بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله الذي نشر للعلماء أعلاما وثبت لهم على الصراط المستقيم أقداما وجعل مقام العلم أعلى مقام وفضل العلماء بإقامة الحجج الدينية ومعرفة الأحكام وأودع العارفين لطائف سره فهم أهل المحاضرة والإلهام ووفق العاملين لخدمته فهجروا لذيذ المنام وأذاق المحبين لذة قربه وأنسه فشغلهم عن جميع الأنام أحمده سبحانه وتعالى على جزيل الإنعام وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له الملك العلام وأشهد أن سيدنا ونبينا محمدا صلى الله عليه وسلم عبده ورسوله وصفيه وخليله إمام كل إمام وعلى آله وأصحابه وأزواجه وذريته الطيبين الطاهرين صلاة وسلاما دائمين متلازمين إلى يوم الدين وبعد
Kutipan muqaddimah Kitab al-Iqna’ di atas sebagai penghormatan kepada seorang ahli fiqh yang baru saja meninggalkan kita semua: Prof Dr Hj Huzaemah Tahido Yanggo. Segala puji bagi Allah yang telah menebarkan panji-panji para ulama, menetapkan bagi mereka jalan yang lurus, dan menjadikan maqam ilmu sebagai maqam tertinggi, dan melebihkan para ulama dengan menegakkan hujah agama dan pengetahuan hukum Islam, yang Allah telah menitipkan berbagai rahasiaNya. Para ulama itu adalah sumber ilmu dan inspirasi. Mereka para ulama berkhidmat kepadaNya sehingga meninggalkan kesenangan saat tidur dan Allah memberi para kekasihNya kenikmatan saat berdekatan denganNya sehingga Allah memalingkan perhatian mereka dari makhluk yang lain.
Muqaddimah kitab Iqna’, yang merupakan kitab syarah dari al-Ghayah wa al-Taqrib, atau dikenal dengan Matan Tarib karangan Qadhi Abu Syuja’ (wafat 593 H), telah melukiskan penghormatan sekaligus menjelaskan karakter seorang ulama. Tanpa ragu kita menyaksikan Prof Huzaemah menempati maqam seperti itu.
Dalam sejarah Islam kita mengenal nama seorang sahabat Nabi yang bernama Khuzaimah bin Tsabit (خزيمة بن ثابت). Beliau berasal dari suku Aus di Madinah. Jadi beliau termasuk golongan Anshar. Dan memiliki laqab yang terkenal, yaitu Dzu al-Syahadatain. Hal itu dikarenakan oleh sebuah peristiwa dimana beliau dimintai kesaksian oleh Rasulullah dan Rasulullah menilai kesaksiannya sebagai kesaksian dua orang adil yang dikarenakan imannya dan keyakinannya yang kuat kepada Rasulullah. Suatu hari Khuzaimah memberi kesaksian mengenai kuda Nabi Muhammad saw yang bernama Murtajiz yang dibeli Nabi saw dari seorang Arab Badui. Namun Badui tersebut kemudian mengingkarinya dan mengatakan ia tidak pernah menjualnya kepada Nabi saw. Hal itu memancing sebagian orang-orang munafik menyebarkan berita buruk mengenai Nabi saw. Untuk membendung tersebarnya berita bohong tersebut, Khuzaimah memberikan kesaksiannya yang memihak pada Nabi saw. Nabi Muhammad saw kemudian bertanya kepadanya, “Bagaimana mungkin engkau bisa memberi kesaksian sementara engkau tidak bersama dengan kami saat muamalah itu terjadi?”. Khuzaimah menjawab, “Aku tahu, engkau ya Rasulullah tidak akan mengucapkan perkataan selain kebenaran. Bagaimana mungkin engkau yang telah kami benarkan membawa agama dari Allah swt namun sekedar pengakuan telah membeli seekor kuda dari seorang Badui yang hina, akan kami tolak?” Mendengar pernyataan Khuzaimah tersebut, Nabi Muhammad saw bersabda, “Setiap Khuzaimah memberikan kesaksian, baik itu mendukung ataupun menolak maka kesaksiannya telah cukup.“
Peristiwa ini bukan perkara kecil. Kenapa? Karena kelak kesaksian seorang Khuzaimah dalam proses kodifikasi al-Quran menjadi sangat krusial.
Zaid bin Tsabit berkata, “Tatkala saya menulis mushaf, saya mendengar satu ayat dari Rasulullah Saw, saya tidak jumpai pada seseorang atau pada catatan. Kemudian saya menemukannya pada Khuzaimah bin Tsabit dan ayat tersebut adalah, “min al-mu’minin rijalun shadaqu…” (QS al-Ahzab:23) dan karena Rasulullah Saw menerima kesaksian Khuzaimah sebagai ganti kesaksian dua orang dan menyebutnya sebagai “dzu al-syahadatain” saya juga menerima kesaksiannya seorang diri dan dengan kesaksian, saya menulis ayat tersebut.
Dalam riwayat lain: Ibnu Asytah menukil dari Laits bin Sa’id, “Orang pertama yang mengumpulkan al-Quran adalah Abu Bakar dan penulisnya adalah Zaid bin Tsabit. Orang-orang yang menyimpan ayat-ayat al-Quran membawanya ke hadapan Zaid namun ia tidak menerimanya kecuali dengan kesaksian dua orang jujur, dapat dipercaya dan Zaid bin Tsabit tidak menemukan dua ayat terakhir surah al-Taubah, kecuali pada Khuzaimah, namun ia tidak memiliki saksi yang membenarkan ucapannya. Namun demikian Abu Bakar memerintahkan untuk menulis; karena Rasulullah Saw menerima kesaksiannya sebagai ganti kesaksian dua orang dan ayat tersebut ditulis. Umar juga membawakan ayat rajam namun karena ia tidak memiliki saksi, ayat tersebut tidak ditulis
Peristiwa ini masyhur di kalangan para ulama al-Qur’an. Saya dulu juga pernah berbincang soal ini dengan Prof Huzaemah sewaktu saya bercanda bahwa nama beliau itu sebenarnya nama seorang sahabat Nabi laki-laki, bukan nama perempuan. Prof Huzaemah tertawa saat itu. Lantas beliau menyinggung riwayat di atas akan keutamaan sahabat Khuzaimah. Artinya, peran penting seorang bernama Khuzaimah dalam menjaga ayat al-Quran sangatlah signifikan. Dan kini kita tahu bahwa Prof Huzaemah saat wafat masih dalam kedudukan sebagai Rektor Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta, dimana peranan IIQ menjaga ayat dan ilmu al-Quran sangatlah signifikan di tanah air. Mungkin ini bukan sebuah kebetulan beliau diberi nama Huzaemah.
Saya termasuk mahasiswa yang dekat sekali dengan Prof Huzaemah saat saya kuliah di jurusan Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) pada Fakultas Syariah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya masuk angkatan tahun 1991. Beliau saat itu sebagai ketua jurusan PMH. Abah saya memang menitipkan pendidikan saya kepada Prof Huzaemah. Itu sebabnya gerak langkah saya di kampus selalu dipantau dan dalam pengawasan serta pembinaan beliau. Tak jarang beliau melaporkan perkembangan saya kepada Abah. Abah pun sering bertanya tentang kemajuan studi saya kepada Prof Huzaemah.
Ada satu kejadian lucu yang kemudian sering diceritakan ulang oleh Prof Huzaemah dalam berbagai kesempatan. Saat membimbing praktikum ibadah, kami para mahasiswa dipanggil ke ruangan beliau, dan satu per satu ditanya soal praktek ritual. Suasana sangat tegang karena kami sedang diuji. Tiba giliran saya beliau bertanya: “Nadir, bagamana caranya memandikan jenazah?”
Saya spontan menjawab, “Ihh takut ah, Bu!”
Beliau tertawa. Dan rupanya peristiwa itu sangat dikenang beliau, sehingga beliau sering ceritakan ulang dalam berbagai kesempatan. Alih-alih menjawab, saya malah spontan menunjukkan ketakutan saya. Beliau bilang, “Sekarang saja Nadir itu gelarnya sudah panjang berderet. Dulu dia takut memandikan jenazah.”
Tapi Prof Huzaemah pernah membalas dengan cukup telak. Saat ujian Qira’atul Kutub, kami diminta membaca teks kitab kuning. Saat saya sedang mencari kata yang tepat untuk menerjemahkan ‘ibarat dalam kitab tersebut, Prof Huzaemah, meledek saya sampai saya gemetaran, “Abah kamu kan mbahnya kitab kuning, Masak kamu menerjemahkan saja gelagapan”. Kalau dalam permainan catur, saya sudah kena sekak seter. Saya sudah keringat dingin dibuatnya.
Skripsi saya juga dibimbing oleh Prof Huzaemah (selain juga oleh Prof Gani Abdullah). Karena kesibukan beliau membimbing tesis dan disertasi, saat itu skripsi saya agak lama beliau periksa. Lantas Abah saya bertanya progress skripsi saya dan saya katakan apa adanya masih diperiksa oleh Bu Huzaemah. Rupanya kemudian saat bertemu dengan Bu Huzaemah, Abah saya berkata: “Skripsi Nadirsyah tolong segera dibaca. Dia mau segera menikah, tapi saya bilang harus selesai dulu kuliahnya.” Maka keesokan harinya hebohlah Bu Huzaemah saat bertemu saya: “Nanti malam ke rumah yah ambil skripsi kamu, Nadir. Abah bilang ke saya kamu tidak bisa menikah kalau skripsi belum lulus.” Lantas beliau menginterogasi saya kenapa mau buru-buru menikah dan siapa calon saya.
Selepas lulus kuliah (dan menikah), saya kemudian menjadi asisten dosen. Prof Huzaemah sebagai dosen utama dan saya mengasisteni. Beliau tidak melepas saya mengajar sendiri. Beliau masuk kelas berdua dengan saya, sambil membina saya untuk menjadi dosen yang baik. Kalau sekarang alhamdulillah saya menjadi dosen di Australia, sebenarnya karir akademik saya dimulai dengan menjadi asisten Prof Huzaemah di IAIN Jakarta.
Beliau sangat memahami gejolak anak muda seperti saya saat itu. Pernah dalam satu perjalanan di mobil, ada seorang dosen lain yang bersikap sok tahu tentang satu masalah. Saya hampir saja kelepasan diri merespon omongan dosen tersebut. Namun Prof Huzameah yang duduk di samping saya di mobil berbisik: “La Yadri wa La Yadri Annahu La Yadri (orang yang tidak tahu dan tidak mengetahui bahwa ia tidak tahu).” Mendengar itu saya menganggukkan kepala. Saya memilih diam dan tidak menanggapi omongan orang yang jahil murakkab itu. Demikianlah cara Prof Huzaemah mengademkan suasana dengan kebijaksanaan beliau.
Di IIQ Jakarta, saya kembali menjadi asisten beliau. Saat beliau sebagai Direktur Pascasarjana IIQ yang pertama, saya menjadi asisten direktur, meski hanya sebentar karena saya berangkat meneruskan sekolah ke Australia. Komitmen beliau luar biasa. Sampai menagih uang SPP mahasiswa pasca ke dalam kelas. Saya menggoda beliau soal ini: “Masak sampai Direktur pasca masuk kelas menagih SPP mahasiswa?!” Bu Huzaemah tertawa dan rupanya beliau terkenang dengan hal ini sehingga sering juga diceritakan ke banyak pihak dalam berbagai kesempatan.
Terakhir bertemu di acara bedah buku saya di Asrama IIQ Cinangka. Prof Huzaemah berbisik dan bertanya kapan saya akan pulang dan kembali ke IIQ. Beliau juga ceritakan kemajuan IIQ dalam beberapa tahun terakhir. Saya hanya tersenyum dan menjawab: “Alhamdulillah, yang sudah berjalan baik, mohon diteruskan. Selama IIQ maju di tangan Ibu Huzaemah, almarhum Abah pasti senang dan saya juga senang karena saya berarti bisa terus di Australia.” Beliau tertawa lagi, “Kamu ini, bisa saja” kata beliau.
Sekarang semua canda, ilmu dan obrolan dengan beliau sudah berakhir. Sebuah pukulan amat berat ketika mendengar beliau wafat. Amal jariyah beliau sebagai ilmu yang bermanfaat akan terus mengalir. Murid-murid beliau sangat menyayangi dan menghormati beliau. Saya pun selalu mencium tangan beliau saat bertemu sebagai tanda hormat seorang anak dan murid. Doa terbaik untuk sang ahli fiqh penjaga al-Quran. Lahal fatihah.
Saya ingin menutup tulisan ini dengan petikan sya’ir Imam Syafi’i –untuk mengambil barokah dari pendiri mazhab Syafi’i saat mengenang berpulangnya ahli fiqh perempuan kebanggan Indonesia
أُحِبُّ الصالِحينَ وَلَستُ مِنهُم
لَعَلّي أَن أَنالَ بِهِم شَفاعَه
Aku mencintai orang Shalih, meskipun aku bukan orang Shalih
Aku berharap semoga diriku akan memperoleh syafaat dari mereka
Tabik,
Nadirsyah Hosen
(Monash University dan PCI NU Australia – New Zealand)