Memulai menulis Tafsir adalah bagaikan memenuhi jamuan ilahi. Begitu nikmatnya hingga ada sejumlah ulama yang tak sempat menyelesaikannya. Mereka keburu dipanggil oleh Allah Swt.
Kisah pertama
Kita mulai kisah pertama dengan seorang ulama besar bermazhab Syafi’i. Namanya Jalaluddin Mahalli. Ahli fiqh dan ushul al-Fiqh dari Mesir ini memulai menulis tafsirnya dari pertengahan al-Qur’an, yaitu surat al-Kahfi sampai surat an-Nas. Lalu beliau menulis tafsir surat al-Fatihah. Beliau wafat tahun 1459, tanpa sempat menyelesaikan dari surat al-Baqarah sampai al-Isra.
Enam tahun kemudian, seorang muridnya yang bernama Jalaluddin al-Suyuthi, melanjutkan penulisan tafsir sang guru. Dengan mengikuti corak dan pendekatan yang sama, beliau menulis tafsir surat al-baqarah hingga surat al-Isra. Kerja lanjutan ini diselesaikan dalam 40 hari. Sejak itu dunia Islam mengenal kitab tafsir dua Jalal, yaitu tafsir jalalain. Ini kitab tafsir yang sangat populer di dunia pesantren.
Kisah kedua
Syekh Muhammad Abduh memberikan kuliah Tafsirnya di Mesir. Muridnya yang bernama Syekh Rasyid Ridha mengumpulkan catatan tersebut dan mengusulkan untuk menerbitkannya dalam surat kabar. Semula sang guru menolak, namun akhirnya menyetujui. Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa ayat 125 kemudian beliau wafat, dan Rasyid Ridha selanjutnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an sendirian sampai dengan ayat 51 surah Yusuf. Rasyid Ridha meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil pada tahun 1935. Tafsir al-Manar yang merupakan kolaborasi guru dan murid ini terhenti pada jilid 12. Dan tidak ada yang menyelesaikannya sampai sekarang.
Kisah ketiga
Muhammad Abu Zahrah seorang ulama terkemuka dari Mesir. Banyak sekali menulis berbagai kitab yang dijadikan rujukan para pelajar dan mahasiswa. Beliau menulis kitab Ushul al-Fiqh, sejarah mazhab dan biografi sejumlah imam mazhab. Yang tidak banyak dibahas adalah beliau juga menulis kitab Tafsir. Sayang sebelum sempat menyelesaikannya beliau keburu wafat. Beliau wafat saat memegang pena tengah menulis tafsir surat al-Naml ayat 19. Tafsirnya kemudian diterbitkan dengan judul Zahrat at-Tafasir sebanyak 10 jilid. Belum ada yang meneruskan beliau menyelesaikan kitab tafsir ini.
Para ulama di atas telah berupaya mencurahkan waktu, tenaga dan pikiran mereka untuk menjelaskan kandungan ayat al-Qur’an. Kita sekarang memiliki banyak sekali menu hidangan ayat ilahi dari berbagai kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama.
Keragaman penafsiran menjadi sebuah keniscayaan. Semakin banyak kitab tafsir yang kita baca akan semakin dalam kita memahami ayat ilahi. Semakin luas kajian kita, semakin kita tak mudah terpuaskan hanya dengan membaca satu kitab tafsir. Sayang saat ini banyak kalangan yang hanya mau mengikuti satu penafsiran saja dan dengan enteng menyalahkan penafsiran ulama lainnya.
Tafsir memang tidak akan pernah selesai. Akan selalu muncul penafsiran baru, dari kitab tafsir baru yang ditulis oleh para mufassir generasi berikutnya. Bismillah…
Tabik,
Nadirsyah Hosen