SESAAT setelah memberikan tausiah tujuh menit di acara pertobatan global online (9/4/2020) yang diselenggarakan PB NU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama), saya ditelepon KH Agoes Ali Masyhuri, pengasuh Pesantren Bumi Sholawat, Tulangan, Sidoarjo. Beliau pembicara pertama dan saya bicara selepas beliau. Saya menyingkir sejenak dari layar komputer demi menerima telepon mendadak dari kiai khos NU yang terkenal unik tersebut.
Setelah menanyakan kabar saya dan menyatakan rasa kangennya, tiba-tiba beliau berkata, ’’Korona berakhir sebelum Ramadan.” Saya hanya menjawab, ’’Amin Ya Allah. Semoga demikian, Pak Kiai.”
Kini kita telah memasuki Ramadan dan kita tahu korona belum juga berakhir. Bahkan, diprediksi oleh sejumlah pakar, puncaknya saja belum lewat. Pemerintah pun terus berusaha menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan baru saja melarang mudik. Jadi, bagaimana kita memahami pernyataan kiai khos NU ini?
Secara rasional, boleh jadi beliau hendak menenangkan kita semua agar tidak usah khawatir berlebihan terhadap wabah korona ini. Namun, tetap saja pernyataan kiai yang terkenal dengan jargonnya ’’Kokoh Spiritual, Mapan Intelektual” tersebut terasa janggal. Sebagai santri, saya dipaksa merenungi pernyataan beliau dengan lebih jauh melampaui data dan fakta.
Dalam pandangan Islam, tidak ada sehelai daun gugur pun yang tidak berada dalam pengetahuan Allah. Semua yang ada di bumi dan segala isinya merupakan makhluk yang tidak saja diciptakan oleh Sang Khalik, tapi juga semuanya bertasbih memuji-Nya. Tidak ada penyakit kecuali Allah sediakan penawarnya. Pada saat yang sama, tidak ada yang sia-sia dari penciptaan Allah, termasuk makhluk kecil bernama Covid-19 ini.
Akibat menyebarnya virus korona ini ke penjuru dunia, hidup kita menjadi berantakan. Dunia diprediksi mengalami resesi ekonomi. Tidak ada satu hari berlalu tanpa membicarakan korona. Semua aspek kehidupan kita terkena dampaknya. Kita seolah terpenjara di dalam rumah dan batas negara kita sendiri. Kita memasuki era peradaban tanpa tatap muka. Seolah semua kepandaian dan kemakmuran peradaban dunia menjadi kacau balau akibat korona.
Mungkin sudah waktunya kita justru bertanya kepada para kiai sepuh seperti KH Agoes Ali Masyhuri, selain tentu saja melanjutkan ikhtiar mengikuti anjuran dokter dan pemerintah. Akhirnya saya mulai menyadari bahwa ’’Korona berakhir sebelum Ramadan” bukan merupakan pernyataan, apalagi ramalan, dari kiai sepuh. Melainkan sebuah teguran halus nan lembut, ’’Akhiri fokus dirimu pada korona, bulan suci telah datang, terimalah korona sebagai bagian hidupmu, mari beralih dan fokus pada-Nya.”
Dalam kitab tafsirnya, saat menafsirkan surah Al-Fatihah, Imam Ar-Razi menuliskan sejumlah kisah yang menceritakan aspek spiritual dari kalimat bismillah. Salah satu kisahnya ini:
Nabi Musa merasakan sakit di perutnya. Beliau mengadu kepada Allah yang kemudian menyuruhnya mengambil sejenis daun di padang pasir. Nabi Musa mengunyahnya dan sembuh dengan izin Allah. Kemudian Nabi Musa mengalami masalah lagi dengan perutnya, maka Nabi Musa langsung mengunyah kembali dedauan itu, namun sakitnya malah bertambah nyeri.
Beliau mengadu: ’’Ya Rabb, waktu kali pertama aku makan, aku langsung sembuh. Tapi, kali kedua tidak hanya nggak sembuh, tapi malah bertambah parah.”
Allah menjawab: ’’Kali pertama kamu datang mengadu kepada-Ku memohon kesembuhan. Tapi, pada kali kedua kamu langsung saja mengunyahnya tanpa meminta petunjuk dan izin dari-Ku. Tidakkah kamu tahu bahwa dunia ini semuanya adalah racun dan penawarnya hanyalah dengan menyebut nama-Ku?”
Teguran halus kiai sepuh persis seperti teguran kasih sayang Allah SWT kepada Nabi Musa. Segala macam ikhtiar tanpa izin-Nya adalah sebuah kenisbian, bukan kepastian. Jikalau kita tidak bisa menyelesaikan masalah, ubahlah persepsi kita terhadap masalah itu. Kita harus belajar hidup berdampingan dengan seluruh makhluk Allah, termasuk virus korona. Mungkin kita bukan lagi meminta Allah mengangkat virus ini, melainkan meminta Allah agar kita bisa hidup damai berdampingan dengan korona, sebagaimana kita hidup bersama sekian banyak penyakit di sekitar kita. Inilah yang sekarang disebut beranjak dari fase denial alias penyangkalan menuju fase acceptance atau penerimaan. Kita menerima kondisi baru ini sebagai sesuatu yang normal (living the new normal).
Untuk apa kita menginginkan korona berakhir jika pada saat yang sama cara hidup kita tidak berubah; kita lebih dekat dan akrab dengan sesama, sementara kita menjauh dari-Nya. Sekarang dunia kita dibikin terbalik: kita menjauh dari sesama dan dipaksa untuk semakin mendekat memohon belas kasihan-Nya. Korona boleh jadi bukan azab Allah atau tentara Allah, seperti klaim sementara pihak. Korona adalah makhluk Allah, maka kita pun harus mempersiapkan diri dan kehidupan kita untuk hidup yang baru bersama korona.
Yang harus kita akhiri adalah persepsi materialistik kita akan korona. Menghitung kerugian dan dampak korona hanya dalam balutan angka dan data. Kita akhirnya lupa menerima fakta bahwa korona telah beberapa bulan bersama kita. Menerima korona dalam hidup kita tidak berarti kita melanggar semua pantangan dokter dan aturan pemerintah dan melepaskan kembali ego diri kita dalam beribadah dan berinteraksi. Hidup baru bersama korona justru membuat hidup kita semakin bersih, lingkungan semakin dijaga, dan kita harus semakin kreatif menciptakan peluang kerja dan pola komunikasi.
Penerimaan adalah cara kita bersikap optimistis melanjutkan kehidupan. Alhasil, pemerintah melahirkan kebijakan, dokter mengajari kita keselamatan, dan para kiai sepuh telah mengajari kita cara pandang baru menerima dan hidup bersama korona. Ramadan sudah tiba, masihkah belum berakhir cara pandang lama kita tentang korona? (*)
*) Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama di Australia-Selandia Baru
Dari kolom opini Jawapos 3/05/2020