Setiap manusia normal tentu memiliki sisi baik dan sisi buruk. Terdengar klise memang, tetapi sering kali kita melupakan hal ini sehingga kita menjadi fanatik cinta dan fanatik benci. Tengoklah para pelaku sejarah, kehebatan ataupun kejelekannya tergantung siapa yang menuliskannya. Yang mengagumi tentu memujanya, dan yang membencinya tentu rajin mencari-cari kesalahannya.
Ambil contoh Amru bin ‘Ash. Saya pernah datang ke Masjid Amru bin ‘Ash di Mesir. Beliau seorang sahabat Nabi yang memeluk Islam pada tahun kedelapan Hijriah. Berkecamuk perasaan: saya membaca buku sejarah bagaimana siasat yang digunakan Amru bin ‘Ash dalam peristiwa tahkim yang menyudahi perang siffin antara Khalifah Ali dan Gubernur Mu’awiyah. Singkat cerita, beliau seorang politisi yang menyalahi kesepakatan.
Namun buku sejarah juga bercerita bagaimana sumbangsihnya yang luar biasa terhadap Islam. Rasulullah mengirimnya ke Oman dan berhasil mengislamkan pemimpin di sana. Khalifah Abu Bakar mengirimnya ke Palestina dan setelah merebut kota suci itu dari Byzantium lalu menjadi Emir di sana. Khalifah Umar mengirimnya membebaskan Mesir dan menjadikannya Gubernur. Masjid Amru bin ‘Ash yang saya ziarahi tahun 2012 itu merupakan lokasi tempat beliau berkemah di kota Fustat, Mesir, dan itu adalah Masjid pertama yang berdiri di Afrika.
Bagaimana kemudian saya harus menilai Amru bin ‘Ash: seorang politisi busuk atau seorang pahlawan Islam? Saya menyudahi kebimbangan saya dengan menunaikan shalat di Masjid Amru bin ‘Ash yang sangat bersejarah itu seraya mendoakan kebaikannya.
Bagaimana pula dengan al-Hajjaj bin Yusuf, Gubernur Iraq pada masa Dinasti Umayyah berkuasa? Inilah Panglima Perang yang memborbardir Mekkah dengan panah api ketika terjadi bentrokan dengan Abdullah bin Zubair. Tindakan al-Hajjaj bukan saja membunuh banyak penduduk Mekkah, namun juga turut membakar Ka’bah.
Saat al-Hajjaj menjadi Gubernur diangkat oleh Khalifah Marwan, sejarah mencatat berbagai kekejian dan kekejaman yang dilakukannya. Selain membunuh sahabat Nabi Abdullah bin Zubair, al-Hajjaj juga membunuh 2 sahabat lainnya: Jabir bin Abdullah, Kumail bin Ziad dan satu ulama besar yaitu Sa’id bin Jubair. Pada gilirannya, wafatnya al-Hajjaj disambut suka cita oleh para ulama dan rakyat. Mereka lega bisa terbebas dari kekejaman al-Hajjaj.
Namun demikian dikabarkan bahwa al-Hajjaj itu sangat bagus hafalannya terhadap al-Qur’an. Bukan cuma itu sejarah juga mencatat jasanya yang menambahkan baris tanda baca dalam mushaf al-Qur’an sehingga memudahkan kita semua sampai sekarang. Itu artinya, setiap Muslim yang membaca mushaf al-Qur’an pahalanya akan mengalir sampai ke al-Hajjaj. Subhanallah.
Al-Hajjaj juga berjasa mengirim jenderal dan pasukannya memperluas wilayah kerajaan Islam. Beliau juga memperhatikan soal ekonomi dengan mencetak mata uang sendiri, dan tidak lagi menggunakan mata uang peninggalan Byzantium dan Sasanid. Dia juga menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa resmi di Iraq, menggantikan bahasa Parsi. Ekspedisi militer, konsolidasi ekonomi umat dan penguatan bahasa merupakan sumbangsih al-Hajjaj.
Sekali lagi, sejarah selalu menceritakan sisi baik dan sisi buruk. Pelajari hal-hal baik dari para tokoh besar di masa lampau, dan jangan ulangi kekeliruan yang telah mereka lakukan.
Dan bagaimana nasib para tokoh seperti Amru bin ‘Ash dan al-Hajjaj kelak di akherat? Tentu itu hak prerogatif Allah untuk menentukannya. Bukan wilayah kita untuk memberikan keputusan. Lebih baik kita fokus pada keburukan kita sendiri ketimbang sibuk membicarakan keburukan orang lain. Ngaca yukkk….
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School
Foto: Masjid Amru bin ‘Ash di Mesir