[aswaja_big_letter]”Pada saat itu jumlah kalian tidak sedikit, bahkan akan banyak, tapi kalian tak ubahnya bagai buih di genangan air“, begitu salah satu nubuwwat yang disampaikan Rasulullah SAW. “Itu disebabkan kalian menderita penyakit al-wahn“. Manusia teragung dalam sejarah peradaban manusia pun menjelaskan lebih lanjut, “yaitu cinta dunia dan takut mati“.[/aswaja_big_letter]
Sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Sunan Abi Dawud ini menggambarkan persoalan penting: umat Islam kini jumlahnya tembus angka satu miliar, namun besarnya kuantitas tidak dibarengi dengan kualitas. Keilmuan dan juga kearifan kita bukanlah sedalam samudera, karena kita hanya tampil di permukaan saja dan lantas hilang dalam hitungan detik. Kita tidak memiliki kekuatan seperti ombak yang maha dahsyat, kita tak ubahnya hanyalah gelembung belaka. Jumlah kita terlalu banyak untuk disebutkan tapi terlalu sedikit untuk diperhitungkan.
Banyak yang mencoba menawarkan jawaban. Kata kelompok yang satu: kita harus kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah. Kelompok lain membantah: untuk apa kembali kepada kedua sumber utama kalau kita tidak memiliki pemimpin agung? itu artinya kita butuh khilafah. Kelompok yang lain mengatakan: hanya dengan meliberalkan pola pikir kita maka kita akan kembali berjaya. Sebagian lain mengatakan mari kita tiru semua tindak tanduk dan cara berpakaian, cara berjalan, dan cara makan Nabi maka kita akan sukses.
Akan tetapi Nabi Muhammad punya jawaban sendiri: beliau mengatakan sumber masalahnya adalah umat Islam cinta dunia dan takut mati. Kalau begitu kita harus melakukan bom bunuh diri untuk membuktikan agar kita tidak takut mati dan lebih cinta akherat? Tentu saja tidak demikian.
Pertama-tama kita luruskan dulu definisi dunia dan kedua, kita renungkan kembali apa itu kematian. Bagi para sufi, dunia itu adalah segala sesuatu yang dapat memalingkan kita dari Allah, sedangkan akherat adalah segala perbuatan yang dapat membawa kita menuju Allah. Jelaslah problem kita saat ini: kita fokus pada perbuatan, bukan pada tujuan.
Mereka yang menuntut ilmu dan menghabiskan waktunya di perpustakaan dan laboratorium jelas melakukan amalan akherat selama Allah menjadi tujuan mereka. Sebaliknya, mereka yang rajin shalat malam dan berulangkali umrah ke tanah suci, bisa masuk kategori melakukan amalan dunia bila amalan ibadah mereka lakukan bukan karena Allah tapi karena karir, bisnis ataupun tujuan duniawi lainnya. Maka dengan pendekatan ini, mereka yang membangun perpustakaan, menyediakan beasiswa, atau mendirikan sarana olahraga bisa sama mulianya dengan mereka yang mendirikan masjid atau berdakwah kesana-kemari.
Cinta dunia berawal dari kekeliruan memahami dunia, dan akibatnya salah jatuh cinta. Lantas bagaimana dengan takut mati? “matilah kamu sebelum engkau benar-benar mati”. Para sufi telah memakai kafan putih cintaNya sebelum benar-benar masuk kubur kelak dengan kain kafan. Mereka hidup di dunia tapi hati mereka tidak terpusat pada dunia. Mereka telah mematikan berbagai nafsu dan keinginan untuk kemudian digantikan oleh kehendakNya. Mereka tidak takut pada kematian; bahkan mereka merindukannya sebagai momen perjumpaan kembali makhluk dengan sang Khaliq. Kematian hanyalah mudik belaka ke kampung yang sebenarnya.
Orang yang takut mati adalah mereka yang enggan melepas apa yang dimilikinya untuk ditukar dengan apa yang ada di sisi Allah. Kita membanggakan ilmu, harta atau keluarga kita. Ketahuilah saat kita mati kelak semuanya tidak akan kita bawa ke liang kubur tapi malah akan menjadi pertanyaan di padang mahsyar: darimana kita dapatkan dan untuk apa kita gunakan. Orang yang takut mati akan berebut pada hal yang haram. Orang yang sudah mematikan hasratnya sebelum benar-benar mati akan percaya bahwa siapa yang meninggalkan yang haram, akan Allah ganti dengan sesuatu yang halal.
Problem kita bukan pada struktur pemerintahan, bukan pada kurangnya kita pergi mengaji Qur’an dan Hadis, atau bukan karena kita tidak menerapkan syariah secara kaffah; sabda Rasul singkat tapi dalam: penyakit kita itu karena cinta dunia dan takut mati!
Tabik,
Nadirsyah Hosen