You are here:

Begitu Pentingkah Status dan Kedudukan Itu?

Bermula dari seorang kawan yang menyarankan agar saya membubuhi keterangan ttg diri saya di akhir tulisan saya. “Soalnya saat saya fwd ke kawan2 atau group WA mereka suka nanya sampeyan itu siapa?”

Baiklah, agar kawan saya itu tidak ribet harus menjelaskan status saya, maka saya tulis di akhir tulisan amanah yg saya terima sejak 11 tahun lalu sbg Rais Syuriah PCI NU Australia – New Zealand.

Ada kawan lain yang kemudian kirim mesej: “mohon maaf tulisan2 anda itu bagus dan saya suka fwd, tapi saya minta ijin utk dihapus keterangan posisi anda di NU karena banyak yang langsung alergi dan gak mau baca isi tulisannya begitu tahu ini tulisan orang NU”

Maka kemudian saya ganti dengan tulisan status pekerjaan saya yaitu Monash Law School.

Selesai kah masalah? tidak juga 🙂

Saat saya menulis dan memposting foto kitab kuning, ada pembaca yang komen: “memangnya situ sudah berapa lama nyantri kok berani2 nya pasang foto kitab kuning?” Waduhhh….gara2 pasang status dari kampus barat, saya malah diragukan ke-santri-annya.

Seorang kawan yang baik hati ikut ‘menegur’ saya tapi dg alasan berbeda: “kenapa toh belakangan ini gak pernah menyebut posisi Rais Syuriah lagi, apa masih kecewa dg ribut2 pasca muktamar Jombang? atau NU itu kalah keren sama Monash?” Saya jadi garuk-garuk kepala….

Kemudian saya kembali pasang Rais Syuriah NU Australia-New Zealand. Eh ada lagi yang komen: “pantas saja pikirannya liberal dan sekuler, ternyata muridnya orientalis. Bukannya belajar di Mekkah dan Madinah bersama para ulama ternama, malah tinggal di negeri kafir. Gak malu lagi pakai bawa2 nama NU!”

Buat para santri di fesbuk mereka berbangga ada orang NU yang bisa mengajar di kampus top kelas dunia. Kebanggaan ini penting karena bukan saja selama ini kaum sarungan dicemooh ndeso tapi juga ini bisa menginspirasi para santri yg lain untuk menembus dunia akademik internasional. Tapi bagi yang anti dengan NU, mereka jadikan ini celah untuk menghantam.

Ada kawan yang bilang: “Gus, mbok ya dipakai gelar KH di depan nama. Kan sudah Rais Syuriah, sekalian diceritakan silsilah dan sanad kiai serta ulama yang njenengan sudah pernah belajar biar mereka tahu sebelum ke barat, njenengan itu sudah ngelotok ilmu keagamaannya”.

Ah gak usah….biarin aja deh. Lha saya memang gak pernah mengaku Gus atau Kiai atau apalah….itu orang lain yang memanggil saya. Kapasitas saya belum ada seujung kuku para ulama kita. Saya malah gak keberatan dipanggil langsung nama saya: Nadir –kesannya selalu muda kan hehehe Karena memang selama ini saya cuma tulis di fb nama saya Nadirsyah Hosen. Gak ada embel2 lainnya.

Ada lagi yang menyergah saya: “apa anda ini memang dulu belajarnya hal-hal yang kontroversi terus yah?”

Perkara yang dia anggap kontroversi itu sebenarnya sudah dibahas dalam kitab klasik, dan saya hanya mengutip dan menyajikan ulang di sini. Mereka yang akrab dg kitab klasik gak akan kagetan dg apa yg saya posting. Tapi itulah masalahnya, berkali-kali saya tidak hanya mencantumkan rujukan saya bahkan teks asli arabnya pun saya cantumkan, tapi memang sebagian kawan di medsos tidak pasang niat untuk saling belajar tapi hanya untuk membantah dan mencari-cari kesalahan semata.

Ada lagi yang menemukan “kesalahan” saya dengan searching di google bahwa saya pernah menulis di website JIL. Maka tanpa membahas apa yang saya tulis di website tsb serta merta mereka jadikan ini untuk memberi label “liberal” dan menolak semua hal dari saya. Padahal kalau mereka mau membaca tulisan saya yang dimuat di website JIL mereka akan menemukan hal yang sama: saya selalu mengutip khazanah klasik keislaman. Lantas dimana persoalannya? Liberalnya dimana? Imam Nawawi, Ibn Katsir, al-Ghazali dan al-Mawardi atau al-Thabary itu orang JIL kah?

Kalau searchingnya diteruskan mereka akan mendapati bahwa tulisan/berita ttg saya juga dimuat di website keislaman lainnya, bahkan MUI dan Kemenag pun memuatnya. Saya bahkan tidak tahu lagi website mana saja yang memuatnya karena terlalu banyak yang minta ijin maupun yang tidak minta ijin untuk memuatnya.

Kawan yang lain bilang: “itu para komentator sampai mencaci maki dan ada yang nanya ‘ada yang tahu gak siapa sebenarnya nadirsyah hosen ini’ itu gara2 antum gak pernah tulis gelar akademik antum yang berderet itu. Jadi mereka pada gak hormat.”

Saya senyum-senyum sendiri: “lha wong saya ini sudah berkali-kali dibilang profesor otak korslet atau profesor gila dan ngawur oleh para komentator. Jadi mau pasang gelar apapun ya tetap saja gak ngaruh buat mereka. Malah mereka akan semakin bersemangat menghujat. Asyik toh bisa bebas goblok-goblokin dosen Monash University hehehehe”

Di sinilah saatnya kita menerapkan pelajaran sabar dan nilai-nilai akhlak yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Seperti yang di-ilustrasikan dalam gambar: bertahun2 belajar khazanah Islam, tapi ujungnya kita harus bersabar menghadapi bantahan dan caci maki mereka yang tidak tahu bahwa dirinya itu tidak tahu (jahil murakkab).

Belakangan ada lagi komentator yg bilang: “karena anda dosen ya saya gak akan tawadhu dan menghormati anda, kecuali anda seorang kiai.”

Entah sejak kapan ada aturan akhlak: boleh kurang ajar sama dosen dan hanya hormat sama kiai. Setahu saya Nabi kita mengajarkan untuk menjaga akhlak mulia dan menghormati orang lain, sekalipun posisinya orang kecil atau di bawah kita.

Kawan-kawan semua….
Kenapa kita begitu sibuk membahas sosok penulis, ketimbang fokus dengan apa yang saya tuliskan? Kenapa embel2 atau atribut kegamaan atau akademik itu lebih penting ketimbang argumen dan rujukan yang saya gunakan dalam tulisan saya? Katanya simak apa yg dibicarakan bukan lihat siapa yang bicara?

Kenapa kita tidak mau menghormati orang lain kalau dia bukan dari organisasi yang sama dg kita, atau tidak mencantumkan gelar akademik atau atribut ke-ulama-an? ada apa dengan kita? begitu gila hormat, gila gelar dan gila pencitraan kah kita ini?

Kenapa kita tidak belajar saling menghormati atas dasar kemanusiaan, dimana pada setiap diri kita telah bersemayam ruh suci dari Allah. Tidakkah itu cukup sebagI alasan untuk kita berdiskusi dengan santun, fokus pada topik diskusi, ketimbang sibuk memberi label buruk, mencaci atau merendahkan orang lain?

Saya memang harus belajar lebih banyak lagi agar semakin banyak yang bisa saya bagikan lewat tulisan-tulisan saya. Saya gak ambil pusing dg komentator yg selalu negatif. Tidak terbang karena pujian, dan tidak tumbang karena cercaan.

Menulis adalah cara yang paling efektif buat saya belajar dan terus belajar. Tolong temani saya dalam proses pembelajaran ini. Mari kita lanjutkan diskusi kita….bi idznillah!

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen