You are here:

Proses Terpilihnya Abu Bakar

[aswaja_big_letter]Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin keagamaan dan pemimpin politik sekaligus. Ia adalah nabi yang terakhir. Tidak mungkin ada nabi sepeninggal beliau. Artinya, posisi sebagai pemimpin keagamaan (setingkat nabi) tidak mungkin ada yang meneruskan tetapi sebagai pemimpin politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan diteruskan oleh sahabat beliau.(1)[/aswaja_big_letter]

Pertanyaannya: siapa yang menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya dan bagaimana caranya?

Wafatnya Rasul membuat Madinah bising dengan tangisan. Umat pun bertanya-tanya siapa yang akan memimpin mereka. Sebagian sahabat terkemuka rupanya sudah memikirkan hal itu dan berkumpul di “balairung” safiqah di perkampungan Bani Sa’idah (2). Yang mula-mula berkumpul disana adalah golongan Anshar, yang terbagi pada suku Kharaj dan ‘Aus.

Umar rupanya mendengar pertemuan tersebut. Ia mencari Abu Bakar dan menerangkan gawatnya persoalan (3). Umar berkata,”Saya telah mengetahui kaum Anshar sedang berkumpul di Safiqah, mereka merencanakan untuk mengangkat Sa’ad bin Ubadah untuk menjadi pemimpin (ia dari suku Khazraj). Bahkan diantara mereka ada yang mengatakan dari kita seorang pemimpin dan dari Quraisy seorang pemimpin ( minna amir wa minkum amir). Ini dapat membawa pada dualisme kepemimpinan yang tak pelak lagi akan menggoyang “bayi” umat Islam.

Setelah mengerti betapa gawatnya pesoalan, Abu Bakar mengikuti Umar ke Safaqah. Di tengah perjalanan keduanya bertemu Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan ia diajak ikut serta. Ketika mereka tiba telah hadir terle bih dulu beberapa kaum muhajirin yang tengah terlibat perdebatan sengit dengan kaum Anshar. Umar yang menyaksikan di depan matanay bahwa Muhajirin dan Anshar akan mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah…hampir-hampir tak kuasa menahan amarah dirinya. Sat ia hendak berbicara, Abu Bakar menahannya.

Setelah mendengar perdebatan yang terjadi, Abu Bakar mulai berbicara dengan tenang dan ia mengingatkan bahwa bukankah Nabi pernah bersabda: al-aimmah min Quraisy (kepemimpinan itu berada di tangan suku Quraisy ) (4). “Kami pemimpin (umara) dan kalian “menteri/pembantu (Wizara). Telah bersabda Rasul bahwa dahulukan Quraisy dan jangan kalian mendahuluinya.”

Abu Bakar tak lupa mengingatkan pada kaum Anshar akan sejarah pertentangan kaum Khazraj dan aus yang bila meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat pemimpin) akan membawa mereka semua ke alam jahiliyah lagi. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraisy, Umar dan Abu Ubaidah. Keraifan Abu Bakar dalam berbicara ditengan suasana penuh emosional rupanya mengesankan mereka yang hadir. Umar menyadari hal ini dan ia mengatakan pada mereka yang hadir bahwa bukankah Abu Bakar yang diminta oleh nabi untuk menggantikan beliau sebagai imaam shalat bilamana nabi sakit ?

Umar dan Abu Ubaidah segera membai’at Abu Bakar tapi mereka didahului oleh Basyir bin Sa’ad, seorang tokoh Khazraj, yang membaiat Abu Bakar. Kemudian yang hadir di safiqah, semuanya memberi baiat Abu Bakar.(5)

Keesokan harinya Abu Bakar naik ke mimbar dan semua penduduk Madinah membai’atnya. Abu Bakar resmi menjadi khalifah ar-Rasul (6). Kemudian ia berpidato, sebuah pidato yang menurut ahli sejarah dianggap sebagai suatu statement politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat “modern” (patisipatif-egaliter).(7)

Semuanya? ternyata tidak (8), dari yang hadir di safiqah, Sa’ad bin Ubaidah tidak membai’at Abu Bakar dan tidak pula ikut shalat jama’ah bersamanya. Diantara penduduk madinah yang tidak hasir di safiqah dan tidak membai’at Abu Bakar adalah Fatimah Az-Zahra. Ali bin Abi Tahlib dan bani Hasyim serta pengikutnya tidak berbai’at selama enam bulan kemudian setelah wafatnya Fatimah Az Zahra.

Ketika diberitahukan kepada Imam Ali r.a. tentang peristiwa yang telah terjadi di safiqah bani Sa’idah segera setelah rasul wafat, ia bertanya:

“Apa yang dikatakan kaum Anshar?”

“Kami angkat seorang dari kami sebagai pemimpin, dan kalian (kaum muhajirin) mengangkat seorang dari kalian sebagai pemimpin !”

“Mengapa kamu tidak berhujjah atas mereka bahwa Rasulullah SAW telah berpesan agar berbuat baik kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan memaafkan siapa diantara mereka yang berbuat slaah ” tanya Imam Ali lagi.

“Hujjah apa yang terkandung dalam ucapan seperti itu ?”

“Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan umat ini, niscaya Rasulullah SAW tidak perlu berpesan seperti itu tentang mereka.”

Kemudian Imam Ali bertanya:

“Lalu apa yang dikatakan orang Quraisy?”

“Mereka berhujjah bahwa Quraisy adalah ‘pohon’ Rasulullah SAW.”

“Kalau begitu mereka telah berhujjah dengan ‘pohonnya’ dan menelantarkan buahnya!” (9)

Catatan kaki:

1: Pemisahan atau tepatnya perbedaan posisi pemimpin keagamaan dengan pemimpin politik, dalam konteks Islam, tidak berarti pemimpin politik tidak concern terhadap persoalan keagamaan (sekaligus harus menjiwai dan menjalankan ajaran agama) dan pemimpin keagamaan tidak peduli dengan masalah politk. Pembedaan ini hanya untuk menunjukkan lapangan kerja yang berbeda. Ini berbeda dengan kalangan lain yang mengatakan,”berikan kaisar haknya dan berikan hak Tuhan pada Tuhan”. Alinea diatas harus difahami bahwa Muhammad adalah Nabi dan Kepala negara sekaligus. Suksesi sepeninggalnya hanya pada lapangan kepala negara, tapi tidak berarti pemimpin setelahnya sama sekali tidak memiliki otoritas keagamaan.Walau tidak sebesar otoritas yang dipunya Nabi. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa tidak ada keharusan atau kewajiban mempunyai khalifah bagi umat Islam dan Nabi semata-mata seorang Rasul yang tidak memiliki kekuaaan duniawi, nagara ataupunpemerintahan. Ulama yang berpendapat demikian adalah Ali Abdur Raziq dalam al Islam wa Usul al Hukm, Kairo, 1925. Bantahan terhadap pendapat terakhir ini cukup banyak, salah satunya, Dr Dhiya’ ad-Din ar Rais, al Islam wa al khalifah fi al-‘Ashr al-hadist (naqd kitab “al Islam wa ushul al hukm”) Kairo, Dar at Taurats 1972, bandingkan dengan DR. Ahmad Syalabi, As-Siyasah fi al Fikr al Islami, Kairo, Hahdhah al Misriyah, 1983, h. 35-38.

2: Peristiwa Safiqah yang saya ceritakan kembali ini didasarkan pada Al Thabari, tarikh al-umam wa al-muluk, jilid IV, h. 38-41, Munawir Syadzali, op.cit, h. 21-23, Jalaludin Rahmat,[2], op.cit., h. 84-89

3: Suku Aus dan Khazraj adalah dua suku di madinah yang selalu bermusuhan sebelum datangnya Nabi Muhammad. Akar permusuhan yang telah mendarah daging itu seringkali menimbulkan letupan kecil pada masa nabi, sungguhpun demikian figur seorang Muhammad berhasil”meredamkan” mereka. Hanya saja, siapa yang dapat menjamin mereka tidak akan membuka luka lama lagi sepeninggal Muhammad SAW.

4: Lihat Al-Mawardi, al-ahkam as-sultaniyah, Mesir, Musthofa al-Babi al-Halabi wa awladuh, 1966, h. 6; Ibn Khaldun, Muqaddimah, Beirut, dar al-fikr,t.t, h, 194. Berbeda dengan Mawardi dan pemikir muslim masa klasik dan pertengahan, Ibn Khaldun tidak memahami teks Al aimmah min Quraisy secara lahiriah belaka. Sesuai dengan teori Ashabiyah nya. Ia memahami bahwa yang ditekankan adalah sifat dan kemampuan suku Quraisy yang pada masa itu di atas suku lain. suku Quraisy merupakan suku Arab paling terkemuka dengan solideritas yang kaut dan dominan serta berwibawa. Jadi teks itu haruslah dibaca: Kepemimpinan itu berada pada mereka yang memiliki ciri-ciri suku Quraisy–dan tidak musti harus selalu orang Quraisy. Persoalannya, apakah penjelasan Ibn Khaldun ini sama dengan yang dipikirkan mereka yang hadir di Safiqah, lebih khusus lagi dengan Abu Bakar yang menyitir teks itu?

5: Bai’at sesungguhnya dipergunakan sejak masa nabi. Nabi sringkali melakukannya seperti tercatat dalam sejarah Islam, yakni berlangsungnya bai’at ar ridwan dan bai’at al-‘aqabah. Imam Nasa’i dalam sunannya mengelompokkan bai’at kedalam sepuluh macam (lihat An-Nasa’i, Sunan an-nasa’i bi Syarh as-suyuti, Beirut, Dar al-jil,1989,juz VI. h. 683-684). Intinya, bai’at itu berisi janji untuk setia dan patuh kepada nabi serta akan mengamalkan dan membela ajaran Islam. Rupanya, penggunaan istilah bai’at ini diteruskan pada masa sepeninggal Nabi tetapi telah terjadi pergeseran makna. Pada masa kekhalifahan, bai’at menjadi ikrar politik, yang tanpanya tak akan sempurna (atau tak diakui) seorang khalifah. Lebih lanjut tentang bai’at lihat Al Mahamy Ahmad Husin Ya’kub, An-nizam As-Siyasi fi Al-Islam, Qoum, Anshariyan, 1312 H, h. 69-75; Fathi Osman, “Bay’ah al Imam: Kesepakatan pengangkatan Kepala negara Islam”, dalam Mumtaz Ahmad (ed), masalah-masalah teori politik Islam, Bandung, Mizan, 1993, h. 75-116.

6: Analisa terhadap istilah khalifah berikut pergeseran maknanya secara menarik diberikan oleh W. Montgomery Watt, Islamic political Thought, terj. Helmy Ali dan Muntaha Azhari, Jakarta, P3M,1988, h. 50-54; bandingkan dengan Bernard Lewis, The Political Languange in Islam, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta, Gramedia, h. 61-71.

7: Lihat DR. Nurcholis Madjid, ” Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas fiqh Siyasy Sunni ” dalam Budhy Munawar Rachman, op. cit, h. 592.

8:Umar berpidato,”… berdirilah kalian dan berbai’atlah kalian(pada Abu bakar) sungguh saya telah berbai’at kepadanya dan Anshar pun demikian” kemudian Ustman berdiri dan bersamanya berdiri Bani Umayah, maka berbai’atlah mereka, Sa’ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin ‘Auf berserta sukunya berdiri dan berbai’at pula. Adapun Bani Hasyim berbai’atnya mereka dengan tekanan(paksaan) seperti diceritakan oleh Al Mahamy Ahmad Husin Ya’kub, op. cit, h. 155-156.

9: Seperti diriwayatkan dalam Najhul Balaghah Syarh Muhammad Abduh, terj. Muhammad Al Baqir, Bandung, Mizan,1990, h. 63-64. Maksud imam Ali, jika Quraisy pohon Rasulullah maka Ali adalah buahnya. Ini bisa dimengerti mengingat dalam suku Quraisy, Bani Hsyim dan Bani Umayyah adalaah dua klan terhormat. Dan Ali merupakan pemuda Bani Hasyim yang terhormat, mengingat Hamzah telah wafat dan Abbas baru masuk Islam, disamping itu Abu Sufyan dari bani Umayyah juga beru masuk Islam. Jadi dari silsilah itu seharusnya, jika al-aimmah min Quraisy difahami secara lahiriah maka hanya Imam Ali lah yang berhak menduduki jabatan khalifah. Tapi ada juga yang menolak argumen ini. M. A. Shaban melihat Ali yang masih sekitar tiga puluh tahunan tidak mungkin diterima umat, jadi jika logika diatas diteruskan maka sebenarnya Abu Sufyan yang harus jadi khalifah. Untuk menghindari ini maka diambilah Abu Bakar sebagai jalan tengah–orang Quraisy tapi bukan Bani Hsyim atau Bani Umayyah (lihat M.A. Shaban, Sejarah islam Penafsiran Baru, Jakarta, rajawali Press, 1993, h. 24-25). Persoalannya, apakahj “rasionalisasi ” yang dikemukakan Shaban memang hinggap di kepala mereka yang hadir di Safiqah ? saya cenderung meragukannya, karena dalam situasi mendadak, emosional dan genting sukar sekali membayangkan peserta Safiqah berfikir seperti Shaban.!