Lazim diketahui bahwa hukum Islam mengandung aspek absolut di satu sisi dan aspek relatif di sisi lain. Keabsolutan syari’ah Islam biasanya berasal dari konsep mutawatir, ijma’ dan qat’i al-dalalah. Diskusi dan perdebatan berhenti seketika saat diketahui bahwa topik yang dibahas merupakan ruang lingkup salah satu dari tiga konsep tersebut. Ketiga konsep ini telah berhasil “menjaga gawang” akidah dan syari’ah ummat Islam selama berabad-abad. Ijtihad dinyatakan tidak berlaku terhadap persoalan yang ternyata didukung oleh salah satu dari ketiga hal tersebut.
Kali ini kita mencoba untuk membuktikan bahwa sebenarnya masih banyak persoalan seputar ketiga konsep di atas. Catatan singkat ini hendak menunjukkan bahwa ketiga konsep itu lahir dari pemahaman ulama dan karenanya mengandung perbedaan pendapat; dan perbedaan pendapat tentu saja berpijak pada sisi relativisme ajaran Islam ketimbang sisi absolutnya. Dengan pendekatan lintas mazhab, satu persatu ketiga konsep tersebut akan di-“bongkar” atau dilakukan dekonstruksi terhadap keabsolutan ketiganya.
Mutawatir
Secara bahasa, mutawatir bermakna banyak, terkenal atau umum. Istilah mutawatir biasanya digunakan dalam konteks periwayatan. Tidak heran kalau istilah ini paling sering digunakan oleh ulama Hadis, khususnya ketika bicara mengenai Hadis Mutawatir.
Hadis Mutawatir adalah Hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang pada semua tingkatan sanad (rentetan periwayat Hadis sampai kepada Rasulullah SAW), yang secara logika dan kebiasaan dapat dipastikan bahwa para periwayat itu mustahil bersepakat untuk berdusta [Lihat Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, “Usul al-Hadis:’ulumuh wa musthalahuh”, h. 301]. Ulama usul al-fiqh menggunakan istilah mutawatir untuk “khabar yang disampaikan oleh banyak orang yang dengan sendirinya memberi suatu keyakinan/kepastian” [Muhammad Baqir al-Shadr, “Durus fi ‘Ilm al-Usul”, juz 1, h. 197].
Jikalau kita cermati definisi di atas, maka kata kuncinya adalah pada kata “banyak-orang”. Persoalannya berapa orang yang bisa dianggap memenuhi kata “banyak” tersebut? Sebagian ulama mengatakan bahwa jumlah minimalnya adalah empat orang dengan meng-qiyas-kan kepada jumlah saksi yang diperlukan dalam satu perkara (misalnya tuduhan zina). Ada pula yang mengatakan jumlah minimalnya adalah sepuluh karena bilangan itu merupakan jumlah minimal jam’ al-kasrah (kelompok yang banyak). Disamping itu ada pula ulama yang mengatakan bahwa jumlah minimalnya 20 orang, 40 orang, dan 70 orang; bahkan ada yang menetapkan lebih dari itu [Lihat Muhammad Taqi al-Hakim, “al-Usul al-‘Ammah li al-Fiqh al-Muqarin,” h. 195; Mahmud al-Tahhan, “Taysir Mustalah al-Hadis”, h. 19]. Perbedaan ini terjadi karena tidak ada nash yang mengatur soal ini secara tegas.
Konsekuensi logis dari perdebatan ini adalah adanya sebuah hadis yang dinilai mutawatir oleh sebagian ulama –sesuai kriteria yang mereka tetapkan– namun boleh jadi dipandang tidak mutawatir oleh ulama lain, yang memliki kriteria yang berbeda dalam menentukan mutawatir atau tidaknya suatu riwayat. Contohnya adalah hadis mengenai rukun Iman dan rukun Islam yang terdapat dalam Shahih Muslim (Hadis nomor 9), juga diriwayatkan dalam Sunan al-Nasa’i, kitab al-Iman wa Syara`i’ih, HN: 4,904; Sunan Ibn Majah, kitab al-Muqaddimah, HN: 62; Musnad al-Imam Ahmad, kitab Baqi Musnad al-Muksirin, HN: 8,765. Hadis ini diriwayatkan oleh delapan sahabat. Tentu saja bagi yang berpendapat bahwa empat orang saja sudah memenuhi kriteria mutawatir, hadis ini dipandang mutawatir. Tetapi tidak demikian halnya dengan yang berpendapat 10, 20 atau bahkan harus 70 orang.
Ada persoalan lain yang juga diperselisihkan para ulama (mukhtalaf fih) yang menambah keyakinan kita bahwa meskipun hadis mutawatir bernilai qat’i al-tsubut, namun ternyata tidak “mutawatir” dalam hal kriteria menentukan ke-mutawatir-an suatu riwayat. Persoalan dimaksud adalah apakah periwayat yang banyak itu tidak hanya berasal dari satu kaum atau satu negeri saja, tetapi dari berbagai kaum atau berbagai negeri ? Apakah periwayat yang banyak itu terdiri dari orang Islam yang adil dan dapat diterima kesaksiannya. Para ulama berdebat panjang dalam persoalan-persoalan ini.
Ijma’
Kita pindah ke masalah Ijma’. Dalam Islam tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi, vox dei). Yang ada adalah sebuah Hadis senada yang menyebutkan bahwa tidak mungkin ummatku bersepakat pada kesesatan atau kesalahan (Sunan Ibn Majah, Hadis Nomor 3940). Sepeninggal Nabi Muhammad SAW –yang dipercaya sebagai tokoh yang ma’shum, tanpa kesalahan, ummat Islam hanya bisa mencapai derajat ma’shum lewat kesepakatan total di antara mereka. Inilah yang kemudian melahirkan doktrin Ijma’ dalam struktur hukum Islam. Sayangnya, sejarah menunjukkan bahwa ummat Islam sendiri memiliki perbedaan pendapat soal kesepakatan ini sampai pada hal yang sangat tekhnis. Walhasil, tidak dicapai Ijma’ (kesepakatan) dalam merumuskan apa itu Ijma’ [‘Ali ‘Abd al-Raziq, al-Ijma’ fi al-Syari’ah al-Islamyah, h. 6].
Ijma’ –menurut satu definisi– adalah kesepakatan para mujtahid dari ummat Muhammad SAW pada suatu masa setelah wafatnya Rasulullah SAW, terhadap suatu hukum syara’. Definisi ini ditolak oleh ulama lain.
Mazhab
Zhahiri dan Ibn Hibban berpendapat bahwa ijma’ hanyalah berlaku untuk shahabat, tidak untuk yang lain. Imam Ahmad –dalam satu riwayat– mengatakan bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan khulafa al-rasyidin saja. Imam Malik malah merujuk pada ijma’ penduduk madinah. Ulama lain merujuk pada ijma’ ahlul haramain (penduduk Mekkah dan Madinah). Sedangkan ulama yang lain menganggap ijma’ adalah kesepakatan penduduk Basrah dan Kufah saja; ada yang bilang kufah saja, bahkan ada juga yang bilang bahwa kesepakatan penduduk Basrah saja sudah cukup dipandang sebagai ijma’ [Lihat Ibn Hazm, “al-Ihkam fi Usul al-Ahkam,” juz 4, h. 128; al-Amidi, “al-Ihkam fi Usul al-Ahkam,” juz 1, h. 286, 380-381, dan 404-405; al-Syawkani, “Irsyad al-Fuhul,” h. 70, dan 79-80.]
Para ulama ada yang menyusun kriteria terwujudnya ijma’, yaitu ijma’ tersebut diikuti oleh mereka yang memenuhi persyaratan berijtihad, kesepakatan itu muncul dari para mujtahid yang bersifat adil dan para mujtahid itu berusaha menghindarkan diri dari ucapan atau perbuatan bid’ah. Ada pula yang menambah syarat lain yaitu yang dimaksud dengan mujtahid adalah sahabat saja, ada lagi yang menganggap mujtahid yang dimaksud hanyalah kerabat Nabi saja; sementara itu ada yang berpendapat –seperti telah disinggung sebelumnya– mujtahid itu hanya ulama Madinah saja. Ada pula yang berpendapat bahwa hukum yang disepakati itu tidak ada yang membantahnya sampai wafatnya seluruh mujtahid yang telah menyepakatinya serta tidak terdapat hukum ijma’ sebelumnya yang berkaitan dengan masalah yang sama.
Ada juga ulama yang, misalnya, menolak Imam Dawud al-Zhahiri sebagai ulama yang harus diperhitungkan pendapatnya dalam soal ijma’. Bagi mereka, kalau ulama sudah sepakat bilang “A”, dan Imam Dawud berpendapat “B”, maka anggap saja sudah terjadi ijma’. Tentu saja para ulama lainnya menolak hal ini dan tetap mengakui Imam Dawud sebagai “peserta” syah dalam hal ijma’.
Contoh lain, Ibrahim bin Umar al-Biqa’iy menolak Fakhruddin al-Razy sebagai salah seorang yang dapat diterima otoritasnya dalam menetapkan sebuah “kesepakatan.” Boleh jadi, ulama lain memasukkan al-Razy sebagai “peserta” lakon bernama ijma’ ketika Biqa’iy “mengeluarkannya”. Persoalan-persoalan semacam ini telah menjadi perdebatan ulama sejak ratusan tahun yang silam dan sampai sekarang belum ada “ijma'” dalam masalah ijma’ ini.
Sebagai contoh berikutnya, al-Mughni (2/243) dan Nail al-Awthar (3/223) menyebutkan telah terjadi ijma’ dalam hal fardhu ‘ain-nya sholat jum’at. Padahal Ibn Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid (1/126) menyebutkan itu hanya pendapat jumhur ulama; bukan ijma’. Kitab fiqh yang terakhir ini menyebutkan adanya sekelompok ulama yang berpendapat bahwa sholat jum’at itu fardhu kifayah; bahkan satu riwayat dari Imam Malik mengatakan sholat jum’at itu sunnah. Bukanlah menjadi tujuan tulisan ini membahas soal kewajiban sholat jum’at. Namun dari contoh soal sholat jum’at ini kita bisa menangkap adanya ketidaksepakatan dalam menentukan apakah satu masalah sudah di-ijma’-kan atau belum. Dengan kita luaskan bacaan kita (tidak hanya merujuk pada satu atau dua kitab fiqh), boleh jadi masalah-masalah yang selama ini kita anggap merupakan ijma’ ternyata belum merupakan ijma’ atau sebuah kesepakatan yang mengikat.
Sejarah juga mencatat bahwa kegagalan mencapai kesepakatan tersebut kemudian melahirkan berbagai bentuk “kompromi”. Misalnya, andaikata semua ulama telah sepakat pada satu hal, maka ini dipandang cukup mewakili kesepakatan ummat Islam secara total. Hal ini kemudian bergeser lagi karena ternyata cukup sulit menyatukan pendapat para ulama itu. Kebenaran bukan lagi dilihat berdasarkan kesepakatan total ummat Islam atau kesepakatan ulama, melainkan suara mayoritas di antara para ulama. Jikalau kitab-kitab fiqh sudah menyebut bahwa pendapat A dipegang oleh jumhur (mayoritas) ulama, jarang para santri atau ulama berani membantah atau, setidak-tidaknya, bersikap kritis. Mayoritas telah memegang otoritas kebenaran. Kebenaran bukan lagi ditentukan oleh kekuatan dalil dan logika, namun mengikuti jumlah pemegang pendapat tersebut.
Berbeda dengan istilah Ijma’, lahir istilah baru untuk menggambarkan pergeseran ini, yaitu ittifaq. Sehinga kalau ditemukan kalimat bahwa para ulama sudah ittifaq untuk berpendapat A, boleh jadi yang dimaksud sebenarnya adalah hanya kesepakatan para ulama dari mazhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali), padahal jumlah mazhab dalam Islam konon pernah mencapai bilangan lima ratus.
Masalahnya ternyata tidak mudah menentukan apakah satu pendapat itu didukung oleh mayoritas atau minoritas. Boleh jadi pendapat A didukung oleh mayoritas pada suatu masa di suatu tempat tertentu. Namun di masa lain atau di tempat lain, boleh jadi yang mayoritas adalah B. Problem kedua, Bagaimana cara menghitung “kursi” mayoritas tersebut? Karena belum pernah dihitung lewat pemilu, maka kitab-kitab fiqh diduga kuat hanya melakukan perhitungan secara umum saja. Boleh jadi, problem ini menimbulkan saling klaim di antara mereka.
Qat’i al-Dalalah
Persoalan terakhir yang hendak dibahas adalah masalah Qat’i al-Dalalah. Al-Qur’an dari sisi al-tsubut-nya telah disepakati oleh seluruh ulama sebagai qat’i. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini; bahkan diyakini bahwa hal ini telah memasuki lapangan teologi, artinya pengingkaran qat’i al-tsubut-nya al-Qur’an akan membawa sejumlah konsekuensi teologis. Namun demikian, dari sisi al-dalalah, ayat al-Qur’an ada yang qat’i dan ada pula yang zanni. Begitu pula halnya dengan Hadis, ada yang mengandung muatan qat’i al-dalalah dan ada pula yang zanni al-dalalah. Pada bagian qat’i al-dalalah inilah uraian di bawah ini terfokus.
Menurut Abdul Wahhab Khallaf, nash al-Qur’an dan Hadis yang bersifat qat’i al-dalalah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk dita’wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut.[Abdul Wahhab Khallaf, “Ilm Usul al-Fiqh”, h. 35; bandingkan dengan Wahbah al-Zuhaili, “Usul al-Fiqh al-Islami,” juz 1, h. 441] Contohnya adalah ketentuan jilid seratus kali bagi pezina (QS 24:2). Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan ta’wil dan atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini bersifat qat’i al-dalalah.
Lalu bagaimana kita memberi batasan atau kriteria suatu nash itu qat’i al-dalalah atau sebaliknya, zanni al-dalalah? Ada ulama yang menyusun sepuluh kriteria, yaitu diriwayatkan secara mutawatir, tidak mengandung al-majaz (kiasan), al-isytirak (mengandung dua makna), al-naql, al-idhmar (samar/tersembunyi), al-taqdim, al-ta’khir, al-nasakh, al-takhshish dan ta’arud al-aqli [M. Abu Nur Zuhair, “Mudzakarah fi Usul al-Fiqh li Ghair al-Ahnaf”, juz 1, h. 28-29].
Sedikit berbeda dengan kriteria di atas adalah yang dikemukakan oleh al-Syatibi: naql lughat (transfusi bahasa), al-nahw (grammatika) wa ‘adam al-Isytirak, ‘adam al-majaz, naql al-syar’i aw al-‘adi, al-idhmar, al-takhshish li al-‘umum, al-taqyid li al-muthlaq, ‘adam al-nasikh, al-taqdim wa al-ta’khir dan terakhir, al-ma’aridh al-‘aqli. [al-Syatibi, “al-Muwafaqat fi Usul al-Ahkam”, jilid 1, h. 35-36].
Dari keterangan di atas, kriteria qat’i al-dalalah itu bisa disederhanakan dengan: pertama, adanya problematika bahasa (susunan kalimat yang diawalkan atau diakhirkan, perbedaan grammatika, kiasan, mengandung makna ganda, dan lainnya); kedua, adanya kondisi tambahan semisal takhshish, taqyid ataupun nasik-mansukh; dan ketiga, adanya indikasi bertentangan dengan nalar atau akal.
Dari pembahasan di atas, kalau kita mau jujur, tentu amatlah sulit untuk mencari teks atau lafaz al-Qur’an dan Hadis yang mencapai derajat qat’i al-dalalah. Sebagai contoh, seringkali ummat islam mengatakan kewajiban sholat lima waktu secara qat’i diraih melalui ayat “aqim al-shalat” yang mengandung lafaz amr (perintah). Padahal lafaz amr itu tidak semuanya bermakna qat’i; adakalanya amr itu mengandung makna mubah dan sunnah. Jadi, dari sisi dalalah dan kriteria di atas, lafaz “aqim al-shalat” tidaklah qat’i. [Perdebatan para ulama soal makna dasar amr itu (al-ashlu fi al-amri..) bisa dilihat, salah satunya, dalam Ibn al-Najjar, “Syarh al-Kawkab al-Munir”, khususnya jilid ketiga].
Al-Syatibi memberi solusi terhadap persoalan ini. Kesepuluh premis yang diajukannya juga menghasilkan kesulitan untuk mencapai derajat qat’i al-dalalah. Untuk itu beliau mengajukan konsep “mutawatir maknawi”, yakni sekumpulan ayat yang zanni tentang suatu tema (shalat, mislanya) saling membantu dan menguatkan akan kewajiban shalat. Ketika ayat-ayat tentang sholat dikumpulkan, ternyata tidak satupun yang mengindikasikan ketidakwajiban sholat. Dengan demikian kewajiban sholat bersifat qat’i. Jika hanya mengandalkan satu ayat maka hasilnya adalah zanni, tetapi karena dibantu oleh sekumpulan ayat senada maka ia menjadi semacam “mutawatir maknawi”.
Ketika Zuhair dan Syatibi mengemukakan sepuluh ihtimal dalam menilai qat’i-zanni-nya suatu nash, dapat segera kita lihat bahwa kesepuluh premis tersebut amat dipengaruhi pada keberpihakan mereka dalam persoalan usuliyyah. Keduanya sama-sama mencantumkan al-nasakh sebagai salah satu ukuran qat’i-zanni. Artinya, kalau terdapat nasakh dalam ayat tertentu maka gugur ke-qat’i-annya.Tentu saja kriteria ini sulit diterima oleh sejumlah ulama yang menolak adanya nasakh dalam al-Qur’an. Abu Muslim al-Asfahani, misalnya, memilih jalan takhshish dalam menghadapi nash yang secara lahiriah tampak bertentangan. Ini berbeda dengan jumhur ulama yang disamping menggunakan takhshish juga menggunakan nasakh. Tentu saja bagi mereka yang sepaham dengan Abu Muslim ini tidak akan memasukkan nasakh sebagai unsur untuk mengukur qat’i-zanni-nya suatu nash.
[note: Dipilihnya pendapat Zuhair dan Syatibi karena memang jarang para ulama membahas masalah kriteria qat’i. Sejumlah kitab usul al-fiqh di bawah ini tidak membahas ataupun kalau membahas dilakukan dengan cara yang minimum dan terkesan sambil lalu. Lihat Ibn al-Najjar “Syarh al-Kawkab al-Munir”; al-Badakhsi, “Manahij al-‘Uqul”; al-Asnawi, “Nihayat al-Sul”, al-Qarafi, “Syarh Tanqih al-Fusul,” al-Taimiyah, “al-Musawadah fi Usul al-Fiqh”; Abu Husayn al-Bashri, “al-Mu’tamad fi Usul al-Fiqh.” Untuk kalangan Syi’ah bisa dilihat pada al-‘Allamah al-Hilli, “Mabadi’ al-Wusul ila ‘Ilm al-Usul,” Taheran, Maktab al-A’lam al-Islami, 1404 H.]
Persoalan am-takhshish juga dimasukkan dalam sepuluh kriteria oleh Zuhair dan Syatibi di atas. Sekali lagi, tulisan ini ber-argue bahwa mereka terpengaruh pada mazhab yang mereka anut ketika memasukkan masalah ini dalam sepuluh kriteria mereka. Kebanyakan dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa dalalah al-‘am merupakan dalalah qat’iyah sehingga takhshish tidaklah terlalu penting. Sedangkan jumhur Syafi’iyah dan sebagian Hanafiyah berpendapat dalalah al-‘am bersifat zanni sehingga diperlukan takhshish. Untuk itu, dapat diduga kuat, bahwa bagi kebanyakan Hanafiyah persoalan takhshish tidak perlu dipakai sebagai ukuran menentukan qat’i-nya suatu nash.
Begitu pula persoalan taqyid li al-muthlaq yang disebutkan Syatibi (Zuhair tidak memasukkan hal ini) tidak lepas dari perbedaan pendapat. Disepakati bahwa ayat yang muthlaq wajib diamalkan kemuthlaqannya pada kondisi tidak ada ayat yang men-taqyid-nya. Perbedaan pendapat terjadi pada kondisi terdapatnya lafaz muthlaq dalam nash dan juga terdapat lafaz muqayyad pada nash yang lain. Tidak heran kalau, akibat perbedaan ini, jumhur tidak mwajibkan zakat fitrah pada budak non-muslim sedangkan Hanafiyah mewajibkannya. Hanafiyah juga tidak mensyaratkan dalam kafarat zhihar itu iman tetapi mensyaratkannya pada kafarat al-qatl al-khata’.[Untuk jelasnya silahkan lihat Mustafa Sa’id al-Hin, “Atsar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi Ikhtilaf al-Fuqaha”, h. 251-253].
Zuhair dan Syatibi juga memasukkan kriteria ta’arudh al-aqli dalam menentukan qat’i-zanni. Kita mesti menganggap suatu nash itu zanni karena teks nash tersebut bertentangan dengan aqal. Ini persoalan yang amat musykil. Apa sih rasionalisasinya sholat subuh hanya dua rakaat dan zhuhur empat sedangkan maghrib tiga rakaat? Lantas apakah karena tidak rasional (bertentangan dengan akal) maka bilangan rakaat itu dianggap zanni dan bisa berubah? Keyakinan teologis kita mengatakan, tidak! Bilangan rakaat sholat memang tidak rasional tetapi tidak bertentangan dengan akal sehat karena hal itu tidak merugikan diri dan masyarakat.
Untuk tidak menyulitkan kita, maka sebaiknya kriteria tentang ta’arudh al-aqli diganti saja dengan kriteria ma’lum minad din bi al-dharurah (ajaran Islam yang dianggap telah mencapai aksioma). Begitu pula soal nasakh, takhshish dan taqyid sebaiknya tidak usah dijadikan kriteria untuk menentukan qat’i-zanni-nya suatu nash. Solusi Syatibi mengenai “mutawatir maknawi” di atas juga tidak luput dari kritik. Kebetulan ayat mengenai sholat jumlahnya banyak sehingga bisa dikumpulkan dan menjadi “mutawatir maknawi” yang mencapai derajat qat’i. Tetapi bagaimana dengan ayat tentang hukuman bagi pencuri? Bukankah ayatnya cuma satu dan ummat Islam menganggap sudah qat’i (meskipun dengan satu ayat saja?). Beranikah Syatibi mengatakan bahwa ayat pencurian itu tidak qat’i karena tidak mencapai derajat “mutwatir maknawi” ?
Ternyata masalah menentukan kriteria qat’i-nya suatu nash tidaklah bersifat “qat’i.” Ini hanyalah bagian dari ijtihad ulama yang tetap bisa dilakukan kritik dan penyempurnaan.
Penutup
Catatan sederhana ini sudah mencoba mendemonstrasikan bahwa persoalan mutawatir, ijma’ dan qat’i al-dalalah, yang sering dijadikan penghambat untuk lahirnya ijtihad-ijtihad baru, ternyata masih terbuka untuk dipersoalkan. Tiga kata kunci ini telah menjadi senjata yang mematikan bagi upaya reinterpretasi, reformasi dan re-ijtihad yang dilakukan ulama kontemporer. Apa boleh buat, dekonstruksi terhadap ketiga konsep tersebut harus dilakukan.
Wa fawqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim
Wa Allahu A’lam bi al-Shawab
salam hangat,
=nadir=