You are here:

Batu Bata Terakhir

Nabi Muhammad mengajarkan kita akhlak yang mulia, salah satunya berupa kerendahan hati. Dalam Shahih Bukhari (Hadis Nomor 3271) diriwayatkan Nabi bersabda:

[aswaja_translation]”Perumpamaanku dan para Nabi sebelumku seperti seseorang yang membangun suatu rumah lalu dia membaguskannya dan memperindahnya kecuali ada satu labinah (tempat lubang batu bata yang tertinggal belum diselesaikan) yang berada di dinding samping rumah tersebut, lalu manusia mengelilinginya dan mereka terkagum-kagum sambil berkata; ‘Duh seandainya ada orang yang meletakkan labinah (batu bata) di tempatnya ini”. Beliau bersabda: “Maka akulah labinah itu dan aku adalah penutup para Nabi”.[/aswaja_translation]

(catatan: dalam redaksi Shahih Muslim, Hadis Nomor 4240 “Maka akulah yang meletakkan atau memasang bata itu, aku datang sebagai Nabi terakhir.”)

Sebagian ulama menjadikan Hadis ini sebagai dalil bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir. Saya menyetujuinya. Namun saya memahami ilustrasi yang Nabi berikan lebih dalam lagi. Sebagai Sayyidul Anbiya wal Mursalin, Nabi tidak menepuk dada dan menganggap dirinya lebih mulia dari para Nabi sebelum beliau. Beliau menganggap diri beliau tak ubahnya sebagai batu bata terakhir dalam sebuah rumah. Indah nian metafor yang Nabi gunakan.

Pertama, beliau tidak bilang bahwa beliaulah pondasi atau atap rumah itu untuk mengggambarkan pentingnya peranan beliau. Beliau hanya bagian kecil dari rumah yang sudah jadi. Tanpa ada batu bata terakhir rumah tetap berfungsi hanya saja kurang sempurna. Kehadiran beliau tidak lain menyempurnakan bangunan rumah yang sudah ada.

Kedua, beliau SAW tidak membuat rumah baru. Lewat metafor tersebut seolah hendak menegaskan ajaran yang beliau terima bukan untuk menegasikan ajaran Nabi sebelumnya; tapi justru membuat ‘rumah’ terasa lebih indah.

Ketiga, batu bata tidak ada artinya tanpa tumpukan batu bata sebelumnya. Para Nabi yang lain telah memberikan sumbangsih luar biasa bagi peradaban umat manusia. Nabi Muhammad hadir untuk melengkapi sumbangsih tersebut.

Keempat, Nabi Muhammad dan para Nabi sebelumnya seakan hidup bersama dalam rumah tersebut. Begitu juga umat pengikut para Nabi. Kita semua berada dalam rumah bersama. Untuk apa para Nabi membangun rumah kalau tidak untuk kita diami bersama-sama? Para Nabi tidak membangun rumah sendiri-sendiri. Ada pesan kerukunan yang kuat di sini.

Meskipun Nabi Muhammad telah meng-imami para Rasul dalam peristiwa Isra Mi’raj di bulan Rajab ini namun beliau tidak pernah mau dianggap lebih dari para Nabi sebelumnya. Inilah akhlak manusia teragung.

Dalam riwayat lain (Shahih Bukhari Hadis Nomor 3156) ada seorang Muslim yang bertengkar dengan Yahudi dimana masing-masing membanggakan Nabinya. Maka Rasul bersabda:

[aswaja_translation]”Janganlah kamu lebihkan aku terhadap Musa karena nanti saat seluruh manusia dimatikan dan akulah orang yang pertama kali dibangkitkan (dihidupkan) namun saat itu aku melihat Musa sedang berpegangan sangat kuat di sisi ‘Arsy. Aku tidak tahu apakah dia termasuk orang yang dimatikan lalu bangkit lebih dahulu daripadaku, atau dia termasuk diantara orang-orang yang dikecualikan (tidak dimatikan)”.[/aswaja_translation]

Meski Rasulullah telah Allah lebihkan dari para Nabi yang lain, namun sikap rendah hati beliau tidak mau dianggap lebih dari para Nabi yang lain.

Kawan,
Mari kita jaga dan rawat rumah bersama yang telah dibangun dan dibina oleh para Nabi. Mari kita tempatkan diri kita seperti batu bata terakhir, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad. Shallu ‘alan Nabi…

Tabik,

 

Nadirsyah Hosen