You are here:

Berpikir Jernih Sebelum Mengambil Keputusan

Rasulullah SAW bersabda “janganlah seseorang itu memutuskan (perkara) antara dua orang (yang bersengketa) sedangkan dia dalam keadaan marah” (HR Muttafaqun ’alaih).

Hadis di atas dipahami para ulama dalam konteks keputusan seorang hakim. Tentu ada alasan tersendiri kenapa hakim dilarang memutus perkara dalam kondisi emosi. Hidup-mati, untung-rugi, salah-benar di tangan hakim. Keadilan bisa lenyap kalau hakim semata-mata bertumpu pada perasaan bukan pada peraturan.

Namun sebenarnya siapapun juga bila dalam kondisi marah atau panik maka akalnya terselimuti emosi yang dapat mempengaruhi kapasitas, kapabilitas, dan profesionalitas dalam mengambil keputusan, yang bisa berdampak luas dan memiliki konsekuensi panjang. Keruhnya akal pikiran juga biasanya berdampak pada buramnya hati kita.

Imam Al-Syafi’i menjelaskan dalam kitabnya al-Umm (jilid 6, halaman 199):

[aswaja_translation]”marah dapat memperkeruh akal dan pemahaman. Ini artinya kondisi apa saja yang dapat memperkeruh akal dan pemahaman maka pada saat itu seseorang tidak boleh memutuskan suatu perkara. Jika ia merasakan sakit, lapar, cemas, sedih ataupun perasaan senang yang berlebihan akan mempengaruhi pikiran. Atau pada saat kondisi sedang enggan memberi keputusan. Mengantuk dapat menyelimuti hati sebagaimana orang mabuk. Oleh karena itu orang yang sedang mengantuk, orang yang hatinya sedang galau, atau sedang sakit tidak boleh memutuskan suatu perkara karena hati dan pikirannya sedang tidak jernih.”[/aswaja_translation]

Orang yang sedang emosi biasanya akan menurutkan perasaannya baik positif maupun negatif sehingga keputusan yang diambil tidak lagi obyektif. Belakangan kita akan menyesali keputusan kita yang dilakukan saat pikiran kita keruh.

Dalam Hadits riwayat Imam Bukhari diceritakan Jariyah bin Qudamah meminta wasiat kepada Nabi dengan sebuah wasiat yang singkat dan padat yang mengumpulkan berbagai perkara kebaikan, agar ia dapat menghafalnya dan mengamalkannya. Maka Nabi berwasiat kepadanya agar ia tidak mudah marah. Kemudian ia mengulangi permintaannya itu berulang-ulang, sedang Nabi tetap memberikan jawaban yang sama. Ini menunjukkan bahwa marah adalah pokok berbagai kejahatan, dan menahan diri darinya adalah pokok segala kebaikan.

Ibadah puasa melatih kita untuk mengontrol emosi. Bahkan dianjurkan kita menjawab, “saya sedang berpuasa” untuk tidak meladeni pihak yang sedang mengajak bertengkar. Puasa melatih kita untuk tetap jernih berpikir dan bening dalam mengambil keputusan meski perut lapar, kerongkongan kering dan tubuh lemas. Kalau dalam kondisi ‘tidak normal’ saja kita bisa menahan diri, tentu efeknya saat kondisi ‘normal’ kita bisa lebih mengontrol diri. Insya Allah!

Tabik,

Nadirsyah Hosen