You are here:

Bagaimana Menulis dan Membaca yang Efektif?

Saya banyak ditanya oleh sejumlah kawan soal bagaimana caranya bisa menulis tema berat dengan bahasan yang ringan, serta bagaimana caranya selalu punya ide untuk menulis. Ijinkan saya untuk berbagi di sini sedikit tips. Yang sudah jago menulis ya gak perlu ikutan membaca. Tips ini hanya untuk yang membutuhkan saja (biar saya tidak dianggap menggurui para senior dan masyayikh yang sudah lebih dulu berkecimpung dalam dunia tulis-baca). Ngapunten ….

Kawan-kawan,

Menulis itu soal gagasan, baru kemudian soal tata bahasa. Jadi menulis saja, tidak usah takut salah ejaan atau cacat redaksinya.

Jangan seperti cerita ahli bahasa yang kejeblos sumur dan masih sibuk membenarkan redaksi org yang akan menolongnya. Akhirnya tetap tinggallah ia di dalam sumur sampai ada orang yang mampu menawarkan bantuan dengan redaksi kalimat yang benar dan tepat.
Menulis itu juga soal kejujuran. Kalau mengutip makalah orang lain ya sebutkan dong sumbernya. Buat apa ahli bahasa tapi tidak jujur mengutip sumber.

Menulis itu soal pengetahuan bukan semata soal selera. Jadi kalau menguasai permasalahannya ya tulis saja. Kalau tidak paham, lalukan riset kecil-kecilan, atau kalau tidak, ya tahu dirilah untuk tidak menulis sesuatu yang tidak kita kuasai.

Satu lagi, karena tulisan itu sejatinya memaparkan gagasan, maka kalau anda tidak tahan dikritik, ya tidak usah menulis di publik. Cukup di lembar diary saja. Kalau dikritik tidak usah mencak-mencak menyerang pribadi. Itu namanya ad hominem. Fokus saja pada gagasan semula.

Dulu orang cuma menulis di koran/majalah, pada era sekarang kita bisa menulis di medsos/blog. Jadi menulislah dimanapun. Kalau dulu harus bawa pena dan kertas. Sekarang bisa menulis di hp atau tablet. Yang penting tidak usah malu atau takut disalahkan.

Dulu Arswendo bikin tips bahwa mengarang itu gampang. Tapi setelah jadi tulisannya siapa yg mau terbitkan? Sekarang menulis dan menerbitkannya gampang semua 🙂
Sebagai penulis beberapa buku saya fokus pada gagasan nanti ada editor bahasa yang disediakan penerbit untuk mengecek redaksi dan tata bahasanya.

Sejumlah buku saya diterbitkan penerbit internasional. Editor bahasanya lebih ‘kejam’ lagi. Tapi editor ya gak punya gagasan. Saya yang punya ide dan gagasan serta karya. Mereka editor bahasa dan saya author.

Kalau sebelum menulis kita sudah takut salah tata bahasa, yakinlah kita tidak akan pernah memulai menulis. Tulis dulu, redaksi belakangan saja. Jangan mau menulis yang indah atau menulis dengan kalimat majemuk yang kompleks. Menulis dengan simpel dan kalimat sederhana saja. Yang penting gagasan bisa dipahami dulu.

Lantas dari mana datangnya ide atau gagasan itu? Semakin kita banyak membaca maka semakin kita kaya dengan gagasan. Tapi bagaimana cara membaca yang baik?

Membaca itu juga soal gagasan bukan ribet soal tanda baca. Itu bedanya membaca dan mengeja.

Banyak yg pinter grammar atau nahwu sharaf tapi tidak mendalami apalagi mengkritisi gagasan dalam teks yang dibaca. Misalnya, belajar kitab kuning sampai ngelotok mengi’rab tapi kemudian tidak paham isi teks yang dibaca. Ini sekali lagi bukan membaca gagasan tapi mengeja huruf atau tanda baca.

Begitu juga yang belajar bahasa inggris sampai ngelotok paham subjek + verb tapi disodorkan koran bahasa Inggris tidak bisa mengerti satu alinea pun. Ini namanya kita belajar mengeja bukan belajar membaca.

Pengajaran tata bahasa kita selama ini dibuat ribet sehingga luput mengajarkan cara memahami gagasan dalam teks. Itu sebabnya mahasiswa yang baru kuliah di luar negeri meski skor TOEFL lolos tapi pas baca jurnal top harus membacanya berulang-ulang baru bisa paham.

Itu karena kita sibuk diajarkan tata bahasa yang rumit dan tidak diajarkan cara membaca yg kritis (critical reading).

Tahap selanjutnya tentu saja bagaimana bisa menulis dan membaca dengan cepat. Buku tebal berjilid-jilid dan paper setumpuk harus dibaca tapi waktu kita terbatas, begitu juga deadline kerjaan menerjang kita, maka kita harus terlatih membaca dan menulis dengan cepat, cermat dan kritis. Soal yang terakhir ini kapan-kapan dibahas lagi yah  🙂
Tabik,

 

Nadirsyah Hosen