You are here:

Nepotisme dalam Pengangkatan Pejabat di masa Khilafah Umayyah dan Abbasiyah

Ketika khalifah pertama Umayyah, Mu’awiyah, berkuasa, beliau mengangkat pejabat sesiapa yang dikehendakinya, tanpa melalui proses seleksi yang ketat sesuai kapasitas pejabat tersebut. Kitab Tarikh at-Thabari melaporkan ketika Sayyidina Hasan meninggalkan Kufah dan kembali ke Madinah sebagai rakyat biasa, Mu’awiyah mengangkat Abdullah putra Amru bin ‘Ash sebagai Gubernur Kufah.

Al-Mughirah bin Syu’bah datang dan berkata kepada Mu’awiyah: “Anda berada di dua geraham singa yang siap menerkam kekuasaan anda. Abdullah sebagai Gubernur di Kufah, sedangkan sebelumnya Ayahnya, Amru bin ‘Ash sudah menjabat sebagai Gubernur Mesir.”

Mu’awiyah terpengaruh ucapan al-Mughirah. Maka Abdullah langsung dicopot dari Gubernur Damaskus, dan digantikan oleh al-Mughirah. Ketika Amru bin ‘Ash mengetahui anaknya telah dicopot, maka dia mendatangi Mu’awiyah dan berkata: “Anda berikan kekuasaan kepada al-Mughirah? Maka dia akan mengeruk harta kekayaan Kufah dan lantas menghilang. Taruh orang lain yang takut pada anda.” Mu’awiyah lantas mencopot al-Mughirah dan menempatkannya dalam urusan ibadah.

Mu’awiyah mengangkat sepupunya, Marwan bin al-Hakam, sebagai Gubernur Madinah. Ketika Gubernur Mesir, Amru bin ‘Ash wafat tahun 43 H, Mu’awiyah mengangkat Abdullah anaknya Amru bin ‘Ash, yang semula dicopot dari posisi di Kufah, sebagai penguasa Mesir. Begitulah masalah pengangkatan pejabat dilakukan sesukanya penguasa saat itu, dan penuh dengan nepotisme, persis seperti kerajaan.

** 
Saat Hisyam menjadi Khalifah kesepuluh Umayyah, dia mengangkat pamannya dari jalur ibu: Ibrahim bin Hisyam bin Ismail sebagai Gubernur di Madinah dan memilihnya sebagai Amirul Hajj (pemimpin jamaah haji). Imam al-Thabari menceritakan beberapa anekdot bagaimana Ibrahim yang tidak mengerti apa-apa memimpin jamaah haji.

Misalnya, pada tahun 105 Hijriah, Ibrahim (paman Khalifah Hisyam) membuat kehebohan karena berkhutbah sebelum zuhur di hari tarwiyah. Padahal tradisi saat itu berkhutbah setelah matahari tergelincir. Ulama Mekkah saat itu, Atha bin Abi Rabah, sudah mengingatkan Ibrahim akan waktu berkhutbah namun Ibrahim salah paham dan akhirnya gagal paham.

Pada tahun 109, Ibrahim bin Hisyam membuat kehebohan lagi saat kembali memimpin jamaah haji. Pada 11 Zulhijjah, dia memberi khutbah dengan membanggakan keturunanya, “Tanyalah apa saja kepadaku, aku akan bisa menjawabnya karena aku lebih tahu dari kalian. Akulah keturunan seorang yang tersendiri dan sangat unik (al-wahid).”

Nepotisme keluarga membuat Khalifah Hisyam memilih pamannya ketimbang memilih orang terbaik sebagai gubernur Madinah dan amirul hajj.

Sadar bahwa banyak desas-desus akan kebodohannya, maka Ibrahim bin Hisyam ingin membuktikan pada khalayak bahwa dia orang yang sangat pintar. Bahkan dengan mengandalkan menyebut keturunannya, yaitu al-Walid bin al-Mughirah, yang disebut dalam Surat al-Mudatssir ayat 11 sebagai “wahidan”.

Celakanya, Ibrahim yang sangat bodoh ini tidak paham bahwa konteks ayat 11 Surat al-Mudatssir menyebut a-Walid bin al-Mughirah itu dengan kehinaan bukan dalam konteks membanggakan atau memuliakannya. Karenanya menjadi tambah lucu ketika Ibrahim justru membanggakan “kepandaian”-nya dengan menunjukkan “ketidaktahuannya” atas kecaman al-Qur’an terhadap kakeknya.

Kembali kepada Ibrahim bin Hisyam yang diangkat Khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Selepas dia menantang khalayak untuk mengajukan pertanyaan, seseorang bangkit dan kemudian bertanya kepada Ibrahim mengenai kewajiban berkurban. Ibrahim tidak menyangka akan ada yang akhirnya berani menyambut tantangannya. Ibrahim terdiam dan kemudian duduk kembali karena dia tidak tahu jawaban atas pertanyaan itu.

Demikianlah kalau kekhilafahan berdasarkan nepotisme kekeluargaan, sehingga orang bodoh pun bisa diangkat menjadi Gubernur Madinah dan diserahi tanggung jawab untuk memimpin jamaah haji.

**

Pada masa Khalifah Keduabelas Abbasiyah, yang menjadi Wazir adalah Utamisy. Khalifah Al-Musta’in mempercayakan keuangan negara kepada tiga orang, yaitu Utamisy, kemudian Syahak al-Khadim (kepala rumah tangga istana). Kedua orang ini diberi wewenang untuk melakukan apa saja mengenai keuangan negara. Orang ketiga yang berpengaruh masalah finansial ini adalah ibu dari Khalifah al-Musta’in sendiri, yang lewat sekretarisnya Salamah bin Sa’id, meminta apa saja dari Baitul Mal, dan Khalifah selalu menyetujui keinginan ibunya dengan menggunakan uang negara.

Satu-satunya pengawas keuangan negara adalah anak Khalifah yang bernama al-Abbas. Celakanya, al-Abbas ini juga seenaknya menggunakan sisa uang negara yang sudah dipakai ketiga orang di atas. Korupsi begitu nyata. Jadi kalau jaman now ada yang teriak-teriak “jualan” bahwa satu-satunya solusi terhadap persoalan korupsi adalah ditegakkannya kembali Khilafah, ya cukup kita kasih senyum manis dan kita tinggal masuk kamar untuk bobo cantik.

Para Jenderal Turki menjadi marah ketika keuangan negara berkurang drastis dikorupsi Utamisy, sang Perdana Menteri. Padahal militer membutuhkan uang untuk menggaji pasukan dan membiayai ekspedisi mereka. Akhirnya mereka mengepung Utamisy yang bersembunyi sampai dua hari di dalam istana. Khalifah al-Musta’in melihat marahnya militer, dan beliau tidak bisa melindungi Utamisy. Akhirnya pada hari ketiga, tepatnya pada tanggal 6 Juni tahun 863 Masehi, Utamisy dan sekretarisnya dibunuh oleh militer.

Begitulah contoh nepotisme yang terjadi pada masa khilafah Umayyah dan Abbasiyah. Masih banyak contoh ngawur lainnya. Tidak ada sistem yg jelas soal perekrutan berdasarkan kapasitas. Semuanya berdasarkan kehendak Khalifah semata. Naik-turun pejabat tergantung keinginan pribadi Khalifah.

Ini karena sistem khilafah tidak baku. Dan repotnya sistem yang tidak baku ini malah diklaim sebagai inti ajaran Islam. Entar tinggal ngeles: yang salah orangnya, bukan sistemnya. Lha kalau sistemnya gak salah, masak sistemnya bisa bubar? Mikirrrrr 😊

Tabik,

Nadirsyah Hosen