You are here:

Sarung Sang Guru (2)

Milik

Di luar hujan turun dengan derasnya, namun di dalam ruangan itu, ucapan Sang Guru mengalir begitu derasnya ke mata hati mereka, menyibak berbagai topeng yang sering mereka kenakan:

“Ada yang berusaha keras menunjukkan dirinya pintar; ada yang membangun image sedemikian rupa bahwa dirinya alim; dan ada yang sungguh-sungguh mempertontonkan kemewahan hidupnya”.

“Ketahuilah, semakin sedikit yang kau miliki semakin banyak yang ingin kau perlihatkan kepada orang lain demi sejatinya menutupi kekuranganmu. Mereka yang tidak perlu membuktikan apapun adalah meraka yang telah memiliki segalanya”.

Cinta Beda Level

Seorang isteri bersungut-sungut:

“Katanya kamu sudah melupakan kesalahanku yang dulu, tapi kenapa kamu masih saja selalu menyebut-nyebutnya?”

Suami dengan melotot menjawab nggak mau kalah:

“Lho aku menyebut-nyebut kembali kesalahan kamu itu untuk mengingatkan diriku bahwa aku sudah melupakan kesalahanmu yang lalu!!!”

Nun jauh di sana, ada seorang hamba yang mengadu pada Tuhan: “Duh Gusti, ampuni kekhilafan dan dosa-dosa hamba….”

Tiba-tiba ada bisikan di kalbunya: “Dosa? dosa apa? kekhilafan yang mana? Aku sudah melupakannya, sementara kamu masih saja mengingatnya. Mengapa kamu masih saja menyebut-nyebut sesuatu yang sudah lama Aku lupakan?”

Cinta itu melupakan yang sudah berlalu. Bukankah Engkau mencintai kami seperti itu, Ya Rabbana!!

Harap

Pada siapa kita menaruh harap? Pada pemberi harapan palsu di sekitar kita kah –yang hanya mendatangi kita saat butuh, dan menjauh saat tak lagi membutuhkan kita?

Pada siapa kita tujukan asa kita? Pada mereka yang memuji di saat mereka suka dengan apa yang kita kerjakan untuk mereka, dan mencaci disaat kita melakukan pekerjaan yang tidak sesuai keinginan mereka?

Pada siapa kita memelas belas kasihan? Pada mereka yang memandang kita dengan iba dan merendahkan harga diri kita atas apa yang tidak kita miliki?

Pada siapa kita tengadahkan tangan? Pada mereka yang sewenang-wenang dengan kekuasaanya dan memaksa kita untuk diam pada kezaliman mereka?

Pada siapa kita haturkan semua pinta? Pada mereka yang merasa berjasa mengabulkan pinta kita selama tercatat di atas tinta dan terus mengungkit-ungkit jasa mereka?

Pada siapa kita tundukkan diri? Pada mereka yang berpura-pura simpati atas penderitaan kita seraya menjadikan itu sebagai bagian pencitraan belaka?

Pada siapa kita teteskan air mata kita? Pada mereka yang menjadikan tangisan kita sebagai ukuran kelemahan diri sehingga mereka merasa meraih kemenangan?

Pada siapa kita meminta maaf? Pada mereka yang mengaku bisa memaafkan namun tidak bisa melupakan atau pada mereka yang menjadikan “maaf-lahir-batin” sebagai tradisi tahunan belaka?

Pada siapa kita bersimpuh? Pada mereka yang membuat kita lumpuh dengan segala peraturan dan kebijakan hanya karena berharap ada amplop ampuh yang melewati itu semua?

Pada siapa kita ingin berpulang? Pada mereka yang menunggu kita di kampung halaman seraya berharap kita membawa berbagai hadiah dan pemberian?

Pada siapa kita berserah diri? Pada mereka yang memaksa kita untuk terus mengalah dan tertawa saat kita menyerah?

Allah…Allah…Allah

Ketika mata ini berkedip cuma Engkau yang ku harapkan.

Jangan tinggalkan aku barang sekejap matapun.

Tabik,

GNH