Saya diminta oleh sahabat saya Gus Shofiyullah Muzammil untuk ikut menulis kenangan tentang Abah mertua beliau KH Dimyathi Romly yang belum lama ini wafat. Yai Dim adalah mursyid tarekat dan pengasuh pondok pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan Jombang. Saya tahu pasti yang akan menulis adalah para masyayikh dan tokoh nasional, dan saya merasa jauh dari pantas untuk menulis sosok kiai sepuh nan kharismatik yang dicintai semua pihak ini. Tapi Gus Shofi terus mendesak mengatakan ini permintaan keluarga besar. Saya akhirnya meminta ijin Allah, dan kemudian saya kirimkan tulisan di bawah ini.
Ternyata Gus Awis (M Afifuddin Dimyathi) yang merupakan putra Yai Dim mengatakan bahwa keluarga besar senang dengan tulisan saya ttg Yai Dim. Alhamdulillah. Tulisan saya bersama para tokoh lainnya akan dimasukkan dalam buku mengenang kiprah dan profil Yai Dim yang akan terbit akhir bulan depan. Gus Shofi mengijinkan saya mempostongnya di medsos sekaligus mempromosikan buku ini.
Dan ini tulisan saya:
Keberkahan dan Cinta Kiai Dimyathi Romly
“Tak dungakno santri Darul Ulum ilmune barokah. Tak dungakno santri Darul Ulum dicintai semua orang”.
Begitu doa dan sekaligus pesan Yai Dim, sang Mursyid, yang dilangitkan tembus ke Arasy ilahi. Apa gerangan maksud beliau? Ijinkan saya memberi syarh atas doa beliau di atas.
Pertama, soal keberkahan ilmu.
Ada suatu negeri yang tanahnya begitu subur dan kekayaan alamnya begitu makmur, namun penduduknya begitu asyik bedebat pada persoalan halal-haram belaka. Dari mulai bangun pagi beranjak dari kasur, terus kumur-kumur sampai pergi ke dapur dan makan bubur yang dibahas soal bid’ah, sedekah, konflik timur tengah, jilbab merah sampai soal bibir merekah.
Negeri itu dipenuhi dengan para ahli agama, dimana-mana selalu ada tempat untuk membelah ayat dan hadis dengan tak kenal lelah. Tapi anehnya di negeri itu para bedebah tetap bertambah. Di tv, radio, koran sampai media sosial para ahli agama disediakan panggung untuk berkhutbah, dan semakin banyak ayat dan hadis yang mengalir bak air bah, semakin merambah kepopuleran sang da’i hingga honornya pun sekali bicara melebihi honor para ilmuwan yang sibuk mengeja huruf, angka dan rumus demi membuat satu makalah, atau para Kiai yang tekun mengajarkan kitab kuning kepada para santri.
Rejeki anda kurang mujur, tanya sama Kanjeng Dimas. Bagaimana menyetop lumpur, tanya sama Aa Gatot. Masalah kubur, jangan lupa tanya sama Ustad Mansur. Ribut- ribut soal rumah tangga dan kasur, tanya sama ustad Guntur. Masalah politik bubur, juga dibahas oleh khatib yang ngelindur tanpa sadar jamaahnya asyik tidur.
Itulah negeri yang lebih menghormati masalah halal-haram ketimbang melahirkan para saintis. Produksi buku agama jauh melebihi buku sains. Pagi sore, siang malam dimana-mana ada ceramah, sementara ilmuwan terseok-seok mencari jawaban di balik debu tumpukan buku, atau sinar laser.
Di tengah kondisi seperti ini, Yai Dim malah mendoakan keberkahan ilmu. Beliau tidak mendoakan agar para santri menjadi orang terkenal, atau orang yang merasa paling pintar bisa menjawab semua persoalan, atau menjadi ustad seleb yang tampil di tv dan medsos. Yang beliau doakan adalah keberkahan ilmu. Subhanallah! Inilah kunci pertama dari yang beliau ajarkan kepada kita semua.
Di balik petikan doa “Rabbi Zidni ‘Ilman” (Tuhanku, tambahkan untukku ilmu pengetahuan), tersembunyi nilai-nilai dasar seorang ilmuwan, yaitu tidak pernah merasa cukup dengan apa yang diketahuinya, terbuka dengan gagasan dan ide baru, menerima kritik dan masukan serta selalu ingin mencari tambahan pengetahuan dari siapapun dan manapun. Siapa yang merasa kurang, maka akan Allah tambahkan. Siapa yang sudah merasa cukup, maka tidak akan dapat tambahan lagi, malah bisa jatuh pada kesombongan. Ilmuwan sejatinya harus selalu meneliti. Tugas ilmuwan untuk selalu memecahkan persoalan-persoalan baru dengan jawaban yang cerdas dan ber-nash.
Pada saat yang sama, Allah menjelaskan tanda-tanda keagunganNya, bukan hanya lewat ayat yang terwahyukan dalam kitab suci, namun juga apa yang terbentangkan di alam semesta. Kita diperintahkan untuk membaca tanda atau ayat tersebut. Sayang, banyak yang meributkan tanda baca ketimbang benar-benar membaca. Ada pula yang memaksa menjadikan caranya membaca sebagai satu-satunya bacaan yang sahih. Banyak pula yang sibuk mengeja huruf dan rumus dengan fasih ketimbang menggali makna ilmu.
Saya membaca keterangan Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya bahwa Syekh Abu al-Hasan mimpi bertemu Nabi SAW dan bertanya, “apa sebab Imam Syafi’i mendapatkan kedudukan mulia?” Rasul menjawab: “Imam Syafi’i akan masuk surga tanpa hisab karena berkah shalawat yang ditulisnya dalam kitab al-Risalah: wa shalli Allahumma ‘ala Muhammad wa ‘ala ali Muhammad kullama dzakarahu al-dzakiruna wa ghafala ‘an dzikirihil ghafiluna.” Ini contoh ulama yang ilmunya barakah dunia – akherat. Yai Dim mendoakan para santri untuk memiliki keberkahan ilmu, apapun ilmu yang dipelajari.
Kedua, soal dicintai semua orang.
Salah satu ciri orang yang ilmunya berkah adalah dicintai semua orang. Ini karena ilmunya bermanfaat. Dengan cara kita masing-masing, kita berusaha membalas cinta Tuhan kepada kita. Ada yang mengurung diri seharian dalam perpustakaan menelaah lembar demi lembar untuk kemudian menuliskannya dan berbagi untuk sesama; ada yang mengurung diri dalam khalwat bersamaNya melantunkan kalimat yang haq dan suci, sehingga cahaya keberkahan menyinari masyarakat sekitarnya; ada yang mengurung diri seharian di kantor, karena percaya bekerja adalah bagian dari ibadah; dan ada pula yang sibuk menyentuh hati mereka yang gundah, memberi makan perut yang lapar, memberi pakaian pada tubuh yang polos maupun memberi motivasi menggapai masa depan yang lebih baik agar mereka yang tengah berduka tidak berputus asa dari rahmatNya.
“Tuhan, cintaMu tak terbatas, meski kami sering lupa membalasnya. KasihMu menembus batas-batas praduga dan asumsi kami. Setiap cinta yang kami kirimkan untukMu, selalu Kau pantulkan kembali untuk kami agar kami terus bisa berkhidmat pada sesama hambaMu, sebagai mansifestasi cinta kepadaMu”.
Inilah kunci kedua yang diajarkan Yai Dim lewat doanya di atas: cinta. Ini sesuai dengan do’a yang diajarkan Rasulullah SAW. Allahumma inni as aluka hubbak, wa hubba man yuhibbuk, wa hubba kulli ‘amalin yuqarribuna ila hubbika.
Ada orang yang menjaga dzikir dan wiridnya. Namun kita tidak melihat orang tersebut memiliki berbagai karamah atau tanda-tanda sebagai orang arifin. Akan tetapi Ibn Athailah dalam al-Hikam menasehati kita untuk tidak meremehkan orang tersebut karena kita tidak pernah tahu apa yang telah Allah anugerahkan kepadanya.
Ada pula golongan kedua yaitu orang yang berkhidmat kepada Allah –apapun profesinya. Ada yang berkhidmat lewat ilmunya, ada yang mengabdi pada Allah lewat tenaganya, hartanya, bahkan ada pula yang mengorbankan dirinya. Semuanya berkhidmat di jalan Allah.
Ada pula golongan yang Allah khususkan yaitu mereka yang mencintaiNya. Mereka yang sudah tidak menghiraukan keadaan dirinya demi mencintai Allah SWT. Kesenangan dan keinginan diri mereka telah hilang dalam mahabbah denganNya. Merekalah para tetamu di rumah Allah yang di dalamnya tidak ada apapun kecuali Allah sendiri. Merekalah yang menikmati jamuan ilahi. Merekalah para kekasih Allah.
Ibn Athailah kemudian mengingatkan kita lagi dengan mengutip QS al-Isra ayat 20 bahwa semua golongan ini — baik mereka yang senantiasa berdzikir, mereka yang berkhidmat dan mereka yang mencintaiNya — masing-masing akan mendapat karunia Allah yang tidak terbatas.
Apa yang dijelaskan Ibn Athaillah di atas disederhanakan Kiai Dimyathi Romly dalam doa beliau. Yai Dim telah mengajarkan kepada kita dua kunci yang begitu sederhana tapi amat sangat dalam: barakah dan cinta.
Sebagai Mursyid yang turun langsung ke dalam dunia politik dan pendidikan, beliau terus menebar keberkahan dan cinta kepada semua yang ditemuinya, dimanapun beliau jumpai. Beliau bukan sosok sufi yang tidak terjangkau umat. Beliau bukan sosok Kiai yang ditakuti. Beliau memandang umat dengan pandangan cinta. Beliau memantulkan keberkahan dari Allah ke penjuru dunia. Kepergian beliau adalah sebuah duka. Namun keberkahan dan cinta –dua kunci yang beliau ajarkan harus terus kita gelorakan. Al-Fatihah!
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama Australia – New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School