Nadirsyah Hosen
(Alumni Fakultas Hukum Northern Territory University, Australia)
Media Indonesia, Senin, 16 April 2001
MEDIA INDONESIA (8/4/01) melaporkan bahwa konon Megawati Soekarnoputri mengajukan tiga syarat untuk menerima tawaran menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid. Jikalau ketiga syarat itu dapat diterima, maka diduga kuat proses memorandum kedua dan sidang istimewa akan berlangsung mulus. Ketiga alasan itu adalah jaminan tidak diganggu sampai 2004, tidak ada sidang tahunan MPR, dan pengosongan posisi wakil presiden.
Dari sudut politik hukum, tawaran tiga syarat Megawati itu –jika berita tentang ketiga syarat ini sahih dari Megawati– akan menimbulkan problem demokrasi dan pada gilirannya akan bisa menghambat perjalanan reformasi bangsa ini. Ketiga syarat tersebut lebih mencerminkan kehati-hatian (untuk tidak menyebut ketakutan) Megawati terhadap manuver kelompok Poros Tengah dan Golkar. Untuk itu, jaminan terhadap nasib Megawati setelah naik menggantikan posisi Gus Dur harus dilakukan. Sayangnya, Megawati lupa bahwa tidak ada jaminan yang abadi dalam politik. Sejarah Poros Tengah dan lebih-lebih lagi Golkar, telah membuktikan bagaimana dengan mudah mereka bisa bergeser mengikuti angin kepentingan politik mereka.
Itulah sebabnya syarat pertama akan jaminan tidak diganggu sampai 2004 adalah absurd. Jauh-jauh hari Amien Rais sudah mengisyaratkan bahwa kalau kelakuan Megawati sama dengan Gus Dur maka Poros Tengah akan `menggusdurkan` Megawati. Ini perlu dilakukan Amien Rais agar terkesan bahwa Poros Tengah tidak sekadar memberikan cek kosong kepada Megawati. Sungguhpun pernyataan Amien Rais sahih ditinjau dari sudut demokrasi, namun secara realitas politik dapat dianggap telah membuka strategi kelompoknya.
Pada satu sisi, adalah kewajiban partai politik untuk `mengganggu` Megawati bila setelah naik menjadi presiden gagal menjalankan amanat reformasi. Ini menunjukkan elemen oposisi di perlemen harus diperkuat dan kritik harus terus dilancarkan pihak legislatif kepada eksekutif. Dari sudut demokrasi alasan Megawati tidak dapat dibenarkan karena tidak bisa eksekutif meminta legislatif tidak menjalankan fungsi kontrol dan pengawasannya.
Pada sisi lain, Megawati harus menyadari bahwa Sidang Istimewa MPR yang dapat membawanya ke posisi puncak negeri ini (setelah ketiga syarat di atas disepakati) hanyalah akan membuka peluang kekuatan Orde Baru bermain kembali. Golkar tengah berupaya mengembalikan pamornya di tengah rakyat dengan cara menunjukkan secara telanjang akan kegagalan reformasi. Logika politik mengatakan bahwa hanya dengan kegagalan reformasi sajalah yang akan membuat Golkar bertahan di panggung politik. Gonjang-ganjing negeri ini semakin menimbulkan kesan pada rakyat bahwa reformasi tidak berhasil membawa kehidupan mereka ke taraf yang lebih baik. Untuk itu, satu per satu kekuatan reformasi harus dibongkar. Sasaran pertama tentu saja adalah Presiden Gus Dur dan kedua tentu Megawati. Jika dwitunggal Gus Dur-Mega gagal membawa kebahagiaan bagi rakyat banyak dan kegagalan itu diperparah akibat tidak harmonisnya hubungan PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dengan Poros Tengah, dapat diduga bahwa kekuatan Orde Barulah yang akan berpesta pora. Rakyat akan dipertontonkan pada ketidakberhasilan reformasi dan, saat itu terjadi, rakyat akan merindukan masa-masa dipimpin oleh Orde Baru. Inilah alasan berikutnya mengapa jaminan `tidak diganggu sampai 2004` tidak perlu dilontarkan.
Salah satu sebab Orde Baru begitu kuat mencengkeram negeri ini adalah karena tumpulnya lembaga MPR. Para anggota MPR hanya bekerja selama kurang lebih sebelas hari dalam lima tahun. Inilah latar belakang lahirnya ide menyelenggarakan Sidang Tahunan MPR. Sayangnya, pengalaman pertama negeri ini menyelenggarakan Sidang Tahunan MPR menyebabkan ketegangan politik yang tidak menentu. Sidang Tahunan yang semula menjadi sarana evaluasi dan kritik nyatanya berubah menjadi forum penghujatan dan pengadilan. Ujung-ujungnya bukan perbaikan yang terjadi namun kompromi politik tingkat tinggi. Menyadari hal tersebut Megawati jauh-jauh hari sudah mengungkapkan ketidaksetujuannya akan diadakannya Sidang Tahunan MPR. Dan kini ketidaksetujuannya diungkapkan kembali. Tentu saja syarat kedua ini terkait erat dengan syarat pertama yaitu `tidak diganggu sampai 2004`.
Syarat ketiga juga patut dipertanyakan. Syarat ini diduga muncul akibat pertemuan Amien Rais dan Yusril Ihza Mahendra yang membahas soal posisi wakil presiden kalau Megawati naik menjadi presiden. Terkesan bahwa Poros Tengah tidak sepenuhnya ikhlas mendukung Megawati dengan berlindung pada keppres soal menjalankan pemerintahan sehari-hari dari Gus Dur ke Megawati. Kalau Megawati naik, maka posisi wakil presiden, di bawah naungan keppres tersebut, akan menjadi kuat. Walhasil, kalau Poros Tengah berhasil mendudukkan orangnya di posisi nomor dua maka Megawati akan menjadi simbol belaka. Skenario yang prematur ini tercium oleh pihak Megawati sehingga Megawati mengajukan syarat ketiga ini.
Sayangnya, Megawati lupa bahwa periode sisa kepemimpinan Gus Dur (jika beliau dilengserkan) masih cukup panjang (sekitar tiga tahun). Ini jauh lebih panjang dari periode transisi Habibie yang hanya satu tahun lebih. Problem bangsa ini tidak cukup ditangani presiden sendiri. Di samping itu, banyak pihak meragukan kapasitas intelektual dan kemampuan manajerial Megawati. Untuk itu, sebaiknya Megawati mengajukan syarat untuk diberi hak menentukan siapa wakil presiden yang mendampinginya alih-alih meminta pengosongan posisi wakil presiden.
Dari sudut demokrasi, syarat ketiga ini dapat memicu lahirnya diktator baru ketika kekuasaan hanya terpusat pada presiden. Dari sudut hukum tata negara, ini dapat menimbulkan preseden buruk ketika seorang presiden menolak didampingi wakil presiden walaupun ia terpilih melalui Sidang Istimewa MPR. Dari sudut politik hukum, syarat ketiga ini semakin menunjukkan bahwa hukum bisa diatur sedemikian rupa oleh kepentingan dan kekhawatiran politik.
Walhasil, kalau dipelajari dengan saksama, ketiga syarat yang diajukan Megawati (sekali lagi, jika syarat ini benar dilontarkan pihak Megawati) akan menghambat demokrasi, mencederai amanat reformasi dan mempolitisasi hukum yang berlaku. Lalu, apa yang harus dilakukan Megawati? Sesuai spirit yang selama ini dia kembangkan, Megawati sebaiknya mengikuti konstitusi yang berlaku. Berikut ini dipaparkan tiga alasan mengapa Megawati harus bersabar menunggu sampai tahun 2004. Pertama, Megawati harus mencermati pergeseran dukungan Poros Tengah kepadanya. Masih terbayang jelas betapa Poros Tengah pada 1999 `menghambat` langkah Megawati dengan isu agama. Sebagian dari Poros Tengah membantah bahwa pihaknya pernah mengharamkan wanita menjadi Presiden; sebagian lagi mengganti alasan agama pada 1999 dengan mengajukan alasan konstitusi pada 2001 ini, yaitu Wakil Presiden (yang kebetulan wanita) dapat menjadi presiden kalau Presiden mundur atau dimundurkan; sebagian lagi menganggap presiden wanita lebih baik ketimbang presiden lelaki, “anggap saja ini keadaan darurat,“ kata mereka.
Perubahan mendadak ini, apa pun alasan mereka, jelas menunjukkan bahwa kepentingan politik jauh lebih besar bagi mereka ketimbang alasan agama. Sebagai seorang hajah bisakah Megawati mempercayai mereka yang telah menjadikan isu agama untuk kepentingan politik sesaat? Dalil agama dikeluarkan jikalau dibutuhkan dan kemudian `ditafsirkan` lain jika angin politik bergeser. Dengan menunggu sampai tahun 2004 Megawati bukan saja berjasa menghentikan politisasi agama yang dilakukan Poros Tengah, namun juga mengandaskan impian politik mereka. Alih-alih berutang budi kepada mereka, Megawati harus bersiap-siap menghadapi pemilu dan sidang MPR tahun 2004. Kalau PDI Perjuangan berhasil memperoleh kursi mayoritas, mereka tidak perlu berutang budi pada Poros Tengah. Ketiga syarat di atas tidak perlu dilontarkan dan tidak ada tawar-menawar posisi. Partai yang memiliki kursi mayoritas akan mengambil semua kursi menteri dan partai-partai lainnya akan menjadi oposisi yang kritis.
Kedua, kondisi bangsa ini sangat parah sehingga siapa pun yang menjadi presiden akan sulit membawa bangsa ini keluar dari kegelapan. Mengambil alih `warisan` Orde Baru (dan juga warisan Gus Dur) bukanlah pekerjaan yang mudah bagi seorang Megawati. Yang harus dilakukan Megawati adalah mendorong Gus Dur berbuat lebih banyak lagi untuk bangsa ini. Dengan cara ini Megawati bukan saja bisa belajar lebih banyak, namun juga bisa `bersembunyi` ketika Gus Dur dianggap gagal. Kata `belajar` di sini bukan bermaksud meragukan kemampuan Megawati. Kata tersebut dihadirkan untuk mengakui potensi kejujuran yang ada pada diri Megawati karena beliau tidak pernah menikmati `manisnya` menjadi pejabat Orde Baru. Namun di sisi lain hal ini juga merupakan pengakuan bahwa ia memiliki jam terbang yang belum cukup untuk mengelola negara ini.
Ketiga, Megawati adalah saksi hidup betapa perihnya melihat permainan politik yang membuat Presiden pertama, Soekarno, keluar dari istana. Ia juga masih menyaksikan ketika Soeharto terpaksa menyatakan berhenti dari posisinya, dan ia juga menyaksikan betapa Habibie ditolak pertanggungjawabannya. Kini ia menyaksikan permainan politik yang dapat menggiring Presiden Gus Dur mengalami nasib serupa. Megawati berkewajiban memberikan pendidikan politik bagi bangsa ini bahwa sudah saatnya kita memiliki Presiden yang turun dengan anggun dan mengakhiri masa jabatannya dengan baik.
Dengan demikian, tahun 2004 nanti adalah saat yang paling tepat untuk Megawati membangun Indonesia baru tanpa harus meninggalkan luka pada siapa pun dan tanpa harus berutang budi kepada siapa pun. Berdikari, berdirilah pada kaki sendiri, wahai Megawati!***