Dear all,
Obrolan kita beberapa hari ini dari “fahuwa mazhabi”-nya Imam Syafi’i sampai soal anti-mazhab membuat saya teringat akan debat klasik antara mereka yang memulai kajiannya dari “atas” dan mereka yang memulainya dari “bawah”. Yang saya maksud memulai dari “atas” adalah memulai kajian dengan menelaah al-Qur’an dan Hadis baru kemudian terus ke bawah. Sedangkan yang memulai dari “bawah” adalah mereka yang mengkaji opini para ulama yang terekam dalam kitab kuning terlebih dahulu, baru kemudian bergerak ke “atas” melihat nash.
Sewaktu saya memulai penelitian saya di Fakultas hukum, University of Wollongong, saya bertemu dengan pembimbing saya. Kebetulan beliau merupakan Dekan di fakultas hukum kami. Dia kira-kira berkata begini, “Mulailah penelitian kamu dengan membaca sumber sekunder; jangan memulai dari primary sources.”
Sumber utama yang dimaksud adalah teks UU dan/atau putusan hakim; sedangkan yang dimaksud dengan sumber sekunder diantaranya adalah artikel atau opini dan analisa para pakar tentang sumber utama. Paling tidak ada 3 alasan mengapa sang Professor memberi nasehat semacam itu:
Pertama, diperlukan kemampuan luar biasa utk bisa langsung memahami teks UU dan bunyi putusan hakim. UU tidak lahir begitu saja; ia melewati proses perdebatan yang panjang dimana unsur di luar hukum spt politik, ekonomi dan sosbud juga mempengaruhi proses pembahasan UU. Kalau kita baca penjelasan UU, sering kali hanya ditulis: cukup jelas; padahal menurut kita belum jelas.
Begitu juga putusan Hakim. Sejumlah ide, konsep ataupun istilah khusus yang dipakai untuk kasus yang sedang dibahas bukanlah sesuatu yang gampang dipahami. Apatah lagi teks putusan hakim biasanya panjang karena sekalian meresume jalannya persidangan. Karena kita tidak hadir dalam persidangan di parlemen dan di ruang pengadilan, kita hanya bisa “mereka-reka” apa maksud teks sebuah UU dan putusan pengadilan.
Kedua, diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk bisa memahami sumber utama. Ini karena kita terpaksa harus menelaah berlembar-lembar putusan hakim utk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam kasus itu. Apa lagi dalam tradisi Common Law dimana putusan hakim berkaitan erat dengan putusan-putusan sebelumnya (sampai puluhan dan ratusan tahun ke belakang). Memahami UU juga membutuhkan waktu yang panjang karena sejumlah pasal sebenarnya merupakan penyederhanaan atau pembahasaan dari teori dan gagasan yang ada. Diperlukan waktu yang tidak sedikit untuk bisa menemukan teori atau gagasan yang “terkandung” atau bahkan yang “terselip” di sana.
Ketiga, asas manfaat. Dengan mengkaji sumber kedua atau membaca analisa atau opini orang lain ttg UU dan putusan pengadilan kita bukan hanya menghemat kemampuan dan waktu tetapi juga tidak berprilaku “mubazir”. Kalau sudah ada yang meneliti soal itu, mengapa tidak kita baca dulu hasil analisanya? Kalau cocok, kita bisa kutip analisanya. Kalau tidak cocok, baca analisa yang lain.
Tradisi kutip-mengutip atau katakanlah mencantumkan footnote adalah sebuah tradisi ilmiah. Kita sering terpukau kalau membaca sebuah artikel di journal internasional yang footnotenya panjang-panjang dan kita menemukan banyak sekali rujukan yang tercantum di sana yang belum pernah kita ketahui sebelumnya. Mengakui bhw opini yang kita tulis merupakan “pinjaman” dari opini orang lain disebut sebagai kejujuran ilmiah. Di sebagian kalangan, lucunya, kalau kita mengutip fatwa ulama atau opini mazhab tertentu kita dianggap taqlid; dan itu dapat menuai kecaman bahkan pelecehan.
Lalu dimana “original”-nya sebuah penelitian kalau kita memulai dari analisa orang lain? Letak orisinalitas dalam penelitian bisa dalam bentuk metode dan bisa juga dalam bentuk hasil atau produk. Setelah membaca sekian banyak sumber sekunder kita jadi tahu metode apa yang sudah digunakan oleh mereka dan apa hasil yang telah mereka berikan. Kita tidak memulai penelitian dari nol (0). Dengan membaca analisa orang lain, kita bukan saja terinspirasi namun kita juga dapat menemukan wilayah atau bagian-bagian tertentu yang belum dibahas orang lain. Nah, wilayah yang belum tesentuh itulah yang akan kita kaji dan disitulah letak orisinalitasnya.
Kalau kita langsung meneliti dengan membaca primary sources, dikemudian hari kita akan terkejut kalau ternyata apa yang kita tulis sudah pernah dibahas orang 50 atau 100 tahun yang lalu. Ini karena kita mau memulainya dari “atas”; bukan dari “bawah”. Ini juga yang disebut dengan literatur review. Literatur review membantu kita utk menemukan original contribution dalam penelitian kita. Tanpa melakukan review kita tidak akan pernah tahu apakah kajian kita itu orisinil atau tidak. Dalam bahasa agama, tanpa mengetahui opini para imam terdahulu, kita tidak tahu dimana letak orisinilnya ijtihad kita. Jangan-jangan yang kita sebut-sebut sebagai pembaruan ternyata sudah difatwakan oleh Imam Haramain berabad-abad yang lalu. Atau yang kita sebut pembaruan ternyata hanya perpindahan opini dari Imam Syafi’i ke Imam Abu Hanifah.
Saya kebetulan dibesarkan oleh tradisi pengkajian yang memulai kajiannya dari “bawah” sehingga saya tidak kesulitan menjalankan saran pembimbing saya. Namun bukankah memulai kajian dari “bawah” juga mengandung resiko bahkan jebakan tertentu? Betul. Resiko yang paling besar adalah analisa atau opini yang kita baca itu “ngawur” atau terpengaruh oleh latar belakang si penulis yang dibesarkan dalam budaya tertentu. Apakah ini berarti kita akan hanyut terbawa pada opini mereka? Boleh jadi.
Tapi bukankah kalau para pakar saja bisa “ngawur” dalam memahami sumber utama, maka kita juga bisa “ngawur” dalam memahami UU dan/atau putusan hakim? Jadi resiko ngawurnya sama saja. Dan “kengawuran”, dalam batas-batas tertentu, memang diterima secara absah dalam dunia ilmiah. Kesalahan itu sangat mungkin terjadi. Dalam bahasa agama, ijtihadpun bisa salah dan ternyata tetap dapat pahala. Teori Newton ternyata salah; dan lahirlah teori Einstein. Opini Imam Malik boleh jadi salah, maka lahirlah Gus Ghofur yang bertugas meluruskannya 🙂
Masalah lainnya adalah: apakah kalau kita membaca opini Imam Ahmad bin Hanbal soal Haji maka kita akan sulit melepaskan dari faktor kesejarahan sang Imam Ahmad? Walhasil opini yang terpengaruh oleh situasi dan kondisi 10 abad yang lalu, misalnya, mau kita paksakan utk cocok dengan situasi saat ini. Tidakkah kita lebih baik langsung berijtihad spt para pakar (atau para imam mazhab) yang karyanya kita baca itu? Kalau mereka bisa langsung memahami UU dan putusan hakim (atau al-Qur’an dan Hadis) mengapa kita tidak mampu berbuat serupa?
Itulah sebabnya pembimbing saya menyarankan dengan kata “mulailah…”. Ini berarti kita jangan berhenti di fase literatur review saja. Kita jangan puas hanya membaca analisa para pakar (atau Fatawa-nya al-Subki dan Fatawa-nya Syaltout). Kita dituntut untuk kemudian mampu membuat analisa sendiri tanpa harus membuang analisa para pendahulu kita. Dalam bahasa pesantren: mempertahankan hal lama yang baik dan jika harus mengabil yang baru, maka haruslah yang lebih baik.
Terakhir, saya teringat beberapa tahun yang silam ketika saya mempertahankan skripsi saya di Ciputat. Penguji saya, Dr. Satria Effendi M. Zein (Allah Yarham) saat itu mengajukan pertanyaan akhir. “Apakah anda seorang mujtahid?” Saya terkejut dengan pertanyaan itu. Saya cukup mengenal ke-konservatif-an pakar usul al- fiqh ini. Saya khawatir itu pertanyaan jebakan. Lalu saya jawab, “Tidak Pak! Saya tidak mampu berijtihad, dan karenanya saya bukan seorang mujtahid” Pak Satria berkata, “kalau kamu saja tidak mengaku mujtahid, lantas siapa yang pantas disebut mujtahid dong?!”
Professor Huzaemah Tahido Yanggo (pembimbing skripsi saya) langsung tertawa dan nyeletuk, “kamu seorang mujtahid Nadir!”. Saya diam saja.
Belakangan saya baru sadar bhw pak Satria (dan ibu Huzaemah) hendak mengajarkan satu hal penting buat saya. Seakan-akan beliau ingin mengatakan: “Kalau kamu yang telah belajar di fakultas Syariah dan sebentar lagi akan dinyatakan lulus tidak berani mengaku seorang mujtahid, lantas siapa dong yang berhak disebut sebagai mujtahid?”
Well, seorang peneliti memang layak disebut mujtahid, meskipun ia memulai researchnya dengan mengkaji hasil ijtihad orang lain, karena saya yakin seorang Imam Syafi’i tidak bisa menjadi seorang Syafi’i yang kita kenal kalau tidak memanfaatkan hasil kajian ulama-ulama sebelum beliau.
Waduuh sorry, sudah kepanjangan. Mudah-mudahan ada yang tahan baca sampai selesai 🙂
salam hangat,
=nadir=