Saat Imam Jalaluddin as-Suyuthi masih berusia kurang dari 6 tahun, ayahanda beliau wafat. Jalal kecil kemudian dibawah asuhan seorang ulama besar. Kamaluddin bin al-Hammam (ada juga yang membacanya al-Hummam). Siapa sosok Imam Kamal ini?
Saya pertama kali mendengar nama ahli fiqh ini saat ngaji sama Abah saya soal talfiq (mencampuradukkan berbagai mazhab). Al-Kamal ibnul Hammam dan juga muridnya Ibnu Amir al-Hajj dalam kitab at-Tahrir dan juga syarahnya berkata, “Sesungguhnya seorang muqallid boleh bertaklid kepada siapa saja yang ia kehendaki. Apabila seorang awam dalam setiap menghadapi permasalahan mengambil pendapat mujtahid yang dianggap ringan olehnya, maka hal yang demikian itu boleh dan saya tidak menemukan dalil yang melarangnya baik dalil naqli maupun aqli. Apabila ada seseorang yang mencari-cari pendapat yang dirasa ringan dari pendapat para mujtahid yang memang mempunyai kelayakan untuk berijtihad, maka saya tidak menemukan dalil bahwa syara’ mencela sikap seperti ini. Bahkan, Rasulullah saw. suka terhadap hal yang memudahkan umatnya.“
Abah saya merasa cocok dengan pandangan al-Kamal bin al-Hammam di atas. Selain menulis kitab ushul al-Fiqh berjudul at-Tahrir, beliau juga menulis kitab fiqh berjudul Fathul Qadir yang merupakan syarah (penjelasan) terhadap kitab al-Hidayah, yang merupakan salah satu kitab rujukan utama dalam mazhab Hanafi.
Iya, Syekh al-Kamal ini memang bermazhab Hanafi, padahal Imam Jalaluddin as-Suyuthi yang merupakan anak asuh dan murid langsung beliau kelak bermazhab Syafi’i. Begitulah para ulama klasik: tidak fanatik dengan mazhab mereka.
Imam Kamal ini bukan saja sudah mencapai tingkatan Mujtahid fil mazhab, tapi juga pribadi yang sangat tawadhu. Dikabarkan beliau tidak mau duduk di kursi bekas gurunya saat mengajar, dan lebih memilih duduk di lantai bersama jama’ahnya karena sangat menghormati guru-gurunya. Jangankan merasa sepadan dalam ilmu, bahkan untuk menempati kursi yang pernah diduduki gurunya saat mengajar pun beliau merasa belum layak.
Uniknya lagi, beliau tidak anti dengan tasawuf, padahal umumnya para fuqaha cukup tegas dalam urusan dengan sufi.
Imam Suyuthi mencatat dalam Bughyat al-Wu’ah (1/167):
وَكَانَ للشَّيْخ نصيب وافر مِمَّا لأرباب الْأَحْوَال من الْكَشْف والكرامات، وَكَانَ تجرد أَولا بِالْكُلِّيَّةِ، فَقَالَ لَهُ أهل الطَّرِيق: ارْجع فَإِن للنَّاس حَاجَة بعلمك.
Suatu waktu Imam Kamaluddin berkhalwat meninggalkan urusan publik, dan tenggelam dalam kondisi kasyaf dan karamah, namun kemudian sang mursyid (ahlut thariq) berkata kepada beliau: “Pulanglah. Sesungguhnya manusia membutuhkan ilmu dirimu”.
Beberapa tahun lalu, ditemani dua kawan mahasiswa al-Azhar (Ahmad Hadidul Fahmi dan Itha’) saya ziarah ke makam Syekh Ibn Athaillah, pengarang al-Hikam. Kedua sahabat ini memberitahu saya bahwa ada makam Ibn al-Hammam di belakang masjid. Terngiang dengan nama ulama besar ini saat dulu mengaji dengan Abah, saya spontan bilang mau sekalian sowan.
Kami beruntung kuncen mau membukakan pintu untuk kami. Saya berdoa di makam Kamaluddin bin al-Hammam, seorang faqih yang juga sufi. Ada catatan di dinding makam kisah ajaib saat Kamaluddin bin al-Hammam berziarah ke makam Syekh Ibn Athaillah. Beliau sedang ngaji al-Qur’an, ketika tiba pada surat Hud ayat 105:
يَوْمَ يَأْتِ لَا تَكَلَّمُ نَفْسٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ ۚ فَمِنْهُمْ شَقِيٌّ وَسَعِيدٌ
“Di kala datang hari itu, tidak ada seorangun yang berbicara, melainkan dengan izin-Nya; maka di antara mereka ada yang celaka dan ada yang berbahagia.”
Tiba-tiba terdengar suara Ibn Athaillah dari dalam makam: “Wahai Kamal, tidak ada di sini diantara kami yang celaka”.
Mendengar suara itu, beliau kemudian berwasiat agar dimakamkan di dekat makam Syekh Ibn Athaillah —mungkin agar kecipratan barakah termasuk golongan yang tidak celaka di hari kiamat nanti.
Jadi jangan kaget kalau seorang ahli fiqh juga mengalami berbagai dimensi spiritual. Mungkin mereka gak mau menampilkannya saja. Semuanya bagian dari rahasia Allah Swt.
Tabik,
Nadirsyah Hosen