You are here:

Namaku Ahmad, dan Aku Santrinya Kiai Syafi’i

Namaku Ahmad. Bapakku bernama Muhammad, yang meninggal disaat aku masih kecil. Kakekku seorang ulama bernama Hanbal. Sepeninggal ayahku, aku dididik dalam kasih sayang ibuku, yang begitu ingin anaknya belajar ilmu keislaman meneruskan langkah sang kakek.

Sebagai anak yatim, aku hidup menderita. Penghasilan tetap ibuku adalah kebun yang tidak luas peninggalan ayahku. Aku memiliki sebuah tempat yang biasa dipergunakan untuk merajut/menenun pakaian peninggalan ayahku. Alat itu aku sewakan dan dari situ aku mengambil upah sewaannya. Kehidupan yang serba terbatas mengajarkanku untuk tekun belajar. Kawan sepermainanku mengingatku sebagai anak yang kuat hafalan dan cerdas.

Aku menjadi santri seorang ulama ternama bernama Muhammad bin Idris al-Syafi’i. Kiaiku ini seorang yang mulia, memiliki sanad keilmuan dari para ulama di Hijaz dan Kufah. Aku tahu Pak Kiai sangat memperhatikan dan menyayangiku. Beliau mengetahui bahwa aku mondar-mandir ke Yaman untuk belajar Hadits dari Syekh Abdurrazaq bin Hammam. Guruku prihatin dengan kondisiku yang serba kekurangan, lantas menawariku untuk menjadi seorang Hakim di Yaman. Saat itu guruku memang dekat dengan Khalifah. Namun aku menolak tawaran itu, meski berulangkali sang kiai mendesakku. Aku merasa aku memang tidak cocok bekerja di pemerintahan.

Kiaiku sangat terbuka dengan berbagai pandangan termasuk dari para santrinya. Kiaiku sangat hebat dalam menggunakan Qiyas, tapi aku sangat berhati-hati dalam menggunakan Qiyas. Aku mendahulukan nash di atas fatwa sahabat. Atas dasar ini maka aku berpendapat iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil adalah dengan melahirkan, sejalan dengan nash hadis yang menyatakan hal tersebut. Dalam hal ini aku tidak mengikuti fatwa Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa iddah wanita hamil yang ditinggal mati oleh suaminya adalah masa yang terpanjang antara 4 bulan 10 hari dan melahirkan. Aku juga memilih untuk mendahulukan hadis dhaif ketimbang melakukan Qiyas.

Banyak yang bilang aku lebih kaku dalam berijtihad ketimbang Kiaiku yang merupakan mbah-nya ushul al-fiqh. Namun santri yang lain, Dawud lebih kaku lagi. Argumentasi Kiai Syafi’i menolak Istihsannya Kiai Abu Hanifah, seorang maha guru dari Kufah, menurut Dawud bisa direformulasikan untuk dipakai menolak Qiyasnya Kiaiku. Ah Dawud memang terlalu zahir memahami nash sehingga meski awalnya ia pengikut setia mazhab Kiai Syafi’i kelak ia mendirikan mazhab sendiri yang dikenal sebagai mazhab Zhahiri.

Berbeda dengan Kiaiku yang menulis kitab fiqh al-Umm, aku tidak menulis kitab fiqih. Yang ada adalah catatan pribadiku saja yang tidak untuk disebarluaskan. Itu sebabnya sebagian ulama ‘menyerang’ ku dengan mempertanyakan kepakaranku dalam bidang fiqh. Aku memiliki kitab kumpulan hadis yang terkenal dengan nama Musnad Ahmad. Tapi lagi-lagi para pembenciku ‘menyerang’ dengan mengatakan kitab hadis ku kalah berkelas dengan kitab hadis utama seperti Sahih Bukhari dan Sahih Muslim. Jadi, para pembenciku mengatakan aku tidak layak dianggap sebagai mujtahid dan juga tidak layak disebut sebagai muhaddits. Tapi aku memang tidak mencari popularitas dan pengakuan dari mereka. Aku hanya mengajar dan berkarya, dan biarlah Allah yang menilai diriku ini.

Kedua putraku belajar dariku dan membantu menyebarkan pandanganku. Putraku yang bernama Shalih adalah ahli fiqh yang kemudian diangkat menjadi hakim. Lewat keputusannya mazhabku mulai berkembang luas. Demikian juga putraku yang bernama Abdullah. Berbeda dengan Shalih, Abdullah mewarisi ilmuku dalam bidang Hadits. Selain itu aku juga memiliki para santri yang kemudian menjadi ulama besar pada masanya, seperti Abu Bakar al-Atsram, Abdul Malik al-Maimuni, Abu Bakaral-Marwazi, Ibrahim bin Ishaq al-Harbi dan Abu Bakar al-Khallal.

Namun sayangnya, mazhabku ini termasuk ‘junior’ yang datang setelah ketiga mazhab sebelumnya (Hanafi, Maliki, Syafi’i) tersebar dan berkembang di negeri-negeri Islam. Iraq didominir oleh mazhab Hanafi, demikian juga di Mesir, disamping Syafi’i. Di Marokko dan Andalus/Spanyol mazhab Maliki.

Disamping itu, mazhabku dianggap yang paling kaku dibanding ketiga mazhab lainnya. Bahkan sejumlah pengikutku fanatik buta akan pendapatku dan tidak segan-segan memaksakan mazhabku kepada kaum muslimin dengan dalih amar ma’ruf nahi munkar. Bila mereka temukan minuman keras di jalanan maka mereka hancurkan. Bila mereka menemukan wanita menyanyi maka mereka pukuli dan mereka hancurkan alat-alatnya. Bila mereka melihat wanita bergandengan/berduaan dengan laki-laki di jalanan maka mereka akan menanyakan, siapa kawannya itu? Apakah telah diikat tali pernikahan ataukah belum? Bila ketahuan bahwa kawannya itu orang lain (bukan suami istri atau ada hubungan mahram), maka langsung mereka pukuli dan mereka seret ke kantor polisi, dan mereka mengatakan bahwa keduanya telah berbuat cabul. Maka gemparlah Baghdad waktu itu. Beberapa hal inilah yang menyebabkan orang-orang awam/masyarakat umum pada lari dari mazhab Hanbali, sehingga hampir di setiap negeri Islam tidak banyak pengikutnya.

Kini para pengikutku di Saudi Arabia juga membikin heboh dunia Islam dengan klaim mereka atas ajaran salafi, seolah hanya merekalah yang paling benar dan paling suci. Mereka tidak mau disebut dengan wahabi, tapi mereka dengan enteng menggelari kelompok lain dengan berbagai label seperti quthbiyah, hizbiyah atau sururiyah. Mereka boleh jadi belajar ilmu ulama salaf tapi sayang mereka tidak mewarisi akhlak para ulama salaf. Aku sendiri tidak pernah mengklaim pendapatku paling benar. Mayoritas umat Islam di Indonesia adalah pengikut mazhab kiaiku, yaitu mazhab Syafi’i. Bagaimana mungkin kini para pengikutku terus mencerca dan menganggap sesat para pengikut kiaiku? Apa yang akan aku jawab saat kelak bertemu dengan Kiaiku Astaghfirullah.

Namaku Ahmad. Lengkapnya Ahmad bin Hanbal. Akulah tokoh utama dalam mazhab Hanbali. Aku wafat tahun 855 di Baghdad.

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen