You are here:

Dunia Ini Bagaikan Sebuah Buku…

[aswaja_big_letter]Begitu awal kutipan yang konon berasal dari St Augustine. Ini lanjutannya “…dan mereka yang tidak pernah bepergian hanya membaca satu halaman saja.”[/aswaja_big_letter]

Ketika di tangan anda ada sebuah buku, dan anda hanya membaca satu halaman saja, bisakah anda mengklaim telah menyerap semua informasi yang dihidangkan dalam buku tersebut? Apa yang anda ketahui hanya terbatas dalam satu halaman saja dari sekian ratus halaman. Pengetahuan yang terbatas diibaratkan dengan mereka yang tidak pernah bepergian. Dia hanya tahu satu halaman saja dari kehidupan ini.

To achieve is to keep moving. Untuk meraih apa yang anda impikan, anda harus terus bergerak, tidak bisa hanya duduk diam saja. Tapi kemana kita harus pergi dan kemana kita harus bergerak?

Pertama, kita harus pergi dan bergerak dari “keakuan” diri kita sendiri. Sudah sekian lama kita membangun benteng dan pagar di dalam diri kita. Kita tidak mau menerima masukan orang lain. Kita tidak mau membuka diri dan menelaah kondisi di sekitar kita. Kita bebal, keras kepala, dan kekeuh mempertahankan apa yang kita sebut sebagai harga diri, kepentingan kelompok atau parpol, bahkan keinginan dan hasrat kita yang terpendam.

Kita terpenjara dalam ego kita sendiri. Kita menjadi makhluk yang mementingkan diri sendiri. Orang lain yang harus mengerti perasaan dan apa yang kita inginkan. Kita sibuk menyalahkan keadaan dan orang lain yang tidak memahami satu lembar dari buku kehidupan kita. Sudah waktunya kita travelling, bepergian dan bergerak dari penjara diri kita. Buka jendela hati kita, buka cakrawala berpikir kita dan bukalah lembar demi lembar buku kehidupan kita. Hidup anda yang seolah susah dan merana itu karena anda baru membuka satu halaman saja. Yakinlah masih banyak halaman lain yang menunggu untuk anda buka.

Kedua, pergi dan bergeraklah secara fisik. Ayunkan kaki keluar rumah, kunjungilah kampung terdekat atau negeri terjauh, niscaya kita akan menemui beraneka ragam manusia lengkap dengan problematikanya. Kita bisa menikmati berbagai macam jenis makanan berbeda. Kita menyaksikan pemandangan yang lain. Kita pun akan mengalami berbagai kesulitan dan problematika dalam perjalanan kita, tapi tak mengapa. Semua itu akan memperkaya lembar kehidupan kita. Mereka yang merantau, meraka yang hijrah atau mereka yang sedang berkunjung ke tempat yang berbeda jelas telah membaca lebih banyak lembar demi lembar kehidupan. Travelling, moving atau sekedar visiting…gak masalah.

Mari simak perjalanan seorang anak manusia yang lahir di Gaza tahun 767 –sekitar seribu dua ratus lima puluh tahun yang lalu. Sepeninggal ayahnya, ia dibawa sang ibu ke Mekkah dan mulai belajar bersama para masyayikh. Kemudian ia pergi pada usia 13 tahun ke Madinah dan belajar pada ulama tersohor pada masa itu, Imam Malik.

Syafi’i, begitu ia kemudian dikenal, belajar dengan tekun dan mulai dikenal namanya sebagai ahli hukum Islam terkemuka. Saat ia berusia 28 tahun, sang guru wafat. Pada usia 30 tahun Syafi’i memasuki dunia baru: ia diangkat khalifah menjadi Gubernur di daerah Najran, Yaman. Enam tahun menjadi birokrat, Syafi’i mulai mengalami cobaan. Fitnah menerpanya, hingga ia diseret dengan tangan terantai menuju tempat Khalifah dan terancam hukuman mati. Namun beliau berhasil menyampaikan peleidoi yang luar biasa, yang membuat Khalifah melepasnya. Pada saat itulah Syafi’i bertemu dengan Syekh Muhammad bin Hasan al-Syaibani, seorang murid dari Imam Abu Hanifah. Maka mulailah Syafi’i belajar pada ulama hebat ini. Ini membuat Syafi’i memutuskan tinggal menetap di Baghdad.

Tidak lama berada di Baghdad, pendekatan unik beliau yang mewarisi tradisi keilmuan Hijaz dan Kufah membuat Syafi’i mulai terkenal dengan berbagai fatwanya. Tapi perdebatan panas di kota tersebut konon yang memicu Syafi’i kembali ke Mekkah dan mengajar di sana. Enam tahun di Mekkah, Imam Syafi’i –begitu orang mulai memanggilnya– memiliki murid bernama Ahmad bin Hanbal, yang belakangan kemudian namanya dinisbatkan sebagai pendiri mazhab Hanbali.

Tahun 810 Imam Syafi’i bertolak meninggalkan Mekkah. Beliau menuju Baghdad, kota yang pernah ia diami. Empat tahun ia mengajar di Baghdad. Reputasinya semakin meroket sebagai ahli fiqh. Ia bukanlah sekedar Syafi’i yg pernah belajar di kota itu, ia kembali untuk mengajar. Sang imam menolak tawaran Khalifah untuk menjadi pejabat. Kali ini dia setia pada jalur keilmuan.

Cukupkah? Ternyata belum usai perjalanan intelektual beliau. Imam Syafi’i bergerak menuju Cairo pada tahun 814. Kemudian Imam Syafi’i mengeluarkan fatwa-fatwanya di Cairo. Kalau di Baghdad hasil ijtihad beliau disebut sebagai qaul qadim, pendapat beliau di Cairo disebut dengan qaul jadid. Kalau beliau hidup di era facebook, boleh jadi pandangan beliau akan disebut sebagai qaul gaul –lha gimana gak dianggap anak gaul kalau beliau bisa main facebook juga kayak saya ini 🙂

Imam Syafi’i wafat di Cairo pada 20 Januari 820. Ia wafat saat berusia 54 tahun. Konon kabarnya beliau menderita sakit setelah diserang oleh seorang pendukung fanatik mazhab Maliki. Ah sungguh ironis, beliau yang merupakan murid kesayangan Imam Malik malah diserang oleh pendukung mazhab Maliki yang kewalahan membantah fatwa Imam Syafi’i. Kefanatikan memang mematikan hati dan pikiran kita.

Dari Gaza, Mekkah, Madinah, Yaman, Baghdad, balik lagi ke Mekkah, terus menuju Baghdad dan berakhir di Mesir. Inilah perjalanan panjang Imam Syafi’i. Setiap negeri yang dilewatinya untuk belajar dan mengajar menorehkan catatan pada tinta dan pena.

Sepanjang perjalanannya itu beliau bukan saja membaca lembar demi lembar buku kehidupan beliau, tapi beliau juga menuliskannya dalam lebih 100 buku yang dikarangnya –dan pemikiran serta karya beliau telah melanjutkan travellingnya beliau sampai ke penjuru dunia. Karya dan fatwanya dibaca dan diamalkan sampai saat ini oleh pengikut mazhab Syafi’i.

Kawan, pergilah…terus bergerak. Merantau atau hijrah, atau sekedar berkunjung melepas penat. Jangan puas hanya membaca satu halaman dari hidupmu. Bukalah halaman berikutnya. Bila kau jumpai halaman berikutnya masih kosong, maka itu tandanya kitalah yang harus menuliskannya. Masih banyak lembar demi lembar yang harus kita buka, baca dan kalau perlu kita sendiri yang mengisinya. Jangan cepat puas dengan apa yang sudah kita raih.

 

Salam dari rantau dan selamat menikmati wiken,

Nadirsyah Hosen