Kali pertama kau tanya apa dalilnya aku mencintaimu
Kali kedua kau tanyakan lagi apakah rayuan mautku itu shahih, hasan atau dha’if
Kali ketiga kau mulai telusuri track recordku: aku menjadi objek jarh wa ta’dil
Aku tak tahan lagi. Kau pertanyakan ke-tsiqah-anku hanya karena aku lupa tgl ultah mu
Aku mengelak: aku hanya sekedar menjaga muru’ah sebagai syarat rawi bersikap adil
Tapi katamu itu bukti ada ‘illat (cela) dalam caraku mencintaimu
Ku ajak keluarga &kawan2ku utk meyakinkan dirimu aku serius. Tapi katamu jumlah mereka belum mutawatir
Aku coba dekati Ayahmu agar sanad hati dan pikiran kami bersambung dan marfu’
Katamu Ayahmu tak bersedia menemuiku, maka jadilah sanadku mursal – terputus
Tak puas kau kritik sanad cintaku, kini mulai kau pertanyakan matan cintaku
Katamu kenapa aku bilang “aku cinta padamu”, apakah ada cinta yg lain?
Kau ingin redaksiku: “kepadamu aku cinta” agar cuma kamu yg kucinta
Kau bilang jangan-janga matan cintaku telah dimansukh oleh matan sahih yang lain
Aku panik dan khawatir cintaku masuk kategori mardud
Aku coba menulis sajak cinta berikutnya agar ini menjadi shahih li ghairih
Namun kamu menggeleng. Katamu cintaku dhaif dan tidak bisa dijadikan hujjah
Tapi bukankah hadits dhaif masih bisa dipakai utk fadhail amal, kataku
Meskipun dhaif, cintaku tidak lantas menjadi bid’ah, aku tetap merayu
Engkau tersenyum manis. Semanis tumpukan 9 kitab hadits utama di mejaku
Kasih, aku mungkin dhaif tapi aku bukan cowok yang majhul
Cintaku bukan maudhu’. Ini tidak palsu
Ibaratnya cintaku ini suci seperti hadits qudsi
Kamu mau kan cintamu dan cintaku jadi muttafaqun alaih?
Kamu mengangguk. Sejak itu aku dan kamu jadi shahihain
Tabik,
Nadirsyah Hosen