Dulu ada satu tokoh yang kemana-mana selalu cerita bahwa “Nadir bisa jadi dosen di Australia itu karena saya kasih dia doa khusus dan ternyata makbul”. Adalah selalu menjadi kebiasaan saya untuk meminta doa kepada siapapun karena saya percaya dengan kekuatan doa,
dan saya berkeyakinan bahwa kita tidak bisa semata-mata mengandalkan amal, kerja keras atau kemampuan kita. Saya tentu berterima kasih dan mendoakan balik semua pihak yang telah mendoakan saya. Jadi, banyak orang yang selalu saya mintakan doa. Tapi masalahnya doa siapa yang terkabul? Ini rahasia Allah, bukan wilayah manusia untuk mengklaim.
Hal di atas mungkin pernah juga dialami oleh kawan-kawan yang lain. Ada sejumlah pihak yang selalu merasa berjasa dan kemudian mengungkit-ungkit jasanya itu. “Kalau bukan saya….tidak bisa dia seperti itu.” Atau “Saya itu yang bantu dia sehingga bisa seperti sekarang…”. Kalimat-kalimat bernada menepuk dada itu sering kita dengar biasanya terucap dari mereka yang merasa berjasa, kemudian ingin jasanya tidak dilupakan, dan biasanya diucapkan dengan nada jumawa.
Godaan dan tipuan syetan itu memang halus. Perasaan lebih dari yang lain, yang telah membuat syetan terusir dari surga itu, ditularkan kepada kita dalam berbagai bentuk. Ada yang membanggakan amalannya. Ada yang terus mengungkit jasa dan kontribusinya. Biasanya setelah itu mereka punya ekspektasi untuk mendapat pengakuan akan jasa dan kontribusinya tersebut. Ketika jasanya seolah tidak diakui atau dilupakan, ia akan terus menyebut-nyebut jasanya itu agar orang lain tidak lupa mengakui atau bahkan membalasnya. Tidak jarang ia akan marah kalau orang lain seakan-akan melupakan betapa berjasanya ia pada mereka.
QS 2: 264 menyebutkan hal ini:
[aswaja_translation]”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu jadilah dia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. [/aswaja_translation]
Tafsir Ibn Katsir menyebutkan sejumlah riwayat bahwa mereka yang beramal dengan menyebut-nyebut amalannya itu ternasuk satu dari ketiga golongan yang Allah enggan memandang mereka kelak di hari akhir. Orang seperti itu menyangka orang lain akan melihat amalannya seperti melihat tanah di atas batu. Padahal bagi Allah amalan riya’ tersebut hilang tak berbekas seperti ditimpa hujan lebat. Boleh jadi dipandang hebat oleh orang lain, tapi tidak dipandang sama sekali oleh Allah. Na’udzubillah min Dzalik.
Kalau ada orang lain yang sudah anda tolong, namun melupakan jasa anda malah seakan-akan bersikap kurang ajar pada anda, itu adalah problem dia. Orang yang tidak tahu diri dan tak pandai berterima kasih tentu akan mendapat perhitungan tersendiri oleh Allah. Itu bukan wilayah kita untuk menilai atau menghakimi dia. Jangan pula kita sampai terpancing untuk kemudian mengungkit jasa atau kontribusi kita. Bila itu kita lakukan, maka kita rugi dua kali: hati kita panas membara dan amalan kita habis tak tersisa.
Lolos kita dari ujian riya’, kita memasuki ujian berikutnya: apakah kita tetap rela berbuat baik pada mereka yang telah melupakan kebaikan kita sebelumnya? Ujian Allah itu berlapis-lapis. Pada setiap stasiun ada ujiannya yang harus kita lewati untuk naik ke stasiun berikutnya. Ada yang diam saja tidak mau menyebut jasanya, tapi kemudian dia juga tidak mau menolong orang itu lagi. Dulu sudah kita tolong dan dia melupakan bahkan kurang ajar, sekarang saat dia jatuh kembali minta tolong pada kita. Haruskah kita menolongnya lagi?
Kalau kita tetap menolong dia maka kita berhasil melewati ujian bahwa beramal itu bukan ditentukan oleh reaksi orang lain kepada kita tapi semata-mata karena kita mencari ridha Allah. Setiap kesempatan berbuat baik adalah undangan dari Allah untuk kita. Betapa beruntungnya mereka yang mendapat undangan khusus dari Allah, dan betapa meruginya mereka yang menolak undangan Allah hanya karena reaksi orang lain. Ikhlas itu ujiannya memang berlapis-lapis. Tapi yakinlah ganjaran dari Allah juga akan berlapis-lapis untuk kita semua yang lolos ujian.
Tabik,
Nadirsyah Hosen