Jika di kerumunan pasar tiba-tiba ada yang berteriak “Coppeetttt” sambil menunjuk ke anda, bisa dibayangkan apa yang akan terjadi, Kerumunan akan serentak menghakimi anda, tanpa sempat lagi melakukan verifikasi: benarkan anda copetnya? atau yang lebih krusial lagi, benarkah dompet ibu di sebelah anda itu hilang karena dicopet atau ibu tersebut ketinggalan dompetnya di rumah.
Sayangnya skenario di atas juga terjadi dunia medsos. Meski sudah menggunakan smartphone tapi kita hakikatnya tidak lebih dari kerumunan di medsos: yang bersikap reaktif tanpa sempat melakukan verifikasi. Dalam bahasa agama, kita gagal melakukan tabayun terlebih dahulu sebelum bereaksi yang konsekuensinya bisa merugikan pihak lain.
Dalam sekali pencet di layar smartphone sejumlah ajaran akhlak yang diajarkan Nabi dilanggar seketika: harus tabayun, jangan ghibah, jangan mencari-cari kesalahan saudaramu, jangan memberi label atau panggilan yang buruk, jangan mudah mengkafirkan orang lain, jangan menuduh saudaramu, jangan merusak kehormatannya dengan mempermalukan di depan umum, jangan debat kusir, jangan bersikap kasar, jangan bersikap sombong, jangan menganggap dirimu suci, dan seterusnya.
Pada dasarnya berteriak “coppeettt” di pasar atau melabeli orang dengan berbagai panggilan yang buruk serta menuduh orang lain atau mencaci makinya adalah mekanisme pertahanan diri kita. Kita panik karena dompet kita tidak ada, dan serta merta menuduh orang di dekat kita. Kita kalah argumentasi dan tidak mampu membantah argumen orang lain, maka mekanisme pertahanan diri kita segera muncul: serang saja pribadi lawan diskusi kita. Diskusi di medsos menjadi sama riuh dan berisiknya seperti diskusi di pasar. Gayanya saja kita pakai smartphone saat diskusi padahal cara kita berkomunikasi masih berupa kerumunan yang saling berteriak dan memunculkan mekanisme pertahanan diri.
Kita juga cenderung mempercayai sesuatu yang memang kita ingin percayai. Kalau ada berita jelek atau berita baik tentang seorang tokoh, tanpa berpikir dua kali, kita langsung forward atau share berita tersebut, sesuai isi hati kita yang senang atau benci dengan tokoh tersebut. Jadi, yang menentukan itu bukan benar atau tidaknya isi berita tapi apakah kita senang atau benci dengan tokoh yang dibicarakan itu. Ini yang namanya bias.
Dalam bahasa ayat ilahi, kita diingatkan untuk bersikap adil meski terhadap kelompok atau orang yang tidak kita sukai. Dalam bahasa Pram novelis keren itu, kita diminta untuk adil sejak dalam pikiran, karena pikiran itu yang akan menentukan tindakan kita selanjutnya.
Anehnya lagi, kalau ada Kiai atau Guru Besar yang posting di medsos, banyak sekali yang tanya: “mana dalilnya? ada referensinya gak? itu ceritanya ada di kitab apa? itu hadisnya sahih enggak?”. Ada yang memang genuine bertanya untuk bisa membaca lebih lanjut, namun ada yang memang hendak mempersoalkan postingan tersebut. Tetapi kalau ada berita ‘menarik’ di medsos, mereka langsung forward atau share, gak peduli itu berita hoax atau sungguhan. Mereka tidak lagi bertanya: “ini bener gak sih?”
Kalau soal agama, sibuk nanya dalil, tapi kalau menyebar berita hoax, gak nanya lagi langsung share. Maka postingan agama yang mengajarkan kebaikan menjadi kalah cepat dengan postingan yang menghembuskan kebencian.
Intinya bukan soal dalil, tapi soal perasaan anda saja: senang atau benci. Meskipun didatangkan bukti 10 kitab tafsir lengkap dengan screenshot teks arab langsung, anda gak akan percaya. Tapi hanya dengan satu gambar meme yang mengolok-olok dan cocok dengan isi hati anda, maka anda langsung klik share, gak peduli apakah itu gambar editan atau asli. Mantranya di medsos: gak cocok, tanyakan dalilnya; kalau cocok gak usah pakai klarifikasi dan verifikasi, langsung sebar saja.
Dalam kerumunan, seringkali kita terpaksa harus membela diri menggunakan logika kerumunan yang sama. Kita harus lebih smart ketimbang smartphone kita. Tidak bisa polos dan lugu.
Di dalam cafe yang terlihat hampir penuh, seorang bapak mendekati meja dimana duduk seorang perempuan muda. Kursi sebelahnya kosong, maka dengan sopan bapak tersebut bertanya:
“Maaf, kursi ini kosong? Boleh saya duduk di sini?”
Tiba-tiba perempuan muda itu berteriak keras sehingga semua pengunjung mendengarnya dan segera melihat ke arah mereka berdua,
“Apa???? Bapak mencoba menawar saya? Dasar lelaki tua gak tahu diri! Kamu pikir saya perempuan murahan?!”
Merah padamlah muka si bapak itu. Di bawah tatapan pengunjung cafe, bapak itu kemudian berdiri di pojok menanti kursi kosong.
Setelah beberapa saat, perempuan muda itu bangkit dan mendekati bapak tua itu,
“Maaf Pak. Saya sedang belajar akting, Saya tidak bermaksud membuat Bapak malu”
Tiba-tiba Bapak itu berteriak kencang yang terdengar oleh semua pengunjung cafe:
“Apa?? Cuma seratus ribu per jam? Murrraah sekali harga anda! Dasar perempuan murahan? Saya gak mau!!!!”
Tabik,
Nadirsyah Hosen