“Sekiranya aku diperkenankan mengambil kekasih”:
Hadis Riwayat Abu Musa Asy’ari
[aswaja_big_letter]Imam Bukhari dalam Kitab Shahih-nya menulis satu bab ‘sabda Nabi SAW sekiranya aku diperkenankan mengambil kekasih’ (Law kuntu muttakhidzan khalilan). Bab tersebut diambil dari potongan Hadis Nabi yang ditujukan kepada Abu Bakar. Dalam bab tersebut juga tercantum satu riwayat panjang dari Abu Musa al-Asy’ari mengenai tiga tokoh yang kemudian menjadi Khalifah: Abu Bakar, Umar dan Utsman. Mari kita sedikit kaji hadis tersebut dengan sekali lagi melihat konteks sosio-politik perawi dan kandungan Hadis yang diriwayatkannya.[/aswaja_big_letter]
Dalam Hadis Nomor 3398 diceritakan Abu Musa al-Asy’ari menghampiri Nabi SAW yang ternyata beliau sedang duduk dekat sumur dan berada di tengah-tengah tepi sumur tersebut. Beliau menyingkap (pakaiannya) hingga kedua betisnya dan mengulurkan kedua kakinya ke dalam sumur. “Aku memberi salam kepada beliau lalu berpaling dan kembali duduk di samping pintu. Aku berkata; “Sungguh aku menjadi penjaga Rasulullah pada hari ini”. Kemudian Abu Bakr datang dan mengetuk pintu. Aku tanya; “Siapakah ini?. Dia berkata; “Abu Bakr“. Aku katakan; “Tunggu sebentar”. Kemudian aku menemui Nabi lalu aku katakan; “Wahai Rasulullah, ada Abu Bakr minta izin masuk”.
Beliau berkata; “izinkan dia masuk dan sampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga”. Aku kembali lalu aku katakan kepada Abu Bakr; “Masuklah, dan Rasulullah telah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan surga”. Maka Abu Bakr masuk lalu duduk di samping kanan pada tepi sumur kemudian menjulurkan kedua kakinya ke dalam sumur sebagaimana yang dilakukan Nabi dan mengangkat pakaiannya setinggi kedua betisnya. Kemudian aku kembali dan duduk.”
Abu Musa melanjutkan ceritanya: “Tiba-tiba ada orang yang menggerak-gerakkan pintu, aku bertanya; “Siapakah ini?”. Orang itu menjawab; “Aku ‘Umar bin Al Khaththab“. Aku katakan; “Tunggu sebentar”. Kemudian aku menemui Rasulullah dan memberi salam kepada beliau lalu aku katakan; “Wahai Rasulullah, ada ‘Umar bin Al Khaththab minta izin masuk”. Beliau berkata; “izinkan dia masuk dan sampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga”. Maka aku temui lalu aku katakan; “Masuklah, dan Rasulullah SAW telah menyampaikan kabar gembira kepadamu dengan surga”. Maka ‘Umar masuk lalu duduk di samping kiri Rasulullah pada tepi sumur kemudian menjulurkan kedua kakinya ke dalam sumur.”
Abu Musa bercerita bahwa ada orang ketiga yang datang, “Orang itu menjawab; “‘Utsman bin ‘Affan“. Aku katakan; “Tunggu sebentar”. Kemudian aku menemui Rasulullah lalu aku kabarkan kepada beliau, maka beliau berkata; “Izinkan dia masuk dan sampaikan kabar gembira kepadanya dengan surga, DENGAN BERBAGAI COBAAN YANG MENIMPANYA” (bassyirhu bil jannah ‘ala balwaa tushibuhu). Maka ‘Utsman masuk namun dia dapatkan tepi sumur telah penuh. Akhirnya dia duduk di hadapan beliau dari sisi yang lain”.
Saya terpana membaca riwayat panjang di atas. Saya tidak meragukan keadilan Abu Musa al-Asy’ari salah seorang sahabat Nabi SAW, namun saya bertanya-tanya, kapan Abu Musa al-Asy’ari mengisahkan kisah di atas? Dari jalur periwayatan, beliau menceritakan riwayat ini kepada seorang ulama besar tabi’in bernama Sa’id bin Musayyab yang kemudian oleh Sa’id bin Musayyab hadis ini diartikan sebagai isyarat Khalifah Utsman tidak dikubur bersama Rasul, Abu Bakar dan Umar, karena posisi duduk Utsman yang berbeda di tepi sumur.
Saya fokus bukan pada posisi duduk, tapi pada ucapan yang berbeda dari Rasul kepada Abu Bakar, Umar dan kepada Utsman, dimana khusus untuk Utsman ada tambahan “dengan berbagai cobaan yang menimpa Utsman“. Dalam masa kekhilafahan Abu Bakar dan Umarjuga banyak persoalan, seperti kaum yang tidak mau bayar zakat sehingga diperangi Abu Bakar, atau Umar yang dibunuh saat mau jadi Imam shalat, tapi kenapa Rasul khusus mengatakan “berbagai cobaan untuk Utsman“? Ibn Hajar dalam Fathul Bari berusaha menjelaskan kekhususan penyebutan ini.
Boleh jadi Abu Musa al-Asy’ari menceritakan ulang kisah ini setelah huru-hara pada akhir masa kekhalifahan Utsman yang berujung masuknya gerombolan ke rumah Utsman dan membunuh khalifah ketiga. Kalau benar, maka ini riwayat post-factum. Jenazah Utsman sempat dilarang beberapa saat untuk dikubur oleh gerombolan pengepung. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa Utsman dikubur di Baqi, bukan bersama Rasul dan kedua khalifah Abu Bakar dan Umar. Periode kelam ini disebut sebagai fitnatul kubra. Hadis-hadis setelah peristiwa ini harus kita baca dengan cermat.
Dalam kisah di atas, nama Sayyidina Ali tidak disebut oleh Abu Musa al-Asy’ari. Ini menguatkan dugaan bahwa kisah ini diceritakan Abu Musa pada masa akhir Khalifah Utsman, bukan pada masa akhir Khalifah Ali. Sedikit background akan hubungan Abu Musa dengan Utsman dan Ali akan memperjelas kemusykilan kita memahami konteks riwayat di atas.
Abu Musa diangkat menjadi Gubernur Kufah pada masa Umar. Lantas pada masa Utsman, ia kena reshuffle. Tapi ia tetap loyal pada Khalifah Utsman meski orang pada heboh dan mengendus nepotisme sang khalifah karena yang menggantikan Abu Musa adalah keluarganya Utsman. Sewaktu pada masa kekhalifahan Ali terjadi perang onta dengan istri Nabi, Aisyah radhiyallahu ‘anha, Abu Musa al-Asy’ari alih-alih mendukung Ali, Abu Musa malah menasehati Ali untuk meletakkan senjata. Ali tidak menghiraukan saran tersebut. Namun sewaktu perang antara Ali dan Mu’awiyah berlangsung, secara mengejutkan Abu Musa berdiri di pihak Ali.
Ketika terjadi tahkim untuk menyelesaikan perang. Imam Ali menghendaki Ibn Abbas yang mewakilinya berhadapan dengan Amru bin ‘Ash dari pihak Mu’awiyah. Namun kaum khawarij berseru agar Abu Musa yang pergi. Ali mengalah dan membiarkan Abu Musa yang mewakili pasukannya. Hasilnya kita tahu Abu Musa dikerjai Amru bin Ash dalam peristiwa tahkim sehingga berujung pada kekalahan Ali dan kemenangan Mu’awiyah. Pendukung Imam Ali banyak yang menyalahkan Abu Musa al-Asy’ari. Bahkan ada yang menuduhnya disisipkan oleh Mu’awiyah. Mungkin Yang terjadi sebenarnya adalah Abu Musa terlalu polos sebagai juru runding. Perang Siffin berakhir pada 28 Juli 657 (hari ini 1359 tahun yang lalu).
Sejarah selalu menyisakan sisi kelam yang harus disikapi secara bijak. Tentu bukan tanpa maksud apa-apa ketika kisah di atas diletakkan Imam Bukhari dalam bab ‘sekiranya aku diperkenankan mengambil kekasih‘. Fakta sejarah mengatakan Abu Bakar, Umar dan Utsman adalah 3 khalifah awal yang bukan saja sangat dekat dengan Nabi Muhammad SAW, tapi juga jasa ketiganya (plus Khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib) dalam perkembangan umat tidak mungkin dihapus begitu saja. Merekalah para kekasih Nabi di surga kelak. Amin Ya Rabbal ‘Alamin
Tabik,
Nadirsyah Hosen