[aswaja_big_letter]Salah satu problem terbesar umat saat ini adalah anti dengan perbedaan. Perbedaan dianggap perpecahan. Itu karena kita menyikapinya sebagai pertentangan yang berlanjut pada pertarungan antar kelompok sampai perebutan kursi politik. Maka atas nama Islam banyak yang terjebak pada fanatisme kelompok. Retorikanya saja berjuang atas nama Islam, padahal yang mereka bela adalah pemahaman kelompoknya sendiri.[/aswaja_big_letter]
Belakangan banyak yang gerah dengan sejumlah tulisan saya karena dianggap selalu membahas pendapat yang tidak mainstream. Seolah menyebutkan pendapat di luar mayoritas itu menjadi ancaman. Seolah menyebutkan ada pendapat lain dari yang selama ini dipahami orang kebanyakan akan meresahkan. Seolah pendapat jumhur ulama, mayoritas ormas Islam atau pandangan mainstream itu pasti benar. Seolah pendapat yang memicu kontroversi itu pasti keliru.
Bagi mereka yang meniatkannya untuk belajar, maka mendengar atau membaca adanya pendapat yang berbeda dengan yang selama ini diketahuinya akan penasaran dan segera membaca kembali berbagai kitab rujukan. Bagi yang tidak mau lagi belajar, maka dengan mudah semua pendapat yang baru dia dengar dan berbeda dari apa yang dia pahami selama ini, dicap sebagai omongannya JIL, Syi’ah, atau bahkan ditanya: “Anda muslim bukan? Atau, “Anda dibayar berapa?”
Kondisi ini jelas berbeda dengan masa keemasan Islam dahulu dimana semua pendapat didiskusikan dengan baik dan mendalam. Pelabelan hanya akan membuat diskusi terhenti. Datangkan saja argumen atau rujukan lain karena bagi para ulama klasik: “pendapat saya benar tapi bisa jadi mengandung kemungkinan salah, semenatara pendapat anda itu saya anggap keliru, tapi bisa jadi mengandung kebenaran yang belum saya pahami”.
Ini saya hadirkan contoh dari kitab klasik Bidayatul Mujtahid karya Ibn Rusyd. Dari gambar yang saya sajikan terlihat bagaimana Ibn Rusyd ketika membahas persoalan syarat sah jamaah dalam shalat Jum’at itu berapa orang, beliau mencantumkan semua pendapat, termasuk yang terdengar aneh sekalipun. Ada yang bilang satu makmum saja cukup, ada yang bilang dua makmum, ada yang bilang 3, lantas disebutkan juga pendapat yang bilang 30 dan pendapat yang umum dipahami kita, yaitu minimal 40.
Apa manfaatnya mengetahui perbedaan di atas? Untuk kondisi tertentu dimana Muslim menjadi minoritas, mereka tetap bisa menjalankan shalat Jum’at meski jumlah jamaah tidak mencapai 40 karena para ulama klasik tetap mencantumkan pendapat yang berbeda itu. Sekarang bayangkan betapa sulitnya kita kalau para ulama dulu ‘menyembunyikan’ pendapat yang berbeda itu dari ruang publik.
Kejujuran ilmiah ini penting untuk kita teruskan. Sebutkan kalau ada pendapat yang lain dalam masalah itu. Agar umat ini secerdas umat jaman dulu, setoleran ulama di masa kejayaan Islam, dan terus mau belajar seperti dicontohkan para ulama klasik.
Kalau kita terbiasa dengan keragaman pendapat maka kita tidak akan kaget, ngeyel, atau dengan mudahnya melabeli orang lain. Persis dengan wajarnya kita melihat pilihan menu makanan yang berbeda di warung padang, warteg atau fast food. Semua punya hak memilih. Selera boleh berbeda, pilihan boleh tak sama, namun kita tetap umat yang satu. Mudah untuk diucapkan, namun sulit untuk dijalankan, bukan?
Tabik,
Nadirsyah Hosen