You are here:

Legalitas Perpu Antiterorisme

Copyright © 1999-2002 Media Indonesia. All rights reserved.

Rabu, 23 Oktober 2002

‘DALAM hal ihwal kegentingan yang memaksa’, begitu bunyi Pasal 22 UUD 1945, ‘Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang’. Pasal ini memberikan dasar kepada pemerintah untuk mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Antiterorisme. Kedua perpu tersebut, masing-masing Perpu tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu tentang Pemberlakuan Perpu Nomor 1 Tahun 2002 untuk Penyelidikan, Penyidikan, dan Penuntutan Para Pelaku Peristiwa Peledakan Bom di Bali, telah ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri pada Jumat (18/10) malam.

Dari sekian banyak persoalan yang bisa dimunculkan kedua perpu tersebut, satu aspek yang cukup mendasar adalah bagaimana kita menilai posisi perpu itu dikaitkan dengan filosofi lahirnya perpu dan hierarki peraturan perundang-undangan di negara kita.

Filosofi perpu

Perpu itu sebenarnya sama dengan Undang-Undang Darurat. Presiden mengeluarkan perpu sebagai noodverondeningsrecht atau hak untuk menetapkan peraturan dalam keadaan darurat. Persoalan definisi darurat atau ‘hal-ikhwal kegentingan yang memaksa’ bisa diperdebatkan dan UUD 1945 tidak menjelaskan lebih jauh soal ini. Akan tetapi, secara umum bisa dikemukakan bahwa Presiden secara subjektif dapat menilai telah terjadi suatu keadaan darurat yang dapat membahayakan negara.

Penilaian subjektif Presiden ini bisa diperdebatkan kemudian, karena boleh jadi Presiden salah menilai atau memiliki kepentingan tertentu. Itulah sebabnya, meskipun pada saat perpu dikeluarkan Presiden tidak membutuhkan persetujuan DPR, kekuatan perpu itu terbatas sampai masa sidang DPR berikutnya. Kalau dalam persidangan berikutnya anggota DPR menolak perpu tersebut, perpu itu harus dicabut. Jadi, secara filosofis, perpu itu hanya dikeluarkan dalam kondisi tertentu untuk waktu yang terbatas pula.

Secara filosofis pula, lahirnya perpu itu boleh jadi dikarenakan adanya kekosongan aturan hukum (rechtsvacuum) atau aturan yang telah ada dianggap tidak lagi sesuai dengan kondisi darurat yang dihadapi. Menunggu DPR untuk membahas sebuah RUU akan memakan waktu yang lama, sementara negara dalam keadaan genting.

Dalam konteks saat ini, kedua alasan tersebut digabung menjadi satu. Pada satu sisi, ada kekosongan hukum karena UU Antisubversi telah dicabut dan dianggap belum ada gantinya. Kedua, Undang-Undang (UU) No 12/Drt/1951 yang ditetapkan menjadi UU No 1/1961 tentang Senjata Api, UU No 39/1999 tentang HAM, UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dan KUHP dianggap belum meng-cover tindak pidana terorisme, sehingga dikhawatirkan akan ada celah atau lubang yang bisa dimanfaatkan tersangka teroris untuk lolos dari jeratan hukum.

Perpu dalam hierarki perundangan

Akan tetapi, bukan berarti dengan adanya dua Perpu Antiterorisme ini lubang atau celah hukum sama sekali telah tertutup. Meskipun perpu ini dikeluarkan oleh pemerintah dan bertajuk peraturan pemerintah, secara filosofis ia sejajar dengan undang-undang. Artinya, ia memiliki kekuatan yang sama dengan undang-undang. Pemahaman filosifs ini yang diadopsi oleh Tap MPRS No XX/MPRS/1966. Ketetapan MPRS tersebut telah meletakkan UU/perpu dalam urutan ketiga di bawah UUD 1945 dan Tap MPR.

Karena posisinya yang sejajar, perpu bisa dikeluarkan untuk menyatakan sebuah UU tidak berlaku, atau menunda pemberlakuannya, atau memodifikasi aspek tertentu, atau menambah pasal tertentu. Ketika perpu diterima oleh DPR, ia bisa menjadi UU, atau kalau ia ditolak, UU yang sebelumnya diubah atau dibatalkan oleh perpu bisa kembali lagi berlaku. Sekali lagi, ini karena kedudukan legal perpu dan UU yang sejajar.

Akan tetapi, di era reformasi hukum ini telah terjadi perubahan hierarki peraturan perundang-undangan. Telah muncul Tap MPR No III/MPR/2000 yang meletakkan UU di urutan ketiga dan perpu di urutan keempat. Ini membuat UU setingkat lebih tinggi di atas perpu. Artinya, Pasal 2 dalam TAP MPR yang terbaru telah menyatakan bahwa perpu itu kedudukannya berada di bawah UU.

Implikasi hukumnya adalah sebuah perpu tidak bisa menunda, memodifikasi atau membatalkan apa yang telah diatur oleh UU. Sebaliknya, sesuai dengan sifat hierarki, perpu tidak boleh bertentangan dengan UU karena aturan yang lebih rendah tidak boleh menyalahi atau bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.

Yusril Ihza Mahendra, selaku Menteri Kehakiman, bukannya tidak sadar dengan problem ini. Dalam salah satu tulisannya, beliau berpendapat bahwa Pasal 2 Tap MPR No III/MPR/2000 khususnya mengenai Perpu telah bertentangan dengan Pasal 22 UUD 1945. Keberanian Menteri Yusril untuk mengonsep draf Perpu Antiterorisme yang kedudukannya sejajar dengan UU sehingga perpu tersebut ditandatangani oleh Presiden dapat dianggap telah sesuai dengan UUD 1945, tetapi dapat pula dianggap telah melanggar Ketetapan MPR. Pelanggaran sebuah Ketetapan MPR oleh seorang Presiden merupakan hal yang sangat serius.

Bagaimana memecahkan lubang atau celah ini? Karena belum terbentuk Mahkamah Konstitusi yang dapat menilai bertentangan atau tidaknya Pasal 22 UUD 1945 dan Tap MPR No III/MPR/2000, Mahkamah Agung seharusnya mengambil inisiatif memecahkan masalah ini. Hal ini sesuai dengan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 bahwa kewenangan Mahkamah Konstitusi dilakukan oleh Mahkamah Agung sampai terbentuknya institusi tersebut. Di masa reformasi ini, apa boleh buat, aturan main kita masih tambal sulam. Jadi, jangan heran kalau nanti ada pihak yang menggugat Perpu Antiterorisme dengan dasar Ketetapan MPR era reformasi. Inilah kiris konstitusi jilid berikutnya.***