Ada seorang lelaki yang tiba-tiba bikin heboh sebuah negeri. Setelah menyendiri (bertapa?) di sebuah gunung selama beberapa waktu, lelaki yang dikenal berasal dari keluarga baik-baik itu mengumumkan kalau ia baru saja mendapat wahyu. Lelaki itu mengklaim, “Tuhan baru saja mengangkat aku sebagai utusan-Nya”
“Apa maksud Tuhan mengirim seorang utusan (rasul) untuk negeri ini?”, tanya seorang nenek yang kebingungan.
“Penduduk negeri ini telah banyak melakukan dosa. Tuhan kirimkan berbagai bencana dan musibah, namun kalian tidak juga memohon ampun dan menyembah-Nya,” lelaki yang mengaku sebagai Rasul itu menjawab.
“Tapi bukankah kita sudah memiliki agama dan kepercayaan yang diajarkan dan diwariskan kepada kita sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu? Mengapa harus ada Rasul yang baru? Apakah ajaran yang selama ini kami peluk dianggap salah?”
“Aku datang untuk membenarkan dan sekaligus menyempurnakan ajaran yang kalian anut selama ini. Tanpa sadar kalian sudah bergeser dari inti ajaran yang Tuhan turunkan sebelumnya. Kehadiranku untuk menyelamatkan kalian,” begitu sabda orang yang mengaku sebagai utusan Tuhan.
“Baiklah…baiklah. Tapi mengapa harus engkau yang mendapat wahyu? Bukankah kami melihat engkau sebagai orang biasa? Engkau tidak pernah mempelajari kitab suci kami dengan cara yang benar seperti yang dilakukan oleh para guru dan orang tua kami? Tahu apa engkau tentang kitab suci sampai berani mengklaim menerima wahyu?”
Lelaki yang membuat heboh itu kembali tersenyum dan menjawab, “kesombongan para guru agama kalian akan kitab suci telah membutakan hati. Mereka tidak lagi bisa menerima kebenaran di luar pemahaman mereka yang sudah berabad-abad. Kalian iri hati dan kebingungan ketika orang biasa seperti aku, yang berjalan di pasar dan duduk-makan-minum seperti layaknya dirimu, tiba-tiba mendapat anugerah berupa wahyu. Kalau Tuhan berkuasa atas segala sesuatu maka tentu Tuhan berkuasa pula untuk memiliki hak prerogatif mengangkat seorang Rasul yang Dia kehendaki. Dan itulah aku”.
“Ah…tidak mungkin,” teriak seorang tua yang memakai sorban di kepalanya. “Tuhan tidak mungkin mengirimkan Rasul baru. Pintu kenabian dan kerasulan sudah terkunci berabad-abad lamanya. Anda sudah menghina kitab suci kami”.
Dengan tenang lelaki yang mengklaim sebagai utusan Tuhan itu menjawab, “Bukankah Nabi sebelumnya sudah berpesan bahwa nanti akan datang juru selamat, orang yang dijanjikan untuk membantu kalian melawan kezaliman dan kedurhakaan? Akulah orang yang sudah disebutkan secara samar-samar oleh nabi sebelumnya?”.
“Tidak mungkin! kitab suci jelas-jelas menolak hal itu!”, sergah seorang yang berjanggut panjang.
Saat itu massa semakin banyak berkerumun, dan mulai ada yang terbakar emosi.
“Bukankah sudah kukatakan bahwa pemahaman kalian terhadap kitab suci sudah membuat kalian buta akan kebenaran. Sejumlah ayat dan sabda yang secara tersirat membuka peluang kehadiran utusan berikutnya telah kalian tutup-tutupi. Para pemuka agama telah menutup pintu kenabian; padahal Tuhan tidak pernah menutupnya. Sekali lagi, akulah orang yang kalian tunggu-tunggu selama ini (apapun sebutan yang kalian berikan: ratu adil, messiah, mahdi, nabi, rasul dan lainnya)”
Seseorang mulai menghunus pedangnya. Yang lain mengumpulkan bebatuan.
Lelaki itu mencoba meyakinkan kerumunan massa dengan mengatakan, “Buka kembali kitab suci kalian. Semua utusan Tuhan pada mulanya didustakan dan dinistakan oleh umatnya sampai azab Tuhan turun. Apakah kalian akan kembali mendustakan utusan Tuhan seperti umat sebelumnya? Aku khawatir kalau azab Tuhan turun nanti, sudah sangat terlambat bagi kalian untuk mempercayaiku. Jangan tunggu sampai Tuhan murka!”
“Pembohong!”
“Penipu!”
“Tangkap!”
“Bunuh!”
“Aliran sesat!”
Para pemuka agama kemudian berkumpul membahas nasib orang yang berani-beraninya mengaku menerima wahyu tersebut.
Kawan,
Dan sejarah selalu berulang: di setiap masa, pada suatu tempat, selalu ada orang yang mengaku-ngaku menerima wahyu dan diangkat sebagai utusan-Nya. Selalu saja kemudian masyarakat heboh dan bergejolak.
Tidak…tidak…saya tidak berbicara mengenai al-Qiyadah al-Islamiyah, Lia Eden, Mirza Ghulam Ahmad, atau Ahmad Musadeq. Saya sedang merekonstruksi ulang kisah Para Nabi yang diceritakan al-Qur’an: Nuh, Luth, Isa, Muhammad, dan Nabi-nabi lainnya.
Andaikan kita hidup pada masa lampau, apakah reaksi kita juga akan sama? Percayakah kita terhadap para Nabi itu atau kita termasuk yang membangkang? Faktor apa yang membuat kita percaya atau tidak percaya?
Pada mulanya mereka yang beriman kepada sang utusan akan dianggap sesat. Namun kemudian seiring bergulirnya waktu para pengikut Rasul yang baru justru menganggap mereka yang tidak percaya kepada sang Rasul -lah yang termasuk golongan sesat. Agama yang bisa terus bertahan biasanya dipengaruhi oleh kekuasaan politik; tidak murni karena kebenaran iman. Bahkan nasib tragis pun menimpa sejumlah utusan Rasul, seperti diindikasikan oleh kitab suci.
Siapa yang sesat dan siapa yang beriman? Siapa yang benar-benar Rasul dan siapa yang Palsu? Wa allahu ‘alam.
Mari kita panjatkan doa agar Allah selalu memberi kita petunjuk kepada jalanNya, sebagaimana yang dibawa dan diajarkan para utusanNya.
Allahummahdina fiman hadait
Wa ‘afina fiman ‘afait
Watawallana fiman tawallait
Wabariklana fima a’thait
Waqina syarra ma qadhait
fa innaka taqdhi wa la yuqhda ‘alaika
Salam hangat,
Nadirsyah Hosen