Konon dulu ada seorang bapak yang menemui KH. Bisri Syamsuri, “Pak Kiyai, saya mau kurban sapi tahun ini. Saya ingin nanti sapi tsb bisa menjadi kendaraan saya sekeluarga di akherat.”
“Oh bagus…sapi itu untuk 7 orang. Berapa jumlah keluargamu?”
“Keluarga saya ada tujuh orang plus tambahan satu anak kecil. Jadi total delapan, boleh nggak pak kiyai?”
“Wah nggak boleh…sapi itu untuk 7 bukan 8 orang!”
Dengan kecewa, si Bapak pulang. Lalu besoknya dia pergi menemui KH. Wahab Chasbullah untuk bertanya hal yang sama. Apa jawaban KH. Wahab?
“Oh boleh…kamu boleh kurban sapi, hanya saja, karena anakmu yang terakhir itu masih kecil, untuk bisa naik sapi di akherat nanti dia mesti menginjak tangganya, yaitu satu kambing. Jadi, kamu kurban 1 sapi plus 1 kambing untuk keluargamu”
“Nggak masalah, pak Kiyai…yang penting kami sekeluarga bisa sama-sama naik sapi di akherat nanti. Tambah satu kambing untuk “tangga” si kecil nggak masalah buat saya.”
Catatan:
Mbah Bisri (Allah Yarham) adalah ulama NU yang terkenal “hitam-putih” dalam masalah fiqh, sedangkan Mbah Wahab (Allah Yarham) terkenal sebagai ulama NU yang lebih fleksibel. Kalau Mbah Bisri lebih memperhatikan aspek “tasydid”, Mbah Wahab lebih cenderung menggunakan pendekatan “takhfif”. Kedua pendekatan yang berbeda ini membuat gaya kepemimpinan mereka juga berbeda ketika masing-masing diserahi amanah sebagai Rais ‘Am NU.