Tafsir Ibn Katsir menjelaskan bagaimana Rasulullah gemar bermusyawarah dengan para sahabatnya:
[aswaja_arabic display=”inline”]. وَشَاوَرَهُمْ فِي أُحُدٍ فِي أَنْ يَقْعُدَ فِي الْمَدِينَةِ أَوْ يَخْرُجَ إِلَى الْعَدْوِّ، فَأَشَارَ جُمْهُورُهُمْ بِالْخُرُوجِ إِلَيْهِمْ، فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ وَشَاوَرَهُمْ يَوْمَ الْخَنْدَقِ فِي مُصَالَحَةِ الْأَحْزَابِ بِثُلُثِ ثِمَارِ الْمَدِينَةِ عَامَئِذٍ، فأبى ذلك عليه السَعْدَانِ سَعْدُ بْنُ مُعَاذٍ وَسَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ، فَتَرَكَ ذَلِكَ، وَشَاوَرَهُمْ يَوْمَ الْحُدَيْبِيَةِ فِي أَنْ يَمِيلَ عَلَى ذَرَارِيِّ الْمُشْرِكِينَ. فَقَالَ لَهُ الصِّدِّيقُ: إنا لم نجيء لِقِتَالِ أَحَدٍ وَإِنَّمَا جِئْنَا مُعْتَمِرِينَ، فَأَجَابَهُ إِلَى ما قال [/aswaja_arabic]
Nabi mengajak para sahabatnya bermusyawarah saat Perang Uhud, apakah beliau tetap berada di Madinah atau keluar menyambut kedatangan musuh. Manakala sebagian besar sahabat mengusulkan agar semuanya berangkat menghadapi mereka, Nabi kemudian memutuskan untuk berangkat bersama pasukannya menuju ke arah musuh berada.
Nabi juga mengajak para sahabat beliau bermusyawarah dalam Perang Khandaq, apakah berdamai dengan golongan yang bersekutu dengan memberikan sepertiga dari hasil buah-buahan Madinah pada tahun itu. Usul itu ditolak oleh dua orang Sa’d, yaitu Sa’d ibnu Mu’az dan Sa’d ibnu Ubadah. Akhirnya Nabi menuruti pendapat mereka.
Nabi SAW mengajak mereka bermusyawarah pula dalam Peristiwa Hudaibiyah, apakah sebaiknya beliau bersama kaum muslim menyerang orang-orang musyrik. Maka Abu Bakar Al-Siddiq berkata, “Sesungguhnya kita datang bukan untuk berperang, melainkan kita datang untuk melakukan ibadah umrah.” Kemudian Nabi SAW menyetujui pendapat Abu Bakar itu.
Dalam bagian lain, Tafsir Ibn Katsir juga menceritakan dengan detil musyawarah Nabi bersama sahabatnya menjelang perang Badar:
[aswaja_arabic display=”inline”]وَالْمَعْرُوفُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا سَارَ إِلَى بَدْرٍ نَزَلَ عَلَى أَدْنَى مَاءٍ هُنَاكَ أَيْ أَوَّلِ ماء وجده فَتَقَدَّمَ إِلَيْهِ الْحُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا الْمَنْزِلُ الَّذِي نَزَلْتَهُ مَنْزِلٌ أنزلك الله إياه فَلَيْسَ لَنَا أَنْ نُجَاوِزَهُ أَوْ مَنْزِلٌ نَزَلْتَهُ لِلْحَرْبِ وَالْمَكِيدَةِ؟ فَقَالَ «بَلْ مَنْزِلٌ نَزَلْتُهُ لِلْحَرْبِ وَالْمَكِيدَةِ» فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ هَذَا لَيْسَ بِمَنْزِلٍ وَلَكِنْ سِرْ بِنَا حَتَّى نَنْزِلَ عَلَى أَدْنَى مَاءٍ يَلِي الْقَوْمَ وَنُغَوِّرُ مَا وَرَاءَهُ مِنَ الْقُلُبِ، وَنَسْتَقِي الْحِيَاضَ فَيَكُونُ لَنَا مَاءٌ وَلَيْسَ لَهُمْ مَاءٌ فَسَارَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفَعَلَ كَذَلِك » . وَفِي مَغَازِي الْأُمَوِيِّ أَنَّ الْحُبَابَ لَمَّا قَالَ ذَلِكَ نَزَلَ مَلَكٌ مِنَ السَّمَاءِ وَجِبْرِيلُ جَالِسٌ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فقال ذلك الملك، يا محمد إن ربك يقرئك السَّلَامَ وَيَقُولُ لَكَ إِنَّ الرَّأْيَ مَا أَشَارَ بِهِ الْحُبَابُ بْنُ الْمُنْذِرِ فَالْتَفَتَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلَامُ فَقَالَ «هَلْ تَعْرِفُ هَذَا» ؟ فَنَظَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ: مَا كَلُّ الْمَلَائِكَةِ أَعْرِفُهُمْ وَإِنَّهُ مَلَكٌ وَلَيْسَ بِشَيْطَانٍ [/aswaja_arabic]
Ada kisah yang terkenal mengatakan bahwa ketika Rasulullah berjalan menuju medan Perang Badar, beliau turun istirahat di dekat sumber air yang ada di tempat itu, yakni permulaan mata air yang dijumpainya. Seorang sahabat Nabi yang bernama al-Hubbab bin Munzir menghadap kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah, apakah tempat ini merupakan tempat yang diperintahkan oleh Allah agar engkau berhenti padanya dan kita tidak boleh melampauinya? Ataukah tempat ini engkau jadikan sebagai tempat untuk menyusun strategi perang?”
Rasulullah menjawab, “Tidak, ini merupakan tempat yang sengaja saya tempati untuk strategi perang dan menyusun tipu muslihatnya.”
Al-Hubbab bin Munzir berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tempat ini bukan tempat yang strategis untuk berperang dan melancarkan siasatnya. Tetapi bawalah kami hingga sampai di mata air yang paling dekat dengan pasukan kaum musyrik, kemudian kita keringkan semua sumur lainnya, sehingga kita beroleh mata air untuk minum, sedangkan mereka tidak mempunyai air.” Maka Rasulullah berangkat untuk melaksanakan strategi tersebut
Di dalam kitab Magazil Umawi disebutkan bahwa ketika Al-Hubbab melakukan hal tersebut, turunlah malaikat dari langit, sedangkan Malaikat Jibril sedang duduk di dekat Rasulullah. Malaikat itu berkata, “Wahai Muhammad sesungguhnya Tuhanmu mengirimkan salam buatmu. Dia berfirman bahwa pendapat yang benar adalah pendapat yang diutarakan oleh Al-Hubbab bin Munzir.”
Maka Rasulullah Saw. menoleh ke arah Malaikat Jibril a.s. dan bersabda, “Tahukah kamu siapakah ini?” Jibril memandang ke arah malaikat itu dan berkata, “Tidak semua malaikat dapat aku kenal. Tetapi dia adalah malaikat, bukan setan.”
Pelajaran penting dari cuplikan kisah di atas:
Rasulullah terbuka dengan berbagai pandangan yang berbeda. Beliau tidak merasa mentang-mentang sebagai Nabi lantas bersikap otoriter, keras dan tidak mau mendengar saran orang lain. Para sahabat Nabi juga bersikap santun saat mengajukan pendapat. Mereka bertanya dulu apakah sikap dan pandangan Rasul itu berasal dari wahyu yang tidak bisa diganggu-gugat atau hanyalah pendapat pribadi beliau.
Jikalau itu hanya opini beliau, maka para sahabat akan mengajukan saran dan pendapat kepada Nabi. Dalam beberapa kasus, pendapat sahabat lah yang dinyatakan benar oleh Allah SWT –kasus lainnya berkenaan dengan tawanan perang badar, terjadi silang pendapat antara Abu Bakar dan Umar dimana Nabi cenderung menyetujui pandangan Abu Bakar tapi kemudian turun surat al-Anfal 67-69 yang membenarkan pendapat Umar.
Begitulah sikap Nabi yang gemar bermusyawarah dalam menyelesaikan persoalan. Tepatlah penggambaran sikap Nabi Muhammad dalam QS Ali Imran ayat 159:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Sayyid Quthb dalam kitab Tafsir Fi Zhilal al-Qur’an menyimpulkan: “Demikianlah hati Rasulullah dan kehidupan beliau bersama masyarakat. Beliau tidak marah karena persoalan pribadi, tidak sempit dadanya menghadapi kelemahan mereka, bahkan beliau persembahkan kepada umat apa yang beliau miliki dengan lapang dada dan legowo.” Shallu ‘alan Nabi!
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School