Setelah menghangatkan tubuh di api unggun, kedua Kiai ini tertudur. Bangun esok paginya, Kiai Muda berkata: “lapar sekali perutku, pak yai”. Kiai Tua menjawab, “sisa bekal makanan sudah habis semalam. Kalau begitu kita niatkan puasa sunnah saja hari ini.” Kiai Muda setuju.
Mereka berdua kembali berjalan melewati bukit dan menyeberangi sungai. Kali ini tak ada gadis ayu yang meminta digendong meski Kiai Muda sudah celingukan menoleh kesana-kemari. Kiai Tua tersenyum melihat tingkah polah kawan seperjalanannya ini.
Mereka terus berjalan hingga mentari tepat di atas kepala mereka. Letih dan lapar. Mereka memasuki perkampungan. Ternyata sedang ada hajatan. Salah satu penduduk memotong dua kambing untuk acara akikah bayi lelakinya. Semua bergembira dan memenuhi halaman rumah orang itu. Kedua Kiai kita melintasi rumah itu. Tuan rumah tiba-tiba berseru “wahai kedua musafir yang terhormat, hendak kemana kalian? mari ke sini berkahi keluarga kami dengan kehadiran dan doa-doa kalian”
Kiai Tua mengangguk dan memasuki halaman rumah yang punya hajat disambut dengan gembira oleh para tamu lainnya. Setelah proses akikah selesai, tuan rumah dengan tangannya sendiri menyiapkan dua piring sajian dengan gulai kambing kepada kedua musafir ini. “Doakan keluarga kami,” pintanya. Kiai Tua mengangkat tangannya berdoa. Mendadak semua orang diam tak bersuara. Semua khusyuk menunduk dan mengaminkan kata-kata Kiai Tua.
Selepas itu tuan rumah menyodorkan kedua piring itu kepada kedua Kiai. Kiai Muda bingung apa yang harus dilakukan: bukankah mereka tengah berpuasa?
Kiai Tua tanpa pikir panjang menyambut piring itu dan mulailah ia memakannya. Kiai Muda merah padam mukanya. Ia berbisik, “pak yai, bukankah kita sedang berpuasa? mengapa mudah sekali pak yai mengikuti godaan ini? untuk apa dari tadi kita tahan lapar dan dahaga diperjalanan kalau sekarang kita gadaikan komitmen kita hanya karena dijamu seperti ini. Pak yai, jawablah….jangan diam saja. Pak Yai yang menyarankan kita berpuasa, kok pak yai sendiri yang malah meninggalkan puasa ini!”
Tuan rumah bingung melihat Kiai Muda tak menyentuh makanannya. Kiai Muda bangkit dari duduknya dan mengucapkan: “assalamu alaikum, maaf hadirin dan hadirat semua. Saya ini sedang berpuasa. Saya minta tolong kalian menghormati saya.” Untuk kedua kalinya tuan rumah dan tamu mendadak terdiam. Kalau kali pertama mereka terdiam karena khusyuk berdoa, maka kali ini mereka terdiam karena tidak nyaman dengan kalimat yang diucapkan Kiai Muda.
Kiai Tua menepuk pundak Kiai Muda, “duduklah. Kalau kau katakan kita sedang berpuasa, maka kita bisa jatuh pada ujub, dan ucapan itu juga menyakiti tuan rumah. Mereka sudah sangat menghormati kita. Itu sebabnya aku balas penghormatan mereka dengan menikmati sajian yang mereka hidangkan. Ini bukan godaan tapi jamuan ilahi. Makanlah. Membalas penghormatan orang lain itu wajib, sementara puasa kita cuma sunnah. Dahulukan perkara wajib ketimbang sunnah; dan dahulukan membahagiakan orang lain ketimbang memuaskan ego mu dalam beribadah. Besok, kalau kau mau, bisa kau mulai puasa sunnahmu lagi, tapi hari ini satu penduduk kampung sedang bergembira. Bergabunglah bersama amalan jamaah ketimbang ngotot pada amalan sunnah individu.”
Kiai Tua melanjutkan makan. Tuan rumah pun kembali melayani para tamu. Sementara itu, Kiai Muda masih berusaha mencerna kata-kata Kiai Tua.
Bersambung….bi idznillah…
Tabik,
Nadirsyah Hosen
(jamu yang pahit saja aku minum, apalagi jamuanMu Ya Rabb)
ps.
kisah di atas terinspirasi dari Hadis Sahih Muslim yang disyarah-i oleh Imam Nawawi