You are here:
Media Isnet

Benarkah QS Al-Ma’idah 51 melarang kita memilih non-muslim sebagai pemimpin?

Ini terjemah QS Al-Ma’idah 51 yang belakangan ini banyak beredar:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi “awliya”-mu; sebagian mereka adalah “awliya” bagi sebagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi “awliya”, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Kata “awliya” dalam Al-Ma’idah ayat 51 yang dijadikan alasan melarang mengangkat pemimpin kafir itu layak ditelaah kembali. Terjemahan Al-Qur’an Kemenag menerjemahkannya sebagai “pemimpin”. Konteks asbabun nuzul dan bacaan saya terhadap tafsir klasik semisal at-Thabary dan Ibn Katsir tidak menunjukkan kata “awliya” dalam ayat di atas bermakna pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi.

Penjelasan Tafsir Ibn Katsir mengenai asbabun nuzul QS al-Ma’idah ayat 51:

“Para ulama tafsir berbeda pendapat mengenai penyebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat yang mulia ini. As-Saddi menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal.” Sedangkan yang lainnya menyatakan, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya.” Maka Allah Swt. berfirman: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi “awliya” kalian…(Al-Maidah: 51), hingga beberapa ayat berikutnya.

Demikian penjelasan Ibn Katsir untuk kita lebih memahami konteks ayat di atas.

Ini ayat senada:

QS al-Nisa ayat 144:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil orang-orang kafir menjadi “awliya” dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kalian mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksa kalian)?”

Ayat 144 surat al-Nisa di atas juga melarang kita mengambil orang non-muslim sebagai “awliya”. Mari kita cek apa penafsiran Ibn Katsir terhadap makna “awliya” dalam QS al-Ma’idah ayat 51 sama maknanya dengan QS al-Nisa 144:

Kata Ibn Katsir:

“Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman mengambil orang-orang kafir sebagai “awliya” mereka, bukannya orang-orang mukmin. Yang dimaksud dengan istilah “awliya” dalam ayat ini ialah berteman akrab dengan mereka, setia, tulus dan merahasiakan kecintaan serta membuka rahasia orang-orang mukmin kepada mereka.”

Jadi Tafsir Ibn Katsir tidak menafsirkan kata “awliya” sebagai pemimpin baik di QS al-Ma’idah ayat 51 maupun an Nisa ayat 144. Yang dimaksud adalah berteman dalam arti bersekutu dan beraliansi dengan meninggalkan orang Islam. Bukan dalam makna larangan berteman sehari-hari. Konteks al-Ma’idah ayat 51 itu saat muslim kalah dalam perang uhud. Jadi ada yang tergoda untuk menyeberang dengan bersekutu pada pihak Yahudi dan Nasrani. Itu yang dilarang.

Ibn Taimiyah mengingatkan kita:

“Sesungguhnya manusia telah sepakat bahwa akibat (atau efek) sikap zhalim adalah kebinasaan dan akibat sikap adil adalah kemuliaan. Oleh karena itu diriwayatkan bahwa Allah akan menolong negara yang adil meski ia kafir dan tidak akan menolong negara yang zalim, meski ia mukmin.”

Dengan demikian, spirit Islam adalah keadilan, dan lawannya adalah kezhaliman. Kalau ada orang yang adil (mampu berbuat adil dan menegakkan keadilan) ya kita dukung meskipun dia bukan Muslim dan Allah akan menolong orang yang adil tersebut.

Kalau ada orang Muslim, yang bersikap zhalim dan melakukan kezhaliman, ya jangan didukung. Allah tidak akan menolong orang yang zhalim.

Sesederhana itu sebenarnya, tanpa harus emosi dan punya tendensi kepada isu politik praktis. Kita ngaji saja apa makna ayat tersebut dan gak usah ikut-ikutan menjadikan ayat itu seolah-olah sebagai “ayat pilkada”


Apa makna “awliya” di kitab-kitab tafsir lainnya pada QS al-Ma’idah ayat 51:

  1. Tafsir al-Baidhawi

    Jangan bergantung kepada mereka dan jangan berakrab-akrab dengan intim.
  2. Tafsir fi Zhilalil Qur’an

    “Ada baiknya kami jelaskan terlebih dahulu makna  yang Allah melarang orang-orang yang beriman melakukan ini antara mereka dengan Yahudi dan Nasrani. Sesungguhnya yang dimaksud dengan kata ini adalah saling menolong dan memberikan loyalitas (kesetiaan) kepada mereka.
  3. Tafsir Jalalain

    mengikuti dan mencintai mereka
  4. Tanwir al-Miqbas min Tafsir Ibn Abbas

    Menjadikan mereka awliya dalam hal meminta pertolongan dan bantuan
  5. Tafsir al-Khazin

    Allah melarang semua orang beriman mengambil Yahudi dan Nasrani sebagai penolong dan pembantu mereka yang beriman kepada Allah dan RasulNya.
  6. Tafsir al-Biqa’i

    Artinya mengambil mereka sebagai kawan akrab dengan mengerjakan hal-hal yang biasanya dilakukan oleh sahabat dekat.

Mengenai asbabun nuzul QS al-Ma’idah ayat 51 yang sudah saya cantumkan dari Ibn Katsir dalam tulisan saya: “bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan dua orang lelaki. Salah seorang dari keduanya berkata kepada lainnya sesudah Perang Uhud, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Yahudi itu, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk agama Yahudi bersamanya, barangkali ia berguna bagiku jika terjadi suatu perkara atau suatu hal.” Sedangkan yang lainnya menyatakan, “Adapun saya, sesungguhnya saya akan pergi kepada si Fulan yang beragama Nasrani di negeri Syam, lalu saya berlindung padanya dan ikut masuk Nasrani bersamanya.”

Nah, riwayat asbabun nuzul ini juga dicantumkan oleh:

  1. Tafsir Muqatil
  2. Tafsir Sayyid Thantawi
  3. Tafsir al-Durr al-Mansyur
  4. Tafsir al-Khazin

Perlu diperhatikan bahwa 10 kitab tafsir di atas (plus Ibn Katsir yang sudah saya kutip sebelumnya) tidak mengartikan kata awliya dalam QS al-Ma’idah ayat 51 sebagai pemimpin.