Orang tua itu dikejar-kejar pasukan Romawi. Dengan pengikutnya yang tidak seberapa, mereka berhasil lolos dari kepungan. Mereka berhasil keluar dari kota, dan malam itu mereka beristirahat melepas lelah. Peter, nama orang tua itu, bersiap untuk beristirahat. Tiba-tiba dia ‘melihat’ Yesus berjalan melintasinya. Seolah tak percaya dengan pandangannya, dia menegur Yesus, yang sudah disalib beberapa tahun sebelumnya.
“Mau kemana, Tuan?” Tanya Peter.
Yesus konon menjawab, “Aku mau ke kota Roma untuk disalib kedua kalinya.”
Peter terdiam. Ia merenung: apa maksud ‘penampakan’ itu tadi.
Lalu, dia putuskan malam itu kembali ke Roma. Para pengikutnya terkejut. “Bukankah kita baru saja lepas dari kepungan pasukan? Bukankan banyak bahaya yang akan mengancam kita kalau kembali lagi ke Roma?” Peter bersikukuh, dia merasa Yesus menginginkan dia untuk kembali ke Roma.
Sekembalinya Peter ke Roma, pasukan langsung menangkapnya, dan dia dijatuhi hukuman salib, persis seperti ‘penampakan’ Yesus yang dilihatnya. Dia menghadapi hukuman dengan tenang dan meminta satu hal, “Tolong aku disalib dengan posisi kepala di bawah. Tidak pantas aku disalib dalam posisi yang sama dengan Yesus.” Yesus sendiri konon bernubuwah bahwa pada pundak Peterlah akan dibangun gereja Yesus. Oleh Gereja Katolik, Peter diakui sebagai Paus Pertama. Gereja Katolik pun dibangun atas pondasi pengorbanan St. Peter.
Kita selalu tergetar mengingat kembali episode yang menentukan sejarah agama Kristen. Kita belajar memahami arti sebuah pengorbanan. Kita melihat makna terdalam atas sebuah kesabaran yang sering dimaknai sebagai sebuah kekalahan, bahkan ketololan.
Kita tahu—lewat disalibnya Peter di Romawi—pada akhirnya agama Kristen justru tersebar luas. Apa yang terjadi kalau Peter meneruskan usahanya untuk kabur pada malam pengepungan itu? Mungkin sejarah Kristen akan berbeda sama sekali.
Ratusan tahun setelah peristiwa Peter disalib, buku-buku sejarah juga menceritakan peristiwa yang tak kalah dahsyatnya. Pada Perjanjian Hudaibiyah, kekuatan pasukan Muhammad Saw. sudah cukup untuk mengalahkan Kafir Makkah. Namun beliau memilih untuk menerima perundingan. Teks perjanjian dimulai dengan “Bismillahirrahmanirrahim.”
Kalimat ini diprotes dan diminta dihapus oleh pihak Kafir. Nabi Muhammad menyetujuinya. Dia kemudian meminta, “Tulislah: Inilah yang sudah disetujui oleh Muhammad Rasulullah dan Suhail bin ‘Amr.”
Suhail kembali protes: “Jangan bawa gelarmu sebagai utusan Allah. Kami kan tidak mengakuinya. Tulis saja namamu dan nama bapakmu (Muhammad bin Abdullah).”
Nabi Muhammad kembali mengikutinya.Dalam satu riwayat, sahabat enggan menghapusnya, sehingga Rasul sendiri yang menghapus kalimat itu.
Darah para sahabat pun bergelegak. Perintah Rasul untuk bertahalul—mengakhiri manasik dan kembali ke Madinah (tidak jadi memasuki Makkah)—sampai diulang tiga kali, karena para sahabat masih belum menerima perjanjian yang merugikan itu.
Sampai-sampai diceritakan, pada akhir perundingan itu, Umar pergi menemui Abu Bakr dan terjadi percakapan berikut ini:
“Abu Bakr, bukankah dia Rasulullah?”
“Ya, memang!”
“Bukankah kita ini Muslimin?”
“Ya, memang!”
“Lantas, kenapa kita mau direndahkan dalam soal agama kita?”
“Umar, duduklah di tempatmu. Aku bersaksi, bahwa dia Rasulullah.”
Setelah itu Umar kembali menemui Nabi Muhammad. Diulangnya pembicaraan itu kepada Nabi Muhammad dengan perasaan geram dan kesal. Tetapi hal ini tidak mengubah kesabaran dan keteguhan hati Nabi. Di akhir pembicaraan, Nabi Muhammad berkata kepada Umar, “Aku hamba Allah dan RasulNya. Aku takkan melanggar perintahNya, dan Dia tidak akan menyesatkan aku.“
Kita bisa memahami betapa marahnya Umar dan kita juga kagum dengan kesabaran Abu Bakr yang selalu percaya dan tunduk pada keputusan Muhammad. Namun, kita jelas-jelas tergetar dengan kesediaan Rasulullah untuk mengalah dalam perjanjian itu. Mengapa beliau Saw. sampai bersedia mengalah? Mengapa beliau bersedia menyetujui perjanjian yang terkesan merugikan umat Islam?
Belakangan terbukti bahwa Perjanjian Hudaibiyah adalah langkah brilian di mana untuk pertama kalinya umat Islam duduk sejajar dan diakui eksistensinya. Dilanggarnya perjanjian ini oleh kaum kafir Makkah justru menjadi alasan legal bagi Rasulullah untuk menguasai Makkah lewat persitiwa fathu Makkah.
Episode dua agama besar di atas, Kristen dan Islam, mengajarkan pada kita bahwa kesabaran adalah tonggak berdirinya sebuah peradaban dunia. Kesabaran memang sebuah pengorbanan, namun bukan berarti sebuah kekalahan untuk selamanya. Lewat kesabaran, kemenangan akan tiba.
“Untuk kawan-kawan yang tengah remuk redam hatinya; untuk mereka yang tengah dilanda berbagai ujian dalam hidup, baik di rumah, di jalan raya, di tempat kerja maupun di tengah masyarakat; untuk saudara-saudara yang tengah dihinakan harkat derajat kemanusiaannya; dan untuk siapa saja yang tengah berusaha untuk bersabar, jadikanlah sabar sebagai penolongmu dan ubahlah kelemahan menjadi sebuah kekuatan lewat kesabaran.” Innallaha ma’ash shabirin. Sungguh Allah beserta orang-orang yang sabar.
Tabik,
Nadirsyah Hosen