You are here:

Semua Tergantung Ijin Allah

[aswaja_big_letter]”Kalau memang waliyullah itu benar-benar sakti,” tanya Ujang kepada Haji Yunus, “mengapa mereka diam saja melihat kezaliman yang terjadi di dunia saat ini?”[/aswaja_big_letter]

Haji Yunus, yang sehari-hari berprofesi sebagai penjual martabak, tersenyum mendengar ‘gugatan’ muridnya ini.

“Ayolah Wak Haji,” Ujang terus mengeluarkan isi hatinya, “kenapa para Wali diam saja, bahkan banyak yang menyembunyikan jati dirinya sehingga orang-orang sekitarnya terus meremehkan mereka sementara ketidakadilan terus berlangsung di depan mata para waliyullah. Wak Haji malah terus jualan martabak!”

“Ujang, dengarkan kisah ini ya…” Seperti biasa Haji Yunus lebih sering menjawab lewat berbagai kisah dan tamsil.

Ujang mengatur posisi duduknya di dalam rumah kontrakan Haji Yunus dan bersiap mendengar kisah yang akan diceritakan gurunya.

“Pernah pada suatu masa, satu-satunya mesin untuk pengolah gandum yang dimiliki penduduk desa, rusak. Sementara itu hasil gandum bertumpuk-tumpuk di dalam gudang menunggu untuk dibuat menjadi tepung. Kalau tidak seegra diolah maka gandum akan rusak dan sia-sialah kerja penduduk desa selama ini.”

“Situasi mencekam, karena sudah hari ketiga, dan mesin belum juga berfungsi. Penduduk desa mendatangi seorang sufi yang tinggal di sudut desa itu sendirian. Mereka memelas agar sang sufi turun tangan mengatasi persoalan ini. Semula sang sufi enggan meluluskan permintaan ini, namun tangisan seluruh penduduk desa yang duduk bersimpuh di depan gubuk sang sufi meluluhkan hatinya.”

Sang Sufi kemudian berkata: “Pulanglah kalian semua, besok semuanya sudah beres.”

“Penduduk desa pulang dan tidur nyenyak menanti apa yang terjadi esok pagi. Malam itu, sang sufi mengeluarkan kesaktiannya. Puluhan gudang berisi gandum dia olah sendiri dengan tangannya. Tubuhnya melesat melebihi kecepatan mesin. Semuanya beres dalam semalam seperti yang dia sampaikan.”

“Selamatlah penduduk satu kampung, dan mereka bisa menjual tepung sebagai bekal untuk satu tahun ke depan.”

Ujang terlihat berseri mukanya. Sufi seperti inilah yang ia harapkan.

Haji Yunus tersenyum melanjutkan kisahnya: “Beberapa tahun kemudian, menjelang wafatnya, sang sufi kerap kali tubuhnya menggelinding jatuh dari tikar yang menjadi alas tidurnya. Beliau kemudian menangis dan meratap: “ampuni aku Ya Allah”

Kejadian itu berlangsung terus sampai 3 hari. Seorang muridnya bertanya: “apa yang terjadi pak yai?”

Sufi itu menjawab dengan linangan air mata: “Ingatkah engkau peristiwa pengolahan gandum beberapa tahun silam ketika aku menolong penduduk desa ini? Aku memang turun tangan tidak tega melihat kesengsaraan penduduk desa, ku gunakan ilmu yang Allah berikan padaku untuk menolong mereka, namun aku melupakan satu hal. Aku khilaf tidak bertanya memohon ijin Allah terlebih dahulu sebelum menolong penduduk desa. Dan kini di akhir hayatku, Allah murka dan terus bertanya padaku: ‘siapa yang memberi ijin kamu ikut campur terhadap nasib penduduk desa itu? Apakah kamu merasa lebih menyayangi penduduk desa itu ketimbang Aku sehingga berani-beraninya tanpa ijin dari Ku mengintervensi semua proses yang tengah berjalan? Tahu apa kamu terhadap skenarioKu akan penduduk desa itu?'”

“Itulah sebabnya aku terus memohon belas kasihan Allah mengampuni tindakanku yang telah menolong penduduk desa tanpa meminta ijin terlebih dahulu kepada Allah.”

Ujang mendadak tercekat. Tidak menyangka ujung kisahnya akan seperti ini.

Haji Yunus kemudian berkata santai sambil membereskan sarungnya: “Para kekasih Allah itu tidak akan bergerak tanpa perintah dan ijinNya. Skenario Allah melampaui semua pengetahuan mereka. Kita tidak pernah tahu apa kasih sayang Allah dan pelajaran apa yang hendak diberikan kepada penduduk desa itu sebelum sang sufi ikut campur. Allah membiarkan kekasihNya mengeluarkan ilmuNya menolong penduduk desa, namun Allah mencatat itu sebagai sebuah ‘ketidaksopanan’ karena dilakukan tanpa ijinNya.”

Ujang menundukkan kepala. Air mata menetes ke pipinya. Ujang menyesal telah bertindak tidak sopan menggugat peranan para kekasih Allah karena sesungguhnya diam atau bergeraknya para kekasih Allah semata-mata sesuai perintah dan ijinNya semata.

Haji Yunus menutup obrolan dengan berpesan: “Ilmu dari Allah tidak perlu dipamer-pamerkan atau dibangga-banggakan, lha wong menggunakannya dengan niat mulia tapi tanpa ijin Allah saja bisa dipermasalahkan kok. Kamu sangka saya mau terus menerus menjadi tukang martabak di depan Polsek Ciputat? Kamu kira saya tidak sedih melihat berbagai kezaliman di dunia ini? Tapi belum ada perintah dan ijin Allah untuk saya bergerak. Saya berbaik sangka pada semua skenario ilahi. Makanya saya hanya diam, sesuai ijin Allah”.

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen
*inginku tengah melebur dalam ijinMu*