You are here:

Jalaluddin Rumi, sufi besar yang lahir pada 30 September 1207, dipercaya banyak orang tidak akan pernah menjadi Rumi yang kita kenal sekarang bila ia tidak pernah berjumpa dengan Syamsuddin Tabrizi. Diceritakan bahwa suatu hari Rumi mengajar di kelas sebagaimana biasanya. Tiba-tiba masuk seorang yang berpenampilan lusuh ke dalam kelas seraya mengajukan pertanyaan, “Siapa yang lebih agung: Abu Yazid al-Busthami atau Nabi Muhammad?”

Rumi, yang langsung merasakan energi tatapan mata sang penanya menembus jiwanya, menjawab, “Nabi Muhammad lebih agung!” Orang tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Syams, berkata lagi, “Mengapa Nabi Muhammad? Bukankah Nabi mengatakan, ‘Kami belum mengenal-Mu sebagaimana Engkau layak dikenal’, sementara Abu Yazid berseru, ‘Betapa agung kedudukanku; mahasuci dan mahatinggi diriku’?”

Rumi terdiam membisu. Ucapan Syams seakan-akan menunjukkan Abu Yazid, yang mengaku mengalami “persatuan” (al-ittihad) dengan Tuhan, lebih agung dibanding Nabi. Melihat Rumi terdiam, Syams memberitahu bahwa kehausan Abu Yazid akan Tuhan terpuaskan sesudah minum seteguk air makrifat, sementara Nabi Muhammad tak pernah terpuaskan, sebab beliau senantiasa haus akan pengetahuan ilahi lebih banyak lagi. Jadi, justru di sinilah keagungan Nabi Muhammad yang melebihi Abu Yazid.

Penjelasan Syams konon membuat Rumi jatuh, menangis dan tak sadarkan diri. Kita tak tahu apa yang dirasakan oleh Rumi saat itu, yang jelas sejak peristiwa itu Rumi berkhalwat bersama Syams selama tiga bulan. Rumi belajar kembali dari awal tentang Cinta Ilahi.

Kisah di atas menggambarkan betapa Tuhan itu amat dekat dengan kita–“lebih dekat dari urat leher kita”– namun sebenarnya pada saat yang sama ada jarak yang tak terhingga antara seorang hamba dengan Tuhannya. Allah itu sangat dekat namun ia pun sangat jauh pada saat yang bersamaan.

Ilustrasi berikut mungkin bisa menyederhanakan persoalan: Ketika kita lama tak bertemu dengan orang yang kita kasihi, di saat kita bertemu kembali kita peluk dia dengan segenap perasaan cinta dan rindu; seakan-akan kita adalah tubuh yang satu, hati kita menyatu dengan hatinya, hasrat dan kerinduan kita menyatu dengan hasrat dan kerinduannya jua. Namun, pada saat itu pula kita tetaplah kita dan kekasih kita tetaplah manusia yang lain. Begitulah, hamba tetaplah hamba; dan Allah tetaplah sebagai Tuhan kita.

Di sinilah lahir pengakuan Nabi Muhammad bahwa beliau belum mengenal Allah sebagaimana Allah layak dikenal. Pengakuan ini menunjukkan tidak pernah ada kata akhir dalam mendekati dan mengenal Tuhan. Tidak bisa seorang manusia mengklaim bahwa dia telah “bersatu” dengan Tuhan secara utuh, penuh.

Ketika seorang hamba telah mencapai satu maqam (kedudukan) di sisi Allah, sebenarnya ia baru saja hendak mencapai maqam yang lebih tinggi. Tidak ada maqam atau stasiun terakhir dalam berupaya mendekati Allah. Tidak ada kata final dalam memeluk Islam!

Di bulan Ramadhan ini kita dekati Allah dengan penuh harap. Kita tundukkan ego kita, kita tahan lapar dan dahaga demi untuk-Nya. Kita penuhi malam kita dengan ayat suci al-Qur’an dan shalat malam. Boleh jadi di penghujung Ramadhan “kelas” kita telah naik; maqam kita telah meningkat.

Selepas bulan ramadhan, di saat “pintu-pintu neraka di buka kembali”, di saat ikatan iblis telah dilepas kembali”, pada saat itulah kita menempuh ujian: apakah “kelas” kita akan turun lagi, atau semakin meningkat?

Pertanyaan Syams, yang kemudian menghilang secara misterius pada 1247, di atas telah mengajari kita bahwa kita sebaiknya tak pernah puas akan amal ibadah kita. Ramadhan sebentar lagi akan berlalu, puaskah kita hanya shalat malam di bulan ramadhan? Cukupkah bagi kita hanya menundukkan ego di bulan Ramadhan semata?

Seperti Rumi yang bersedia merajut kembali Cinta Ilahi dari awal, semoga kita masih bersedia mencari Cinta Ilahi selepas Ramadhan nanti.Seperti Nabi Muhammad, semoga kita tak pernah puas meminum “seteguk air ilahi”, di dalam Ramadhan; lebih-lebih di luar bulan Ramadhan.

Armidale, 20 Januari 1998