You are here:

Saat Rasul Berkhutbah

Duhai manusia agung, bagaimana gejolak perasaanmu dalam membina para sahabatmu? Ijinkan kami belajar setetes saja dari samudera kearifanmu, ya sayyidi. Betapa susah sungguh kau abdikan hidupmu demi menjalankan amanah kerasulan.

Tak kau tempatkan dirimu seperti seorang raja, meski kau mampu melakukannya. Tak kau buat para sahabatmu tunduk ketakutan mendengar titahmu, meski kau mampu melakukannya. Engkau memilih hidup akrab bersama keseharian mereka, hingga kadang mereka pun lupa bahwa engkau bukan sekedar manusia biasa, engkau berbeda dengan mereka, engkaulah utusan Allah.

Saat itu shalat Jum’at didahulukan dari khutbah, seperti shalat Ied. Engkau jadi imam berdiri di depan para sahabatmu di masjidmu yang penuh cahaya ilahi. Engkau pimpin mereka menghadap Allah di tengah terik mentari. Shalat Jum’at ini dijadikan sebagai pengganti shalat zuhur. Selesai shalat, engkau berdiri duhai manusia teragung dalam sejarah peradaban manusia. Engkau hadapkan wajahmu di depan para sahabatmu. Dan mulailah engkau berkhutbah menyampaikan pesan-pesan ilahi untuk semua penghuni bumi.

Tiba-tiba datang iringan kafilah dagang milik Dihyah Ibn Khalifah. Dihyah berhenti tepat di depan masjid. Ia tabuh genderang untuk memberitahukan kedatangannya. Pada masa itu, iringan kafilah yang membawa aneka ragam barang sangatlah dinanti penduduk Madinah. Kafilah itu membawa dan menjual berbagai barang dari pelosok negeri.

Para sahabat di dalam masjid yang tengah mendengarkan khutbahmu, duhai Rasul, mulai gelisah. Mereka ingin segera keluar masjid dan berburu barang dagangan yang dijajakan Dihyah. Mereka tidak ingin terlambat atau keduluan yang lain, karena boleh jadi stok barang terbatas dan barang yang mereka cari sudah diambil yang lain. Di tengah kegelisahan antara terus duduk mendengarkan khutbahmu atau keluar menemui kafilah, tiba-tiba seorang lelaki dari rombongan kafilah memasuki masjid dan mengabarkan bahwa jual beli siap dimulai.

Duh Gusti….

Maka berhamburanlah para sahabat meninggalkan dirimu, wahai Rasul, pancaran sinar di wajahmu, senyum ramah dan menawan darimu, kalah dengan godaan duniawi saat itu. Tak mereka hiraukan lagi utusan Allah yang tengah berdiri menyampaikan pesan dari langit. Tak mereka acuhkan lagi lelaki mulia yang telah membawa mereka dari kegelapan menuju cahaya. Tak mereka pedulikan lagi orang yang terkasih yang berjuang bersama mereka dengan darah dan air mata. Suara genderang kafilah, barang yang dijajakan, dan keinginan mereka untuk membeli barang yang dibutuhkan lebih kuat dibanding dorongan terus menyimak pesan langit untuk mereka.

Mungkin pikir mereka, Dihyah dan kafilahnya belum tentu datang 3 bulan sekali, sementara dirimu Ya Rasul, kan masih bisa berkhutbah minggu depan. Bukankah sholat jum’at sudah selesai, dan tinggal khutbah saja, mungkin tak mengapa kami beranjak pergi. Atau mungkin mereka berpikir, bukankah engkau utusan Allah yang amat pemaaf dan welas asih kepada para sahabatmu, tentu engkau akan maklum melihat tingkah laku kami. Atau boleh jadi, mereka menduga engkau pun akan turut keluar bergabung bersama mereka berburu barang-barang bagus.

Tapi tidak! Engkau masih berdiri meneruskan khutbahmu, meski tinggal tersisa 12 orang yang tetap duduk setia di dalam masjid. Iman mereka tidak goyah dengan suara genderang kafilah Dihyah. Abu Bakar dan Umar termasuk dalam 12 orang yang tetap di dalam masjid.

Ijinkan aku menyelami perasaanmu wahai Rasul….
Apa yang baginda rasakan saat itu? Merasa dikhianati kah? Merasa tidak dianggap?
Genggam tanganku duhai Rasul….bisikkan padaku apa yang baginda rasakan.

Ku dengar sebuah tanya: “Jikalau kamu berada di sana, apakah kamu akan termasuk mereka yang segera berlari keluar berburu barang dagangan, atau kamu akan tetap duduk bersama keduabelas sahabatku?” Air mataku pun menetes mendengar pertanyaan yang menusuk kalbu.

Keduabelas sahabatmu saat itu di masjidmu yang penuh cahaya mendengar bibirmu berucap: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan­Nya, seandainya kalian semua terpengaruh hingga tiada seorang pun dari kalian yang tersisa, niscaya lembah ini akan mengalirkan api membakar kalian semua.”

Mohon ampun, Duh Gusti….

Keduabelas orang yang tetap duduk dan kehilangan kesempatan untuk ikut berburu dagangan bukan saja telah bertahan dengan setia mereka kepadamu, tapi mereka juga telah menyelematkan kawan-kawan mereka yang tengah berkerumun di luar masjid meninggalkan khutbah dirimu. Untung saja masih ada 12 orang yang setia duduk di dalam masjid sehingga azab tak jadi turun.

Oh Muhammadku, kekasihku
Apakah karena kejadian ini engkau, bi idznillah, mengubah aturan khutbah jum’at? Engkau dahulukan khutbah jum’at, baru sholat, seperti yang sekarang kami praktekkan. Inikah alasanmu agar kejadian ini tidak terulang lagi? Inikah caramu menahan agar azab allah tidak turun kepada mereka yang masih goyah imannya?

Allah pun menyinggung peristiwa ini dengan firmanNya (Qs 62:11): “Dan apabila mereka melihat perniagaan atau permainan, mereka bubar untuk menuju kepadanya dan mereka tinggalkan kamu sedang berdiri (berkhotbah). Katakanlah, “Apa yang di sisi Allah adalah lebih baik daripada permainan dan perniagaan, ” dan Allah Sebaik-baik Pemberi rezeki.

Duh Gusti….
Bukankah kami masih sering meninggalkan ajaran Rasul demi berburu kemewahan duniawi? Bukankah kami segera bergerak berebutan mengais-ngais sampah perdaban dunia dan berpaling dari pesan-pesan langit? Bukankah telinga kami lebih mudah tergoda genderang berbagai diskon dan sale ketimbang kami duduk di dalam masjidMu? Lihatlah sebentar lagi Ramadan tiba, dan kami segera berburu kafilah dagang ketimbang menyimak pesan-pesan ilahi. Sebentar lagi, kami akan gelisah dalam bulan suci ini bukan karena belum meningkatnya kualitas ibadah kami tapi belum terbelinya berbagai kebutuhan rumah tangga kami.

Ya Rasul,
Doakan kami agar di bulan suci yang akan segera datang ini kami berada dalam jamaah 12 sahabatmu yang tetap bertahan mendengar pesan-pesan langit: “apa yang di sisi Allah lebih baik daripada permainan dan perniagaaan!

Shollu ‘alan Nabi!

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen