Mungkinkah seorang ahli fiqh juga menekuni dunia ke-sufi-an tanpa meninggalkan kealimannya dalam bidang fiqh? Kita hanya perlu menengok pada sosok yang satu ini: Abdul Wahab bin Ahmad Sya’rani (1493–1565). Seorang ulama dari Mesir yang bermazhab Syafi’i namun juga dikenal sebagai seorang sufi. Kabarnya ia hafal Qur’an saat berusia tujuh tahun. Sewaktu kecil sudah terlihat tanda-tanda karamahnya ketika ia terjatuh di sungai Nil namun ia diselamatkan oleh seekor buaya.
Beliau belajar fiqh, hadis dan disiplin ilmu keislaman lainnya dari para masyayikh terkemuka pada masanya. Beliau bercerita sendiri bagaimana susah payah menempa dirinya ketika menempuh suluk. Beliau bahkan mengaku belajar langsung kepada Nabi Khidr. Walhasil banyak kisah unik seputar beliau ini, termasuk beliau saat shalat bisa mendengar binatang, bebatuan dan dinding serta pilar masjid bertasbih mengagungkan Allah. Subhanallah!
Di tangan beliau, fiqh dan tasawuf bisa berjalan beriringan. Di tangan beliau, perbedaan mazhab bisa terlihat indah. Bahkan beliau memberikan penilaian mana pendapat fiqh yang berat (tasydid) dan mana yang ringan (takhfif). Yang berat untuk para ulama, dan pendapat yang ringan dipilihkannya untuk orang awam. Inilah “timbangan besar” (al-mizan al-kubra) yang beliau berikan kepada kita; untuk menimbang-nimbang pendapat fiqh yang ada.
Dalam kitab al-Mizan al-Kubra karya Imam Sya’rani dijelaskan bahwa mazhab-mazhab dalam fiqh itu ada di bawah sorotan cahaya syari’at yang suci (al-syari’ah al-muthahharah). Tidak ada satu pendapat pun dari pendapat-pendapat mereka yang keluar dari tuntunan ilahi. Itu sebabnya tidak cukup hanya dengan menjelaskan lewat rangkaian kata-kata, Imam Sya’rani menjelaskan pula lewat berbagai gambar dan bagan untuk memudahkan pembaca memahami penjelasan beliau, seperti bisa dilihat di foto-foto yang saya cantumkan.
Dalam halaman-halaman selanjutnya Imam Sya’rani yang bermazhab Syafi’i ini dengan gigih membela Imam Abu Hanifah dari serangan tajam para kritikus. Terlihat jelas bagaimana Imam Sya’rani jauh dari sifat kefanatikan. Ilmu fiqh dan tasawufnya sudah taraf mumpuni, maka tidak heran ada yang menganggap beliau salah satu waliyullah. Wa Allahu a’lam bis shawab.
Menurut Imam Sya’rani keempat mazhab itu benar dan para pengikutnya akan melewati jembatan shiratal mustaqim dengan mulus karena semua ‘sanad’ dari 4 mazhab itu menyambung kepada Allah dan RasulNya. Imam Sya’rani lahir tahun 1493 dan wafat tahun 1565. Berarti kitabnya ini sudah berusia lebih dari 400 tahun!
Andaikata kita mau membaca kembali khazanah pemikiran islam yang begitu dahsyatnya, kita akan terpesona, sekaligus kita akan tertunduk malu merasa diri hebat, alim, suci dan paling benar sendiri….sayang banyak diantara kita yang sudah tidak berilmu dan tidak pula punya rasa malu. Yang tersisa cuma emosi dan keangkuhan….Semoga Allah menghindarkan kita dari hal yang demikian. Amin Ya Rabb
Tabik,
Nadirsyah Hosen