Imam al-Qurthubi dalam pengantar kitab tafsirnya menjelaskan dua corak penafsiran al-Qur’an yang harus dihindari.
Pertama, menafsirkan sesuai dengan keinginannya sendiri.
وإنما النهي يحمل على أحد وجهين: أحدهما أن يكون له في الشيء رأي، وإليه ميل من طبعه وهواه، فيتأول القرآن على وفق رأيه وهواه، ليحتج على تصحيح غرضه، ولو لم يكن له ذلك الرأي والهوى لكان لا يلوح له من القرآن ذلك المعنى.
Sebelum memberi tafsiran, mereka sudah punya opini sendiri. Lantas berdasarkan opini tersebut mereka membuka al-Qur’an dan menafsirkannya sesuai dengan opini yang telah terbentuk sebelumnya. Ini namanya memaksa tafsiran al-Qur’an agar cocok dan sesuai keinginannya sendiri. Ini berbahaya.
Dengan kata lain, bukannya menjadikan al-Qur’an sebagai sumber inspirasi, yang bersangkutan malah mencari-cari justifikasi pemahamannya sendiri lewat ayat al-Qur’an. Lantas kemudian dia mengklaim bahwa pendapatnya itu seolah-olah cocok dengan al-Qur’an.
Ini bisa kita lihat dari gaya ‘cocokologi’ yang marak belakangan ini khususnya yang berkenaan dengan suasana politik praktis. Imam Qurthubi menjelaskan lebih jauh:
وذلك إذا كانت الآية محتملة فيميل فهمه إلى الوجه الذي يوافق غرضه، ويرجح ذلك الجانب برأيه وهواه، فيكون قد فسر برأيه أي رأيه حمله على ذلك التفسير، ولولا رأيه لما كان يترجح عنده ذلك الوجه.
Kadang kandungan ayat bisa sejalan dengan apa yang dia pikirkan sebelumnya, lantas dia memilih penafsiran tersebut. Kalau bukan karena opini yang telah terbentuk sebelumnya, dia tidak akan memilih penafsiran tersebut. Mungkin dia akan pilih penafsiran yang lain yang lebih sesuai dengan hawa nafsu dan kepentingannya. Ngeri banget kan?!
Imam Qurthubi mencontohkan sejumlah da’i yang membahas mengenai kerasnya hati, lantas merujuk kepada QS 20:24 “Pergilah kepada Fir’aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas“. Penceramah itu menunjuk dadanya dan mengatakan inilah yang dimaksud dengan Fir’aun (untuk menggambarkan kerasnya hati seperti Fir’aun).
هذا الجنس قد يستعمله بعض الوعاظ في المقاصد الصحيحة تحسينا للكلام وترغيبا للمستمع، وهو ممنوع لأنه قياس في اللغة، وذلك غير جائز
وقد تستعمله
الباطنية في المقاصد الفاسدة لتغرير الناس ودعوتهم إلى مذاهبهم الباطلة، فينزلون القرآن على وفق رأيهم ومذهبهم على أمور يعلمون قطعا أنها غير مرادة. فهذه الفنون أحد وجهي المنع من التفسير بالرأي
Meskipun tujuan dari da’i itu cukup baik untuk memotivasi pendengarnya namun penafsiran model ini dilarang karena memakai analogi kebahasaan yang tidak diperbolehkan. Kaum Batiniyyah juga menggunakan model penafsiran yang serupa untuk meyakinkan pengikutnya, padahal mereka keliru. Mereka menggunakan yat Qur’an sesuai kemauan dan opini mereka padahal mereka tahu secara pasti bahwa bukan begitu mkana ayat tersebut. Inilah jenis penafsiran yang terlarang.
Kedua, menafsirkan hanya dengan aspek kebahasaan semata.
الوجه الثاني أن يتسارع إلى تفسير القرآن بظاهر العربية، من غير استظهار بالسماع والنقل فيما يتعلق بغرائب القرآن وما فيه من الألفاظ المبهمة والمبدلة، وما فيه من الاختصار والحذف والإضمار والتقديم والتأخير
Imam Qurthubi menjelaskan jenis penafsiran yang juga dilarang, yaitu hanya melihat makna ayat dari aspek bahasa Arab saja tanpa melihat riwayat tentang makna yang tidak jelas (gharaib) dan lafaz yang samar, ambigu, tersembunyi, dan lainnya.
Bahasa al-Qur’an itu sastranya amat tinggi. Kita memahami prosa dalam bahasa Indonesia saja sering kesulitan meski kita mengerti bahasa Indonesia. Sama saja, tidak semua orang yang bisa bahasa Arab akan paham kandungan tafsir al-Qur’an.
Imam Qurthubi mengingatkan kita:
فمن لم يحكم ظاهر التفسير وبادر إلى استنباط المعاني بمجرد فهم العربية كثر غلطه، ودخل في زمرة من فسر القرآن بالرأي
Sesiapa yang tidak paham mengenai kaidah penafsiran dan hanya memahami berdasarkan aspek bahasa Arab semata seringkali keliru dan bergabung bersama barisan mereka yang menafsirkan Qur’an dengan opininya semata.
Memahami bahasa Arab tentu merupakan syarat menafsirkan al-Qur’an. Tapi itu saja tidak cukup. Kita juga harus belajar ilmu-ilmu lainnya.
Apa kesimpulannya dari keterangan Imam Qurthubi ini?
Pertama, kita harus ‘kosong’ sebelum memahami al-Qur’an. Artinya kosongkan diri kita dari berbagai kepentingan, hawa nafsu maupun sekadar upaya mencari-cari pembenaran atas opini kita. Hanya mereka yang kosong, yang alan siap menerima pencerahan, kebenaran dan inspirasi dari al-Qur’an.
Kedua, kita harus ‘berisi’ sebelum memahami al-Qur’an. Tanpa ilmu yang memadai kita berpotensi besar untuk keliru memahami al-Qur’an. Paham satu ilmu saja, tidak akan cukup. Paham bahasa Arab saja, tidak akan cukup. Apalagi kalau tidak mengerti bahasa Arab sama sekali. Maka bukalah kitab-kitab tafsir untuk memahaminya.
Pendek kata, dalam upaya kita berusaha memahami kandungan al-Qur’an, kita ‘kosong’-kan diri kita dari nafsu dan kepentingan, lantas kita ‘isi’ diri kita dengan berbagai ilmu. Jangan sampai terbalik: kita kosong dari ilmu, dan lantas kita isi dengan berbagai nafsu dan kepentingan. Ancuurrr dehhh!
Semoga kita bisa menjalankan pesan-pesan dari Imam al-Qurthubi ini.
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriyah PCI Nahdlatul Ulama
Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School