Layaknya seorang remaja, Islam di negara kita dipenuhi dengan segala asesoris. Wajah yang sedikit jerawatan dan berlubang ditutupi dengan make up tebal, bibir dipoles dengan gincu merah tebal, dan, tak lupa, kalau diberitahu mana yang baik dan mana yang kurang baik maka segala argumen pembenaran akan keluar sesuai dengan “pandangan dunia”-nya.
Ketika sebuah masjid berdiri megah di RT saya, para tokoh masyarakat berkata, “sekarang kita nggak perlu numpang sholat ke masjid RT sebelah”. Dan inilah yang terjadi, masing-masing RT dan kelurahan berlomba membuat Masjid. Kita bukannya berfikir bagaimana memanfaatkan masjid yang sudah ada, tapi mengerahkan semua potensi dana ummat (yang terbatas itu) untuk membangun sebuah masjid baru.
Ironisnya, di saat banyak remaja masjid yang menyetop mobil-mobil sambil menyorongkan kotak amal, ditingkahi dengan pengeras suara yang mengalunkan ayat suci yang mengajak untuk bersedekah, kita malah membangun sebuah masjid nun jauh di sana; tepatnya, di Bosnia. Kita namakan masjid itu masjid Haji Muhammad Soeharto. Konon, masjid itu merupakan simbol bagaimana kita bersimpati terhadap nasib umat islam di Bosnia. Konon pula, masjid itu merupakan simbol bagaimana dekatnya pak Harto dengan umat islam baik di Indonesia maupun di Bosnia.
Banyak pesantren yang mengajarkan santrinya untuk hafal al-Qur’an. Di tingkat perguruan tinggi ada dua lembaga yang khusus untuk menghafal al-Qur’an di Jakarta, satu untuk wanita (IIQ-Jakarta) dan satunya lagi khusus pria (ISIQ-Jakarta). Saya bersaksi bahwa pesantren dan perguruan tinggi itu membutuhkan banyak perhatian dari kita semua agar kelangsungannya terus berjalan. Bukankah dengan menghafal al-Qur’an, mereka telah melestarikan ayat-ayat suci itu. Sungguh luar biasa, di tengah dunia yang semakin kompetitif ini, mereka masih mau menghafal al-Qur’an.
Ironisnya, pemerintah malah membangun Bayt al-Qur’an. Pak Menteri Agama dengan bangga mengatakan bahwa Bayt al-Qur’an di Taman Mini itu tidak sepeserpun meminta dana pada pihak luar negeri. Kemegahan Bayt al-Qur’an Indonesia nomor dua di dunia! Apa isi Bayt al-Qur’an? Ternyata hanyalah sebagai museum al-Qur’an. Artinya, naskah klasik al-Qur’an ditempatkan di sana.
Pertanyaannya, tidakkah cukup membangun Bayt al-Qur’an dengan sederhana dan tidak perlu ambisius menjadi yang nomor dua di dunia! Sisa dana (yang katanya murni dari bangsa sendiri bukan minta-minta ke luar negeri) itu sebaiknya justru dialirkan kepada pesantren dan perguruan tinggi yang khusus untuk menghafal al-Qur’an.
Dari Bayt al-Qur’an, al-Qur’an dilestarikan dalam bentuk benda mati. Ini baik daripada tidak ada sama sekali. Namun, dari pesantren dan perguruan tinggi khusus menghafal al-Qur’an, al-Qur’an akan dilestarikan oleh benda hidup; yaitu santri dan mahasiswanya. Di lembaga-lembaga itu, al-Qur’an bukan cuma dihafal, namun dipelajari seluk beluknya, qiraatnya, kandungannya dan gaya bahasanya. Di Bayt al-Qur’an, al-Qur’an “cuma” dipajang dan dipamerkan!
Di tengah kesulitan akibat krisis moneter, lagi-lagi kita bersolek dan menutupi lubang-lubang diwajah kita. Kita selenggarakan takbir akbar di Monas dengan biaya 1,5 miliar. Seperti biasa, kita terharu melihat pak Harto bertakbir! Saya justru menangis melihat betapa mubazirnya acara itu. Kalau pak Harto memang mau bertakbir… silahkanlah bertakbir (sebagai muslim dia dianjurkan melakukannya). Tapi, perlukah disediakan forum khusus untuk itu dengan biaya gila-gilaan.
Pak Probosutedjo mengatakan bahwa uang 1,5 miliar itu tak akan dibagi rata kalau diberikan ke fakir miskin sehinggga bisa menimbulkan iri; jadi mendingan dibikin takbir akbar aja! Pak Probo rupanya lupa bahwa dibalik “argumen” itu ia pun menyadari sebenarnya masih banyak kaum miskin di negara kita; saking banyaknya bahkan 1,5 miliar pun tak cukup membantu fakir miskin itu. Jadi, bukannya mencari tambahan agar bisa cukup membantu fakir miskin yg banyak itu, kita malah “membelanjakan” modal 1,5 miliar itu. Jadi, fakir miskin akhirnya tak mendapat sama sekali uang 1,5 miliar itu!
Saya nggak ngerti politik-politikan. Namun nurani saya mengatakan bahwa islam di negara kita masih sebatas aksesoris dan simbol belaka. Ingin rasanya saya panjat tiang langit dan saya adukan hal ini langsung kehadapan Allah swt. Saya percaya, ibarat kaum remaja, tak semuanya lebih mementingkan aksesoris dan simbol. Ada juga umat islam yang lebih suka melihat esensi dalam ber-islam. Sayang, mereka belum masuk ke panggung kekuasaan… sehingga mereka tak terlihat.
Ingin rasanya saya panjat tiang langit dan berdo’a langsung dihadapan Allah swt memohon agar umat Islam di Indonesia cepat dewasa dan meninggalkan segala make up dan gincu ini.
Duh Gusti….ampuni aku!