You are here:

[aswaja_big_letter]Pentingkah identitas itu? Tentu saja. Identitas adalah pembeda antara kita dengan yang lain. Pada masa Nabi Muhammad hidup lima belas abad yang lampau, identitas keislaman menjadi sesuatu yang sangat penting. Tapi bagaimana membedakan antara Muslim dengan non-Muslim saat itu? Bukankah mereka sama-sama orang arab yang punya tradisi yang sama, bahasa yang sama bahkan juga berpakaian yang sama? Untuk komunitas yang baru berkembang, loyalitas ditentukan oleh identitas pembeda.[/aswaja_big_letter]

Pernah pada suatu waktu, orang kafir menyatakan masuk Islam di pagi hari, dan kemudian duduk berkumpul bersama-sama komunitas membicarakan strategi dakwah, tapi di sore hari orang itu menyatakan dia kembali kafir lagi. Maka murkalah Nabi. Tindakan itu dianggap sebuah pengkhianatan terhadap loyalitas komunal. Maka di sini muncullah hukuman mati terhadap orang murtad, yang di abad modern ini mirip dengan hukuman terhadap pengkhianat dan pembocor rahasia negara.

Mulailah Nabi Muhammad melakukan konsolidasi internal: loyalitas dibentengi dengan identitas khusus. Nabi melakukan politik identitas: umat Islam dilarang menyerupai kaum Yahudi, Nasrani, Musyrik bahkan Majusi. Maka keluarkah aturan pembeda identitas dari soal kumis-jenggot, sepatu-sendal, warna pakaian sampai soal mewarnai rambut. Pesannya simple: berbedalah dengan mereka. Jangan menyerupai mereka, karena barang siapa yang menyerupai mereka, maka kalian sudah sama dengan mereka.

Pertanyaannya: apakah kebijakan Nabi soal politik identitas ini berlaku terus sepanjang zaman atau hanya bersifat lokal dan temporer? Kalau illat (alasan hukum)-nya itu soal loyalitas dan identitas maka di abad sekarang ini dunia sudah bergeser. Tradisi juga sudah berubah. Banyak cara lain untuk meneguhkan identitas. Dan komunitas Islam bukan lagi bersifat lokal seperti di jaman Nabi dulu.

Ketika Islam sudah tersebar ke luar dunia arab dan bersentuhan dengan budaya lokal yang lain, maka kita harus kembali kepada pembeda utama antara Islam dengan non-Islam, yaitu akhlak yang mulia. Bukankah Nabi Muhammad diutus dengan misi utama untuk menyempurnakan akhlak yang mulia? Maka, loyalitas dan identitas keislaman kini ditentukan oleh kepatuhan kita pada substansi ajaran Islam, bukan lagi semata-mata soal cara berpakaian, cara makan atau seberapa panjang jenggot anda.

Tentu menjadi ironis kalau kita ngotot mempertahankan identitas pembeda secara formal, tapi secara substantif akhlak kita sudah jauh lebih buruk dari orang-orang non-Islam. Sekedar renungan bersama.

Tabik,

Nadirsyah Hosen