You are here:

Satunya Kata dan Perbuatan

"walk the talk" cloud word

Problem mendasar orang beragama adalah menyatukan antara apa yang diucapkan dan apa yang dikerjakan. Walk the talk. Berjalan sesuai dengan apa yang dikatakan, bukan sebaliknya. Al-Qur’an pun memberi teguran: 

[aswaja_translation]Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tiada kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan. (Ash-Shaff: 2-3). [/aswaja_translation]

Tafsir Ibn Katsir menjelaskan asbabun nuzul ayat di atas: Sejumlah pihak mengatakan, “Seandainya kami mengetahui amal yang paling disukai Allah, tentulah kami akan mengerjakannya.” Maka Allah memberikan petunjuk kepada mereka tentang amal yang paling disukai oleh-Nya melalui firman-Nya: Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan­-Nya dalam barisan yang teratur. (Ash-Shaff: 4) Kemudian Allah menjelaskan kepada mereka amal tersebut, lalu mereka diuji dalam Perang Uhud dengan hal itu, dan ternyata pada akhirnya mereka lari ke belakang meninggalkan Nabi SAW. Lantas Allah SWT menurunkan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? (Ash-Shaff: 2)

Ada lagi yang suka ‘bluffing’ atau melebih-lebihkan kemampuan dan kapasitasnya seolah terlihat begitu hebat. Qatadah dan Ad-Dahhak mengatakan, ayat ini diturunkan untuk mencemoohkan suatu kaum yang mengatakan bahwa diri mereka telah berperang, memukulkan pedang mereka dan menusukkan tombak mereka, serta melakukan hal-hal lainnya, padahal kenyataannya mereka tidak melakukan sesuatu pun dari apa yang telah dikatakannya itu. Kita sering menjumpai orang seperti ini disekeliling kita, bukan?

Bagaimana dengan orang yang suka menjanjikan untuk melakukan sesuatu atau menolong namun pada kenyataannya janji hanya tinggal janji, apakah termasuk ke dalam makna ayat betapa amat besar kemurkaan Allah bahwa mereka mengatakan sesuatu yang tidak mereka kerjakan? Tafsir Ibn Katsir mengatakan Ibnu Zaid telah menyebutkan bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik. Mereka menjanjikan kepada kaum muslim bahwa mereka akan membantunya, tetapi ternyata mereka tidak memenuhi apa yang mereka janjikan. Nah!

Ibadah puasa melatih kita untuk menyatukan apa yang kita katakan dengan apa yang kita kerjakan. Inilah ibadah yang unik. Ibadah yang pasif. Ibadah dalam sunyi. Saat buka puasa bersama, kita tidak tahu siapa yang benar-benar berpuasa dan siapa yang hanya pura-pura terlihat lemas. Ini ibadah yang orang dengan mudah berpura-pura melakukannya karena ini ibadah yang tidak terlihat secara kasat mata. Justru melalui ibadah semacam inilah kita diuji untuk menyatukan seluruh gerak panca indera kita dengan ibadah puasa. Kita puasakan pendengaran, penglihatan dan penciuman kita. Bisakah?

Jikalau saat berpuasa kita masih saja nyinyir dan nyindir kepada orang lain, kita terus saja mengorek-ngorek cerita tersembunyi orang lain, kita masih gagal menahan diri untuk bersabar dan terus ngomel-ngomel, atau kita masih saja mengejar perkara haram sebagai sajian berbuka puasa, maka kita akan termasuk ke dalam ayat di atas: mulut kita saja yang mengatakan kita berpuasa tapi tindakan dan perbuatan kita sama sekali tidak mencerminkan orang yang berpuasa.

Di medsos ukurannya gampang kok: lihat saja status, komen atau cuitan apakah ada perbedaan dalam bulan puasa ini. Jika fitnah dan gossip serta caci maki masih saja bertebaran maka kita belum mampu menyatukan apa yang kita ucapkan (bahwa kita tengah berpuasa) dengan apa yang kita kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan!

Tabik,

Nadirsyah Hosen