soal rajam dan potong tangan, akhirnya akan menjadi persoalan. Inikah syariah?” tanya balik Ujang.
Shinta tersenyum.
Ujang meneruskan keterangannya:
“Penerapan aturan yang sesuai dengan nilai Islam juga tak hanya mutlak berada di negara-negara mayoritas Islam. Di masa awal Islam, umat Muslim yang tidak memiliki uang bisa meminta ke Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Artinya, dengan sistem zakat dan infak yang ditaati, pemerintah saat itu memiliki uang kas negara di dalam Baitul Mal.”
“Inilah cikal bakal konsep welfare state (Negara kesejahteraan). Mereka tidak perlu mencuri, kalau masuk dalam kategori fakir miskin, mereka cukup meminta haknya ke Baitul Mal. Kalau masih mencuri juga maka akan dihukum potong tangan karena mereka dianggap serakah. Tinggal minta ke pemerintah kok malah mencuri. Begitu pula dengan yang kini dilakukan oleh pemerintah Australia. Jika warga Australia ada yang tidak memiliki pekerjaan, maka ia akan memperoleh dukungan dana dari pemerintah.”
“Mereka pun akan ditanya mengapa tidak dapat kerja? Nah kalau dia tidak punya kualifikasi yang dibutuhkan, maka ia akan diikutkan kursus oleh pemerintah. Mereka pun malu kalau terus-terusan dikasih dana sama pemerintah. Nah, dulu Islam kan seperti itu juga, kalau tidak punya uang tinggal ke Baitul Mal. Artinya sebelum negara mengeluarkan keputusan keras dan kejam soal potong tangan, negara harus bisa memberikan kesejahteraan dulu kepada masyarakat. Di situlah indahnya hukum Islam, tidak langsung main potong tangan saja seperti anggapan sebagian kalangan.”
**
Kisah di atas diambil dari buku best seller lainnya karya Nadirsyah Hosen, “Kiai Ujang di Negeri Kanguru”.
Buku tersedia di seluruh jaringan Gramedia, TM book store, Togamas,Gunung Agung dan toko buku lainnya di Indonesia. Pesan online lewat website mizanstore atau kirim wa ke 0857 8181 7817.
Tabik,
Nadirsyah Hosen