You are here:

Ketika Wasiat dan Syura Berganti Posisi* Beberapa Catatan untuk Ali Syariati

Sebagaimana pemikir Yunani, bagi para pemikir politik Islam, politik terkait dengan etika. Bedanya, jika pemikir Yunani membicarakan keterkaitan itu dalam wilayah filsafat moral, pemikir politik Islam mendiskusikannya dalam naungan teologi.1 Ini indikasi, bahwa bagi Islam persoalan politik tidak terpisah dengan persoalan agama.2

Sejarah politik Islam sarat dengan tarik-menarik antara persoalan politik murni dengan keyakinan teologi. Beberapa aliran teologi besar diduga kuat lahir dari persoalan politik; dan pergantian pemimpin politik biasanya diwarnai isu aliran teologi. Inilah yang kemudian melahirkan “teo-politik”.3 Persoalan tidak berhenti di situ. Persoalan berikutnya, dan ini sangat elementer, adalah apakah Islam sesungguhnya mengenal sistem politik.4 Jawaban terhadap pertanyaan ini akan memicu sejumlah persoalan baru. Semua persoalan itu, kalau dipadatkan dan ditarik intinya, maka akan tampak bahwa semua kembali kepada pertanyaan besar: apakah Rasul – sebagai pemimpin politik – telah menunjuk penggantinya atau tidak?

Jika menengok ke belakang, pada masa antara wafatnya Rasul dan menjelang terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, tepatnya kalau perhatian dipusatkan kepada sebuah “balairung” Saqifah Bani Sa’idah, akan tampak sebuah kenyataan sejarah yang, mungkin tanpa pernah disadari sepenuhnya oleh mereka yang hadir di Saqifah, berakibat panjang dan masih (sangat) terasa dalam kehidupan keberagamaan. Sejarah Saqifah adalah bagian penting dari sejarah politik Islam.5

Pada konteks inilah bisa dijelaskan antusiasme beberapa pakar untuk menulis dan mendiskusikan akar politik Islam itu, yakni peristiwa Saqifah, atau tepatnya proses suksesi sepeninggal Nabi. Ali Syari’ati termasuk di antara pakar yang mengetahui arti sebuah sejarah.6 Lewat karyanya Al-Ummah wa al-Imamah,7 Syari’ati membaca ulang proses peralihan kepemimpinan dari Nabi Muhammad Saw ke Abu Bakar. Syari’ati mencoba menembus batas-batas aliran politik dan justifikasi syari’ah – serta menukik ke dalam semangat tasamuh (toleransi) yang luar biasa, tanpa musti menodai keyakinannya. Ia tidak terjebak pada klaim yang dilancarkan kaum Sunni dan Syi’ah dalam masalah yang sangat sensitif ini.

Hasil bacaan ulang Syari’ati terhadap peristiwa Saqifah amatlah menarik. Hal ini karena pisau sosiologis yang dikedepankannya membuat ia berbeda dengan pakar lain yang “terpaku” pada nash-nash dan doktrin mapan lainnya. Urgensi melihat bacaan ulang Syari’ati terletak pada usahanya untuk menurunkan “derajat” pembahasan dari sesuatu yang bersifat transenden – dan karenanya menimbulkan efek yang masih dirasakan sampai kini – kepada kajian yang bersifat profan dan realis.

Tulisan ini ingin menengok ke belakang, ke masa silam dan mengurai pokok-pokok pikiran Syari’ati tentang Imamah, yang berujung pada hasil bacaan ulang Syari’ati terhadap peristiwa Saqifah. Selanjutnya akan dikemukakan analisis kritis berupa pengujian sosio-historis terhadap argumen Syari’ati dan pada bagian akhir, lewat fiqih siyasah,8 penulis mencoba membaca ulang peristiwa Saqifah tersebut.

Proses Terpilihnya Abu Bakar

Nabi Muhammad adalah pemimpin agama dan politik sekaligus. Ia adalah Nabi yang terakhir. Tidak mungkin ada Nabi lagi sepeninggalnya.9 Artinya, posisi sebagai pemimpin agama (setingkat Nabi) tidak mungkin ada yang meneruskan, tetapi sebagai pemimpin politik (setingkat kepala negara) dapat saja digantikan dan diteruskan oleh sahabatnya. Pertanyaannya: siapa yang menggantikan beliau sebagai pemimpin politik, apa syaratnya, dan bagaimana caranya?

Wafatnya Rasul membuat Madinah bising oleh tangisan. Umat pun bertanya-tanya siapa yang akan memimpin mereka. Sebagian sahabat terkemuka rupanya telah memikirkan hal itu dan berkumpul di “balairung” Saqifah di perkampungan Bani Sa’idah.10 Yang mula-mula berkumpul di sana adalah golongan Anshar: Khazraj dan ‘Aus.11 Umar rupanya Mendengar pertemuan tersebut. Ia mencari Abu Bakar dan menerangkan gawatnya persoalan. Umar berkata, “saya telah mengetahui kaum Anshar sedang berkumpul di Saqifah, mereka merencanakan untuk mengangkat Sa’ad bin Ubaidah (dari suku Khazraj) untuk menjadi pemimpin. Bahkan, di antara mereka ada yang mengatakan dari kita seorang pemimpin dan dari Quraish seorang pemimpin (minna amir wa minkum amir).” Ini dapat membawa pada dualisme kepemimpinan yang tak pelak akan menggoyang “bayi” umat Islam.

Setelah mengerti betapa gawatnya persoalan, Abu Bakar mengikuti Umar ke Saqifah. Di tengah perjalanan keduanya bertemu Abu Ubaidah bin al-Jarrah dan ia diajak ikut serta. Ketika mereka tiba telah hadir terlebih dahulu beberapa kaum Muhajirin yang tengah terlibat perdebatan sengit dengan kaum Anshar. Umar, yang menyaksikan di depan matanya bahwa Muhajirin dan Anshar akan mencabik-cabik ukhuwah Islamiyah, hampir-hampir tidak kuasa menahan amarahnya. Setelah mendengar perdebatan yang terjadi, Abu Bakar mulai berbicara dengan tenang dan ia mengingatkan bahwa bukankah Nabi pernah bersabda, “Al-Aimmah min Quraish (kepemimpinan itu berada di tangan suku Quraish).”12 “Kami pemimpin (umara) dan kalian “menteri”/pembantu (wizara). Telah bersabda Rasul bahwa dahulukan Quraish dan jangan kalian mendahuluinya.”

Abu Bakar tidak lupa mengingatkan kepada kaum Anshar tentang sejarah pertentangan Khazraj dan Aus yang kalau meletup kembali (dengan masing-masing mengangkat pemimpin) akan membawa mereka semua ke alam jahiliyah lagi. Kemudian Abu Bakar menawarkan dua tokoh Quraish, Umar dan Abu Ubaidah. Kearifan Abu Bakar dalam berbicara – di tengah suasana penuh emosional – rupanya mengesankan mereka yang hadir. Umar menyadari hal ini dan ia mengatakan kepada mereka yang hadir bahwa bukankah Abu Bakar diminta oleh Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat kalau Nabi sakit. Umar dan Abu Ubaidah segera akan membai’at Abu Bakar tetapi mereka didahului oleh Basyir bin Sa’ad, seorang tokoh Khazraj Kemudian yang hadir di Saqifah semuanya membai’at Abu Bakar.13 Keesokan harinya Abu Bakar naik mimbar dan semua penduduk Madinah membai’atnya.

Abu Bakar resmi menjadi Khalifah ar-Rasul.14 Kemudian ia pun berpidato, sebuah pidato yang menurut ahli sejarah dianggap sebagai suatu statemen politik yang amat maju, dan yang pertama sejenisnya dengan semangat “modern” (partisipatif-egaliter).15

Benarkah semua sahabat membai’at Abu Bakar? Ternyata tidak.16 Dari yang hadir di Saqifah, Sa’ad bin Ubaidah tidak membai’at Abu Bakar dan tidak pula ikut shalat jama’ah bersamanya. Di antara penduduk Madinah yang tidak hadir di Saqifah dan tidak membai’at Abu Bakar adalah Fatimah az-Zahra. Ali bin Abi Thalib dan Bani Hasyim serta pengikutnya tidak berbai’at sampai enam bulan kemudian, setelah wafatnya Fatimah az-Zahra.

Ketika diberitahukan kepada Imam Ali r.a. tentang peristiwa yang telah terjadi di Saqifah bani Sa’idah setelah Rasulullah wafat, ia bertanya:

“Apa yang dikatakan kaum Anshar?”

“Kami angkat seorang dari kami sebagai pemimpin, dan kalian (kaum muhajirin) mengangkat seorang dari kalian sebagai pemimpin !”

“Mengapa kamu tidak berhujjah atas mereka bahwa Rasulullah Saw telah berpesan agar berbuat baik kepada orang-orang Anshar yang berbuat baik dan memaafkan siapa di antara mereka yang berbuat salah,” tanya Imam Ali lagi.

“Hujjah apa yang terkandung dalam ucapan seperti itu?”

“Sekiranya mereka berhak atas kepemimpinan umat ini, niscaya Rasululullah Saw tidak perlu berpesan seperti itu tentang mereka.”

Kemudian Imam Ali bertanya:

“Lalu apa yang dikatakan orang Quraish?”

“Mereka berhujjah bahwa Quraish adalah ‘pohon’ Rasulullah Saw.”

“Kalau begitu, mereka telah berhujjah dengan ‘pohonnya’ dan menelantarkan ‘buahnya’.”17

Imamah Dalam Pandangan Ali Syari’ati

Syari’ati memulai konsep imamah dengan terlebih dahulu menerangkan makna ummah. Ia membandingkan istilah nation, qaum, qabilah dan sya’b dengan ummah. Baginya, keempat istilah itu – dengan pengecualian pada istilah qabilah – sama sekali tidak mengandung arti kemanusiaan yang dinamis. Hanya saja, kelebihan istilah qabilah ditemukan pula pada istilah ummah. Istilah yang terakhir ini masih memiliki kelebihan lain dibandingkan istilah qabilah, yakni ia mempunyai gerakan yang mengarah pada tujuan yang sama. Dalam istilah ummah, gerak yang mengarah ke tujuan bersama itu justru merupakan landasan ideologis.

Istilah ummah secara terperinci mengandung tiga konsep: kebersamaan dalam arah dan tujuan; gerakan menuju arah dan tujuah tersebut; dan keharusan adanya pimpinan dan petunjuk kolektif. Dari kajian filologi ini, Syari’ati memandang bahwa sesungguhnya tidak mungkin ada ummah tanpa imamah.18 Apa karakteristik imamah itu? Sebagaimana istilah ummah, istilah imamah menampakkan diri dalam bentuk sikap sempurna, di mana seseorang dipilih sebagai kekuatan penstabilan dan pendinamisan massa. Yang pertama berarti menguasai massa sehingga berada dalam stabilitas dan ketenangan, dan kemudian melindungi mereka dari ancaman, penyakit, dan bahaya. Yang terakhir berkenaan dengan asas kemajuan dan perubahan ideologis, sosial dan keyakinan, serta menggiring massa dan pemikiran mereka menuju bentuk ideal.19

Syari’ati memandang umat dan imam dalam kondisi yang dinamis, yang selalu bergerak ke arah perubahan demi tujuan bersama. Ia memandang bahwa tanggung jawab paling utama dan penting dari Imamah adalah perwujuan dari penegakan asas pemerintahan pada kaidah kemajuan, perubahan dan transformasi dalam bentuknya yang paling cepat, lalu melakukan akselerasi, dan menggiring umat menuju kesempurnaan sampai pada lenyapnya ambisi sebagian individu terhadap ketenangan dan kenyamanan.20 Dalam kalimat lain namun senada ia menulis, “Imamah dalam mazhab pemikiran Syi’ah adalah kepemimpinan progresif dan revolusioner yang bertentangan dengan rezim-rezim politik lainnya guna membimbing manusia serta membangun masyarakat di atas fondasi yang benar dan kuat, yang bakal mengarahkan menuju kesadaran, pertumbuhan, dan kemandirian dalam mengambil keputusan.”21

Tugas imam, di mata Syari’ati, tidak hanya terbatas memimpin manusia dalam salah satu aspek politik, kemasyarakatan, dan perekonomian, juga tidak terbatas pada masa-masa tertentu dalam kedudukannya sebagai panglima, amir atau khalifah, tetapi tugasnya adalah menyampaikan kepada umat manusia dalam semua aspek kemanusiaan yang bermacam-macam. Seorang Imam dalam arti seperti ini, tidak terbatas hanya pada masa hidupnya, tetapi selalu hadir di setiap saat dan hidup selamanya.22 Walaupun demikian, Syari’ati mengingatkan bahwa imam bukanlah supra-manusia tetapi manusia biasa yang memiliki banyak kelebihan di atas manusia lain atau manusia super.23

Jika demikian agung dan tinggi hakikat imam, kemudian bagaimana cara pemilihan imam itu? Syari’ati bertanya, “apakah imam dipilih melalui pengangkatan atau pemilihan, ataukah berdasarkan penunjukkan dari Nabi Saw atau imam sebelumnya?” Syari’ati mengajukan sebuah jawaban, “jawabnya – secara teoretis – adalah negatif untuk ketiga-tiganya …” Dalam alinea lain, ia menjelaskan bahwa imam adalah suatu hak yang bersifat esensial yang muncul dari diri seseorang. Sumbernya adalah dari diri imam itu sendiri, dan bukan dari faktor eksternal, semisal pengangkatan atau pemilihan. “Dia adalah seorang imam” lanjut Syari’ati, “tak peduli apakah ia muncul dari penjara al-Mutawakkil maupun dari mimbar Rasul, baik didukung oleh seluruh umat atau hanya diketahui keagungannya oleh tujuh atau delapan kelompok orang saja.”24 Syari’ati menyimpulkan, “… imamah tidak diperoleh melalui pemilihan, melainkan melalui pembuktian kemampuan seseorang. Artinya, masyarakat – yang merupakan sumber kedaulatan dalam sistem demokrasi – tidak terikat dengan imam melalui ikatan pemerintahan, tetapi berdasarkan ikatan orang banyak dengan kenyataan yang ada (pada imam tadi). Mereka bukan menunjuknya sebagai imam, tetapi mengakui kelayakannya (sebagai seorang imam).”25

Jika logika Syari’ati di atas diteruskan, maka persoalannya apakah ada pemisahan lapangan kerja antara imam (yang diakui) dengan khalifah (yang dipilih)? Syari’ati menolak pandangan ini karena akan bermuara kepada pemisahan antara agama dan negara. Kendati demikian, itu selalu identik dengan imamah. Baginya, Imamah terbatas hanya kepada pribadi-pribadi tertentu sebagaimana halnya dengann nubuwah, sedangkan pemerintahan tidak terbatas pada masa, sistem dan orang-orang tertentu. Satu-satunya garis pemisah yang ditegaskan Syari’ati adalah, “pemerintahan (khilafah) itu merupakan tanggung jawab yang tidak terbatas dalam sejarah, sedangkan imamah terbatas, baik dalam masa maupun orangnya. Dengan mengabaian perbedaan tadi, imamah dan khilafah sebenarnya merupakan tanggung jawab yang satu, untuk mencapai satu tujua dengan satu keterbatasan, seperti telah dikemukakan di atas, di mana seorang penguasa tidak selamanya seorang imam.”26

Dalam hubungannya dengan peristiwa Saqifah, ada dua persoalan besar dari alur logika Syari’ati di atas. Pertama, bagaimana hubungan imam dengan khalifah yang ada pada masa yang sama? Kedua, apakah imam tersebut harus dipilih oleh Allah atau Nabi sebagai pilihan yang harus pula diterima oleh umat manusia, kemudian diangkat sebagai imam untuk memimpin mereka dalam bidang politik, ataukah ia dipilih oleh manusia sendiri melalui musyawarah dan pemilihan umum?

Dalam pandangan Syari’ati hubungan khalifah dengan imam yang ada pada satu masa merupakan bentuk hubungan seorang pemimpin spiritual, politik dan sosial dengan penguasa, sebagaimana halnya yang ada pada hubungan antara Gandhi dengan Nehru. Bentuk seperti ini, di mata Syari’ati, adalah bentuk yang wajar, dan pemisahan antara kedua tugas tersebut dapat memberi jaminan bagi tetap terpeliharanya keagungan dan kehormatan imam.

Sepintas memang jawaban Syari’ati bertentangan dengan tidak setujunya ia pada pemisahan kerja khilafah dan imamah, yang menurutnya akan bermuara pada pemisahan antara politik dan agama. Dapat dijelaskan bahwa bagi Syari’ati, pemisahan antara urusan politik atau negara dan agama bukan produk Islam, tetapi produk sejarah Islam yang terpengaruh nilai-nilai nasrani. Pada mulanya, seorang pemimpin mengurusi masalah politik dan agama sekaligus. Ia bagaikn Nabi Muhammad yang memimpin perang tetapi juga menjadi imam sholat. Sejarah Islam kemudian mencatat terjadinya pergeseran yang memisahkan antara khilafah dan imamah dalam bentuk aplikatif. Dan ini tidak disetujui oleh Syari’ati.27 Ini dipersulit dengan terjadinya pemisahan keduanya dalam ruang dan waktu yang berbeda. Terjadi pula pereduksian peranan imamah dan khilafah dalam sejarah Islam, lalu masing-masing ditempatkan dalam medan yang sempit.

Adapun yang dimaksud Syari’ati dengan pemisahan khilafah dan Imamah (atribut/sifat) di atas adalah pada tataran realitas. Ada imam yang diakui oleh sekelompok orang, lalu kelompok yang lain memilih orang lain untuk menjadi khilafah. Di sini perlu diingatkan bahwa, bagi Syari’ati, imamah bukanlah jabatan tetapi atribut (sifat). Penunjukan atas orang lain sebagai khilafah di saat adanya imam, dapat disejajarkan dengan penerimaan terhadap seorang Nabi sebagai seorang Rasul – seperti yang diberlakukan pada Yesus – dan menunjuk orang lain pada jabatan pemerintahan bagi bangsa Arab atau kaum muslim Emperor Islam, sebagaimana halnya dengan Kaisar.28

Bagi Syari’ati, dalam ajaran Islam tidak dikenal pemisahan urusan negara atau politik dengan agama. Jika terjadi pada satu masa adanya imam dan adanya Khalifah maka hubungan yang terjadi adalah bagaikan hubungan Nehru dan Gandhi. Imam meski diam di rumah tidak berarti ke-imam-annya hilang, karena imam adalah atribut (sifat); tanpa melewati pemilihan. Dengan demikian, tanggung jawab dan tugas seorang imam – meski tidak dipilih sebagai khalifah – tetaplah ada.

Berbeda dengan konsep sekular yang betul-betul menghendaki pemisahan antara negara dan agama; dalam konsep Syari’ati, kalau pun harus terjadi – adanya imam dan khalifah dalam satu masa – maka yang ada adalah adanya pemimpin politik dan pemimpin spiritual. Apabila kemudian imam terpilih sebagai khalifah (melalui pemilihan), seperti yang terjadi pada Imam Ali dan Imam Hasan,29 maka bukanlah hal yang tabu bersatunya pemimpin politik dan pemimpin spiritual dalam diri satu pemimpin. Ini yang tidak mungkin terjadi dalam konsep sekular karena pemimpin spiritual bukanlah sebuah sifat tetapi sebuah jabatan tersendiri.

Berangkat dari tesis bahwa imam adalah sifat (atribut), ketika yang bukan imam menjadi khalifah maka bukannya hak imam yang terampas; tetapi yang terampas adalah hak umat manusia.30 Seorang imam tetap menjadi imam meskipun ia tidak menjalankan kekuasaan duniawi. Yang terampas haknya (dari memperoleh manfaat atas kehadiran imam) adalah makmum. Adalah hak umat untuk mendapat bimbingan dari imam dan bila ada “rekayasa” maka yang paling merugi adalah umat; karena umatlah yang terampas haknya.

Persoalan kedua sesungguhnya bermuara pada dua prinsip; pengangkatan dari Tuhan dan ijma’ umat Islam. Sejarah telah menjelaskan bahwa Syi’ah cenderung pada prinsip pertama dan Sunni cenderung pada prinsip kedua. Syari’ati menyerang prinsip kedua yang oleh Sunni dianggap telah menjadi unsur penting pada peristiwa Saqifah. Syari’ati sempat “terbang” ke Konferensi Asia Afrika di Bandung, menyebut Jenderal De Gaul dari Maroko, mengutip Profesor Chandle yang mengatakan, “musuh demokrasi dan kebebasan yang paling besar adalah demokrasi, liberalisme, dan kebebasan individu itu sendiri”, menyerang dunia Barat atas kecurangan mereka dalam memperkenalkan demokrasi, menyerang Robert Kennedy, revolusi kebudayaan di Cina dan revolusi Perancis. Syari’ati menyebut semua itu untuk menyerang demokrasi dan pemilihan pemimpin dengan suara terbanyak.31

Setelah “berbusa-busa” berbicara tentang banyak hal, Syari’ati mulai menyinggung peristiwa Saqifah. Menurutnya, dengan mengabaikan polemik nash-wasiat, di satu sisi, dan syura-bai’at, di sisi lain, dalam peristiwa Saqifah hanya ada lima suara: dua suara dari kabilah Aus dan Khazraj, tiga suara dari Muhajirin, yakni Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah bin al-Jarrah. Itu pun dengan catatan apabila pemimpin kabilah Aus, Sa’id bin Mu’adz, sudah tidak ada lagi, maka otomatis Sa’ad bin Ubaidah, pemimpin Khazraj, menjadi pemimpin tunggal orang Madinah menghadapi kelompok Mekah – yang terakhir ini disebut Syaria’ti telah memiliki kesadaran politik tinggi, sebagaimana terbukti pada akhirnya, di mana mereka (kelompok Mekah) tahu betul apa yang sedang mereka hadapi, dan bagaimana pula seharusnya bertindak.32 Syari’ati bermaksud mengatakan bahwa aspirasi dan kebutuhan penduduk Madinah hanya ditemukan oleh lima suara, yang berarti mengabaikan ratusan suara lainnya, dalam peristiwa Saqifah.

Bagi Syari’ati, sesungghunya prinsip bai’at-syura dan nash-wasiat tidaklah bertentangan sama sekali dan tidak pula ada di antara keduanya yang merupakan bid’ah dan tidak islami. Baik bai’at, musyawarah, maupun ijma’ (demokrasi) adalah salah satu kaidah islamiyah yang diajarkan oleh Al-Quran. Tetapi, Syari’ati tidak lupa menegaskan, “… tidak ada seorang pun yang dapat mengingkari adanya wasiat Rasulullah kepada Ali … Umat harus melaksanakan wasiat ini dan menyerahkan persoalan mereka kepada washi (orang yang diberi wasiat), dan kalau itu tidak mereka lakukan, mereka akan tersesat.”33

Dalam pandangan Syari’ati, wasiat itu berfungsi sepanjang beberapa generasi, hingga kelak tiba pada masanya masyarakat dapat berdiri sendiri di atas kaki mereka, lalu memulai- setelah berakhirnya imamah atau tahap wasiat – tahapan pembinaan revolusioner tertentu, suatu tahap bai’at, musyawarah, dan ijma’ atau apa yang disebut Syi’ah atau para washi Rasulullah berjumlah dua belas imam, tidak lebih. Sementara jumlah pemimpin masyarakat (politik) sesudah wafat Nabi hingga akhir sejarah, jumlahnya tidak terbatas.

Pada masa-masa awal wasiat digunakan dalam proses suksesi. Selanjutnya, menurut Syari’ati, setelah pada tahun 250 H (tahun gaibnya Imam ke-dua belas) baru berlaku prinsip syura. Kalau ini berjalan mulus maka pada 250 H kita telah mempunyai masyarakat yang sempurna bentuknya, dan memiliki kelayakan yang membuatnya patut memilih pemimpin mereka yang paling baik melalui asas musyawarah, yang kemudian menduduki kursi kepemimpinan, dan menggerakkan sejarah sesuai dengan jalur yang telah digariskan oleh risalah Muhammad Saw.

Masa sepeninggal Nabi sampai 250 H adalah masa revolusi yang tidak membutuhkan demokrasi. Sayangnya, menurut Syari’ati, sesuatu yang tidak terduga telah muncul di Saqifah bani Sa’idah dan menyeret perjalanan sejarah Islam ke arah lain. Syari’ati pun berandai-andai, kalau seandainya peristiwa Saqifah itu terjadi pada 250 H dan tidak pada tahun 11 H, niscaya sejarah akan lain bentuknya. Sebab, meminjam istilah Chandle, demokrasi – bagi masyarakat belum maju – merupakan musuh demokrasi itu sendiri.34

Catatan Kritis

Syari’ati memulai bahasannya dengan menjelaskan kaitan organik antara makna ummah dengan imamah. Pada bagian ini kajian Syari’ati lebih menitikberatkan pada pendekatan filologis, ketimbang sosiologis. Menurut hemat penulis, dalam menguraikan benang merah antara konsep ummah dengan imamah, sama sekali tidak berarti bahwa konsep khilafah tidak mendapat tempat dalam ummah. Hal ini perlu digarisbawahi mengingat terma imamah dianggap khas Syi’ah dan terma khilafah khas Sunni.

Hamid Enayat membedakan khilafah dan imamah sebagai kata kunci memahami paradigma politik Sunni dana Syi’ah, di samping kata kunci lain seperti wilayah dan ‘ishmah (Syi’ah), ijma’ dan bai’at (Sunni). Tetapi, perbedaan istilah imamah dan khilafah sesungguhnya hanya berlaku dalam makna aplikatif dan sistemik, keduanya tidak berbeda pada tataran teoretis. Bagi Ibn Khaldun, khilafah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syari’at untuk mewujudkan kemashlahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kemashlahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk padanya. Hakekat khilafah ialah sebagai pengganti fungsi pembuat syari’at dalam memelihara urusan agama dan politik duniawi.36 Ini senada dengan pendapat al-Mawardi akan imamah, yakni, “imamah dibentuk untuk menggantikan fungsi kenabian guna memelihara agama dan mengatur dunia.”37 Artinya, khilafah dan imamah dalam makna yang belum memperoleh sentuhan politis adalah satu makna. Ini berarti mengatakan tidak mungkin ada ummah tanpa imamah – seperti yang disimpulkan Syari’ati – sama maknanya dengan pernyataan: tiada ummah tanpa khilafah.

Sejarah membuktikan bahwa masyarakat, apa pun nama komunitas itu, baik umat, qabilah atau society, memang membutuhkan pemimpin, atau istilah yang setara dengannya seperti khilafah, imam, presiden atau raja. Dalam masyarakat primitif sekalipun seorang pemimpin pasti lahir. Ia merupakan sesuatu yang lahir dari proses kebutuhan sosial masyarakat dalam memenuhi hajatnya baik secara bersama-sama maupun demi kepentingan individu semata.38 Persoalannya , adakah manusia yang sejak lahir (bahkan sejak belum lahir) telah ditakdirkan menjadi pemimpin?

Bagi Syari’ati, imam merupakan sifat atau atribut yang melekat pada diri seseorang. Seorang imam tidak perlu dipilih karena imam bukanlah sebuah jabatan. Dipilih atau tidak ia tetap sebagai imam. Syari’ati dengan tegas ingin mengatakan bahwa ada seseorang yang ditakdirkan dan dilahirkan untuk menjadi imam, yakni melekatnya sifat atau atribut imam itu. Nabi Muhammad memberitahu umat melalui wasiatnya. Lalu kita pun mengetahui bahwa seseorang itu memiliki sifat seorang imam.

Pandangan Syari’ati tersebut perlu segera diberikan catatan. Jika imam itu lebih merupakan sifat atau atribut ketimbang jabatan, mengapa imam masih membutuhkan wasiat untuk memimpin umat? Bukankah dengan atau tanpa wasiat imam tetaplah seorang imam? Persoalannya, kalau ada sekelompok masyarakat menolak seorang imam (dalam arti sifat / atribut) sebagai pemimpin (khalifah, amir atau raja) meskipun telah ada wasiat (yang memberitahu siapa pemimpin sepeninggal Nabi) maka yang tidak diakui, sebenarnya, seseorang yang memiliki sifat imam atau sekelompok orang itu tidak mengakui kebenaran adanya wasiat tentang itu. Pembedaan ini penting, karena jika dipilih alasan yang pertama maka boleh jadi imam itu rupanya kurang menampakkan sifat-sifat keimamannya. Sebagai orang yang memiliki atribut atau sifat imam ia ditolak. Dan ini semata-mata persoalan psiko-sosial masyarakat. Jika alasan kedua yang dipilih maka kita berjalan menyisiri “pantai” teologi.

Tampaknya, para pakar cenderung memilih yang kedua, sehingga persoalan menjadi bersifat teologis. Bagaimana mungkin wasiat Nabi dikesampingkan, kata kelompok yang satu. Kelompok lain menjawab bahwa mereka bukan mengesampingkan wasiat Nabi, tetapi apa betul Nabi berwasiat seperti itu? Pembuktian masalah ini akan dipenuhi dalil dan justifikasi Al-Qur’an dan Hadis. Dan ini yang telah terjadi dalam sejarah Islam. Jika ingin mengikuti alur pemikiran Syari’ati maka sebaiknya dipilih alasan pertama.

Sayangnya, Syari’ati tidak konsisten dengan alur logikanya. Maka imam yang ia ketengahakan tetap bergantung pada wasiat. Imam memiliki kekuasaan atas dasar wewenang39 yang diperoleh dari wasiat. Padahal dari awal Syari’ati telah menegaskan, “salah satu ciri penting yang ingin saya tegaskan dalam kajian saya ini adalah pendekatan sosiologis terhadap masalah ummah dan imamah.”40 Mengaitkan imam dengan wasiat, hemat penulis, telah meruntuhkan bangunan logikanya yang dibangun dengan pendekatan sosiologis. Tetapi itu tidak berarti seluruh argumen Syari’ati inkonsisten. Syari’ati cukup konsisten dengan alur logikanya ketika ia berpendapat jika imam tidak dipilih untuk memimpin umat, maka yang terampas adalah hak umat (dari memperoleh manfaat atas kehadiran imam) bukan hak imam. Ia meletakkan imam secara sistemik dengan masyarakat dan dalam hubungan sosial yang demikian erat. Karenanya, alur logika Syari’ati bisa diteruskan dengan perumpamaan: jika umat tidak memperoleh pelayanan yang maksimal dari aparatur negara maka sesungguhnya yang terampas adalah hak imam (untuk melayani umatnya).

Syari’ati memandang bahwa sesungguhnya wasiat dan musyawarah sama-sama memperoleh justifikasi islami. Yang membedakan keduanya adalah waktu dan kondisi umat. Sepeninggal Nabi “bayi” umat belumlah kokoh dan kuat hingga tidak mungkin dapat menentukan nasibnya sendiri. Umat membutuhkan wasiat untuk menentukan siapa pemimpin mereka. Kelak, saat kondisi umat telah matang, wasiat tidak dibutuhkan lagi dan musyawarah-lah jalan yang tepat. Dalam rentang waktu 11 H sampai dengan 250 H yang dibutuhkan adalah mekanisme wasiat; pertama dari Nabi kemudian dari Imam yang terdahulu. Angka 250 H dipilih Syari’ati karena pada tahun itulah Imam Mahdi (imam kedua belas dalam kepercayaan Syi’ah Imamiyah Itsna Asy’ariyah) gaib dan akan kembali nanti di akhir zaman.41 Setelah 250 H mekanisme yang digunakan adalah musyawarah.

Benarkah umat pada masa awal itu belum matang? Robert N. Bellah, sebagaimana sering dikutip Nurcholish Madjid,42 menganggap masyarakat pada masa itu telah menghasilkan sesuatu yang untuk masa dan tempatnya luar biasa modern. Tetapi, karena prasarana sosialnya pada bangsa Arab dan dunia saat itu belum siap, maka sistem kekhilafahan Islam itu tidak bertahan lama dan diganti dengan sistem “kerajaan” Bani Umayyah. Apabila komentar Bellah ini benar, maka umat pada masa itu bukan belum matang, seperti yang dinyatakan Syari’ati, tetapi, lebih tepat, terlalu matang (modern). Hal ini bisa ditafsirkan bahwa Syari’ati benar ketika mengutip Chandle, “demokrasi – bagi masyarakat belum maju – merupakan musuh demokrasi itu sendiri.” Faktor yang bisa dikemukakan untuk membuktikan belum siapnya umat Islam dengan pemilihan yang terbukan dan “modern” adalah sosialisasi politik yang masih primitif43 dengan ciri seperti, misalnya, tingkat fanatisme kesukuan yang cukup tinggi. Faktor lainnya adalah terdapat kecenderungan “membeo” seperti bila telah ada beberapa orang yang berbai’at maka semuanya akan berbai’at, juga tidak konsisten dalam mekanisme pemilihan khalifah pertama, kedua, ketiga dan keempat.

Pertanyaannya, apakah dengan demikian ide wasiat memperoleh justifikasi? Menurut hemat penulis, terlalu terburu-buru menyimpulkan demikian. Ada faktor yang luput dari perhatian selama ini, yakni mekanisme wasiat tidak menjamin hilangnya perpecahan. Apabila dianggap kelompok Syi’ah merupakan kelompok yang representatif dalam mekanisme wasiat ini, maka yang terlihat adalah ketidakjelasan subjek penerima wasiat setelah Imam Husain. Syi’ah pun terpecah ke dalam beberapa kelompok, seperti Imamiyah, Kaisaniyah, Zaidiyah, dan Ismailiyah, karena saling mengklaim telah menerima wasiat.

Syari’ati berandai-andai, bila mekanisme wasiat ini berjalan maka pada 250 H masyarakat telah sempurna bentuknya. Penulis ingin melihat fakta sejarah sekitar 250 H baik di dunia Sunni secara umum maupun pada kelompok Syi’ah. Kegaiban Imam kedua belas sekitar tahun 250 H (862 M) atau 260 H (873 M) saat Dinasti Abbasiyah masih berkuasa. Pada masa diperintah oleh al-Mu’tamid (260 H) Imam kesebelas Syi’ah wafat dan tidak lama Imam kedua belas pun gaib. Ini bila berpegang pada angka 260 H (angka dari Thabathaba’i) tetapi jika berpegang pada angka 250 H (angka Syari’ati) maka yang berkuasa adalah al-Musta’in.

Jika dilihat masa kekuasaan Abbasiyah yang berkuasa dalam rentang waktu ratusan tahun, maka sekitar tahun 250-260 H adalah periode kedua Abbasiyah, yakni masa-masa kemunduran Khilafah Abbasiyah.44 Pada pemerintahan al-Musta’in berdiri Daulat Zaidiyah di Timur (Iran) yang didirikan oleh Hasan ibn Zaid (keturunan Ali bin Abi Thalib). Pemerintahannya berdasarkan “kerajaan” jika dilihat dari sistem pemilihannya (berdasarkan keluarga dan maula). Daulat ini bertahan selama 100 tahun dan kemudian punah.45 Pendek kata, pada mas itu kekuasaan telah terpecah menjadi beberapa dinasti kecil (seperti dinasti Fatimiyah di Mesir pada 296 H dan berkuasa selama 280 tahun). Terlihat bahwa masyarakat yang “matang” tidak tercapai: bahkan dunia Syi’ah pun dipenuhi perselisihan (misalnya, setelah tahun 140 H lahir sekte Ismailiyah). Sistem pemerintahan juga tidak berdasarkan musyawarah, yang dapat memungkinkan seorang muslim non-bangsawan menjadi khalifah.

Masyarakat sempurna memang tidak terjadi pada 250 H (atau 260 H) dan itu, Syari’ati memberi alasan, karena mekanisme wasiat terpotong oleh peristiwa Saqifah. Di samping alasan Syari’ati terkesan terburu-buru dan merupakan simplifikasi, dunia menyaksikan bahwa pada kondisi umat terpecah-pecah itulah Imam Mahdi gaib. Jadi, Imam Mahdi gaib pada situasi umat yang “tidak sempurna”. Tetapi bukan berarti keadaan kacau-balau. Sejarah mencatat pada sekitar masa Imam Mahdi berada dalam kegaiban beberapa disiplin ilmu dalam Islam mencapai puncak keemasannya. Sekitar dua puluh tahun setelah gaibnya Imam Mahdi, Muhammad Ibn Jarir ath-Thabari (893 M) lahir. Ia kemudian dikenal sebagai mufassir dan juga ahli fiqih terkemuka. Sekitar dua puluh tahun setelah gaib Imam Mahdi juga wafat at-Tirmidzi (892), Ibn Majah (886), Abu Dawud (888). Ketiganya merupakan ahli hadis terkemuka di samping Bukhari (wafat 870 M) – semasa dengan Imam ke-sebelas – dan Muslim (wafat 875).

Apa komentar Syaria’ti terhadap kemajuan ilmu agama pada masa itu?46 Syari’ati menyerang kondisi “keemasan” itu dan menganggap dinasti Abbasiyah telah mendepolitisasi rakyat dan mengalihkan perhatian mereka dari masalah-masalah politik yang aktual dan soal-soal tentang “benar-salah” dengan jalan mendukung pertumbuhan ilmu pengetahuan, kesenian, kesusasteraan, penemuan ilmiah, argumen filosofis, dan penerjemahan, serta peniruan warisan dan budaya bangsa-bangsa lain. Pertumbuhan “ilmu-ilmu agama” memaksa soal-soal penting menyangkut agama terdesak ke belakang.47Walhasil, Syari’ati tidak puas pada situasi masa Abbasiyah. Pada situasi yang tidak memuaskan itulah Imam Mahdi gaib, dan Syari’ati mengusulkan mulai diberlakukannya sistem musyawarah, sebagai ganti wasiat.

Tetapi, apakah memang pernah terjadi praktek musyawarah dalam pemilihan pemimpin? Tentu tergantung dalam memberi makna pada terma musyawarah.48 Syari’ati memandang peristiwa Saqifah hanya “mengatasnamakan” musyawarah. Bagaimana mungkin terdapat musyawarah jika di sana hanya ada empat atau lima suara sementara hasil musyawarah menyangkut kepentingan seluruh penduduk Madinah dan sekitarnya? Apabila diterima pendapat Syari’ati bahwa musyawarah di sana “diragukan” keabsahannya (karena hanya diwakili lima suara), maka dapatkah disimpulkan bahwa sebenarnya dalam rentetan sejarah Islam, khususnya pemilihan pemimpin, musyawarah telah ditendang jauh-jauh. Tentu saja hal ini berlebihan. Bagi penulis, jumlah lima suara dalam Saqifah itu absah. Hanya saja, perlu diperhitungkan apakah benar mereka yang tidak hadir di Saqifah terakomodasi dalam kelima suara itu? Jadi, jika Syari’ati mempersoalkan jumlah suara (yang hanya lima), penulis tidak peduli lima suara atau dua suara sekalipun, tetapi apakah jumlah suara (dua, lima atau seratus) memang dapat mengakomodir aspirasi umat. Dan ini bukan saja problem umat dan mereka yang hadir di Saqifah, tetapi juga problem demokrasi masa kini. Perdebatan sistem pemilu distrik atau proporsional yang tengah marak di Indonesia, sebagai contoh, sebenarnya juga berujung pada persoalan mengakomodasi aspirasi rakyat.

Peristiwa Saqifah: Tinjauan Fiqih Siyasah

Peserta Saqifah, pendukung Ali, pendukung Abu Bakar dan para ulama tentu mempunyai alasan masing-masing dalam menilai terpilihnya Abu Bakar. Alasan itu seringkali dipenuhi dalil demi dalil; hingga dalil dibantah dalil. Lewat formula “tarjih” dan pendekatan Fiqih Siyasah, di bawah ini penulis akan berandai-andai.

Jika diterima riwayat yang mengatakan bahwa Nabi telah menyuruh Abu Bakar untuk menggantikannya menjadi imam sholat, sehingga pendukungnya berkata, “Nabi telah mempercayainya dalam urusan akhirat, lalu mengapa kita tidak mempercayainya dalam urusan dunia?”, kemudian diterima pula riwayat tentang wasiat Nabi yang menyatakan bahwa sepeninggal beliau Ali bin Abi Thalib-lah yang akan memimpin umat. Sekali lagi, jika kedua riwayat ini diterima, maka apa yang terjadi?

Pendukung Abu Bakar telah melakukan analogi, atau qiyas dalam bahasa usul fiqih. Sementara pendukung Ali menggunakan hadis (nash) sebagai dasar dukungannya. Jika kedua riwayat di atas diterima, maka berarti telah terjadi pertentangan antara qiyas dengan nash. Dalam konsepsi hukum Islam, bila nash dan qiyas dipertentangkan maka qiyas dikesampingkan. Lalu, apakah pendukung Ali menjadi “benar”, dan pendukung Abu Bakar telah “keliru”?

Boleh jadi pendukung Ali memang “benar”, namun pendukung Abu Bakar belum tentu “keliru”. Bukankah dalam pengambilan konklusi diperlukan tidak saja “dalil intern” tetapi juga “dalil ekstern”. “Dalil intern” adalah nash, ijma’ dan qiyas; sedangkan “dalil ekstern” adalah keadilan, kemashlahatan, kesejahteraan, skala prioritas atau kebutuhan, dan sebagainya. Dengan alasan gentingnya persoalan bisa saja sebuah “dalil ekstern” mengalahkan “dalil intern”. Dalam konteks Saqifah, dapat dibayangkan seandainya perpecahan semakin memuncak dan budaya jahiliyah menyeruak ketengah-tengah pertemuan itu. Maka kemashlahatan umat dapat dipertimbangkan sehingga pengabaian nash itu terjadi.

Keputusan yang diambil “wakil umat”49 untuk mengabaikan nash demi kemashlahatan bisa dimaklumi, dan ini dibenarkan dalam Fiqih Siyasah. Tetapi, sayangnya, pengabaian nash ini berlangsung tidak hanya dua tahun (masa Abu Bakar) tetapi juga berlanjut dengan penunjukan Abu Bakar terhadap Umar untuk menggantikannya. Pada peristiwa terakhir ini sulit mentolelir keengganan Abu Bakar untuk menunjuk Ali sebagai khalifah. Agaknya, tidak ada alasan yang kuat, baik “dalil intern” maupun “dalil ekstern”, untuk lebih memilih Umar dibanding Ali. Kalaupun ada yang mencoba menjelaskan (atau membela) keputusan Abu Bakar itu, kelihatannya tidak lebih sebagai “rasionalisasi”. Jadi, yang justru menjadi persoalan adalah pengabaian nash oleh Abu Bakar saat Umar ditunjuk (atau wasiat?) menjadi khalifah dan diteruskan saat terpilihnya Usman. Pengabaian nash tanpa alasan dan kondisi yang memungkinkan tentu menjadi persoalan besar. Fiqih Siyasah tidak dapat membenarkan hal yang terakhir ini.

Tentu saja, analisa di atas baru berlaku bila memang benar Ali mendapat wasiat Nabi untuk menggantikannya, dan jika juga benar Nabi menyuruh Abu Bakar menggantikannya menjadi imam shalat. Apabila diandaikan kedua riwayat itu tidak benar, lalu bagaimana Fiqih Siyasah merespon peristiwa Saqifah? Tentu saja, keputusan itu sah, selama memenuhi keadilan, sesuai dengan asas musyawarah, menjamin kemashlahatan umat dan sebagainya, meskipun tidak ada dalil khusus tentang keputusan itu.50

Penutup

Beberapa komentar di atas tentang pemikiran Syari’ati agaknya tidak akan sedikitpun menciderai kenyataan – seperti diakui beberapa penulis – akan besarnya sumbangan pemikiran Syari’ati terhadap Revolusi Islam Iran.51

Mengenai pendekatan Fiqih Siyasah dalam peristiwa Saqifah segera terlihat bahwa Fiqih Siyasah hanya meletakkan dasar-dasar dan terkesan tidak memuaskan. Fiqih Siyasah bermain dengan terma yang abstrak (musyawarah, keadilan, kemashlahatan) dan dapat diartikan oleh semua pihak menurut “seleranya”. Pengujian terhadap nilai-nilai musyawarah, keadilan dan kemashlahatan, yang telah diletakkan kerangkanya oleh Fiqih Siyasah, dalam suatu masyarakat sebaiknya dilakukan lebih jauh dengan pengujian sosio-historis – yang terakhir ini telah lebih dahulu dilakukan Syari’ati.

Akhirnya, sejarah Saqifah meski disikapi dengan secara arif. Namun ini tidak berarti membiarkan lempengan sejarah sebagai barang rongsokan dan harus dimusiumkan. Pembahasan masa lalu amat penting dan bermanfaat, asalkan tidak “membudak” pada salah satu golongan dan tidak semata-mata melihat dari pendekatan teologi. Pada titik ini kita semua sepakat bahwa Syari’ati, betapa pun belum sempurna, telah mencoba untuk tidak “membudak” pada golongan tertentu dan mencoba keluar dari perdebatan teologi, yang seringkali tidak lagi jelas ujung pangkal persoalannya.

 

Catatan Kaki:

* Artikel dari Buku “Melawan Hegemoni Barat – Ali Syari’ati dalam Sorotan Cendekiawan Indonesia”, Editor: M. Deden Ridwan, Penerbit PT Lentera Basritama, Jl.Mesjid Abidin No.15/25 Jakarta, Juli 1999 M, h.131-172.

1 Ann K..S. Lambton, State and Government in Medieval Islam, an Introduction to The Study of Islamic Political Theory: The Jurist (Oxford: Oxford University Press, 1991), h.xiv

2 Lihat Nurcholish Madjid, “Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni,” dalam Budy Munawar-Rachman (editor), Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1994), h.588. Bandingkan dengan Ahmad Syalabi, [1], al-Hukumah wa ad-Daulah fi al-Islam (Mesir: an-Nahdhah al-Misriyah, 1958),h.8-9

3 Istilah “teo-politik” digunakan untuk menjelaskan kecenderungan sebagian pihak yang mencari justifikasi politik dengan menjadikan teologi sebagai basis, atau sebaliknya, memilih aliran teologi atas dasar kepentingan politik. Perlu ditambahkan bahwa istilah ini tidak mesti bermakna peyoratif, karena ada kalanya keyakinan teologi melahirkan perilaku politik yang bukan saja diwarnai konsep teologi, tetapi juga mencerminkan etika qurani. Misalnya, sikap politik Umar bin Abdul Aziz ketika tidak mengikuti mainstream politik yang berkembang saat itu.

4 Penjelasan lebih lanjut, lihat Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990). Bandingkan dengan Nazih N. Ayubi, Political Islam: Religion and Politics in the Arab World (London: Routledge, 1991), h.1-10

5 Begitu pentingnya peristiwa itu, sehingga Jalaluddin Rakhmat setuju digunakannya istilah skisma (istilah yang sesungguhnya khas kristiani) untuk menunjuk pada pertentangan besar dua kubu dalam proses kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Lihat Jalaluddin Rakhmat, [1], “Skisma dalam Islam: Sebuah Telaah Ulang,” dalam Budhy Munawar-Rachman (editor), op.cit., h. 692-694

Dalam tulisannya yang lain, Jalal beranggapan bahwa peristiwa Saqifah adalah fitnah al-kubra pertama dalam Islam. Lihat Jalaluddin Rakhmat, [2], “Ukhuwwah Islamiyah Perspektif Al-Qur’an dan Sejarah”, dalam Haidar Bagir (editor), Satu Islam Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1986), h. 83

6 Dalam salah satu artikelnya, “Why Read Islamic History?” [telah diterjemahkan dan dikumpulkan dalam Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1992),h.34-42] Syari’ati mengulas pentingnya membaca dan mempelajari sejarah Islam guna memahami hal-hal kekinian.

7 Buku ini telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Afif Muhammad dengan judul Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989)

8 Fiqih Siyasah dan Siyasah Syar’iyah (dengan huruf “s” besar) mengandung makna yang sama. Siyasah Syar’iyah bagi para fuqaha adalah:

“Wewenang waliy al-amri dalam mengerjakan sesuatu atas dasar maslahah yang tidak bertentangan dengan dasar-dasar agama meskipun tidak terdapat dalil khusus.” Lihat Abdul Wahab Khalaf, as-Siyasah asy-Syar’iyah (Cairo: Salafiyah, 1350 H), h.3. Sebagian ulama mendefinisikannya dengan:

Ilmu yang di dalamnya dibahas pengaturan urusan Daulah Islamiyah berupa undang-undang dan sistem yang sesuai dengan dasar-dasar Islam meskipun dalam mengaturnya tidak terdapat dalil khusus (Ibid., h.4)

Siyasah Syar’iyah (“s” besar) terbagi dua: siyasah syar’iyah (“s” kecil) dan siyasah wad’iyah. Abdurrahman Taj membedakan keduanya. Siyasah syar’iyah adalah segala hukum, peraturan atau perundang-undangan untuk mengatur persoalan umat yang bersumber atau bertumpu pada dasar-dasar agama Islam guna melindungi mashlahat dan menghindari madharat. Sedangkan, siyasah wad’iyah adalah segala peraturan yang dibuat oleh manusia untuk mengatur persoalan umat dan bersumber dari atau bertumpu pada ‘urf (adat kebiasaan), pengalaman, pandangan para pakar dan sebagainya, tanpa ada pertalian dengan wahyu atau sumber hukum Islam. Lihat Abdurrahman Taj, as-Siyasah asy-Syar’iyah wa al-Fiqh al-Islami (Mesir: Dar at-Ta’rif, 1953), h.10-11. Cetak miring dari penulis.

Pertanyaan yang seringkali dibahas dalam fiqih siyasah adalah apakah suatu keputusan atau peraturan dipandang islami meski tidak berkenaan dengan masalah agama, bahkan walaupun keputusan atau peraturan itu secara lahiriyah bertentangan dengan ajaran agama? Umumnya dalam fiqih siyasah suatu keputusan atau peraturan itu dipandang islami jika memenuhi beberapa syarat. Misalnya, keputusan atau peraturan itu diambil melalui jalan musyawarah dan bertujuan untuk memenuhi kemashlahatan semua golongan (mashlahat al-‘ammah). Pada titik ini, fiqih siyasah dipandang absah dipakai sebagai suatu pendekatan untuk menilai keputusan atau peraturan yang dibuat oleh eksekutif dan atau legislatif: apakah islami atau tidak.

9 Dalam konteks Islam, pemisahan atau tepatnya pembedaan posisi pemimpin agama dengan pemimpin politik tidak berarti bahwa pemimpin politik tidak concern dengan persoalan agama; atau tidak berarti bahwa pemimpin agama tidak peduli dengan masalah politik. Sebaliknya, bahkan mereka harus menjiwai dan menjalankan ajaran agama. Pembedaan ini hanya untuk menunjukkan lapangan kerja yang berbeda. Hal ini tentu berbeda dengan kalangan nasrani: “Berikan kaisar haknya, dan berikan hak Tuhan pada-Nya”. Maka, alinea di atas harus dipahami bahwa Muhammad adalah Nabi dan kepala negara sekaligus. Suksesi sepeninggalnya hanya pada lapangan kepala negara, tetapi tidak berarti pemimpin setelahnya sama sekali tidak memiliki otoritas keagamaan, meski tidak sebesar otoritas yang dimiliki Nabi.

Meski demikian, ada pula ulama yang berpendapat bahwa tidak ada keharusan mempunyai khalifah, dan Nabi semata-mata seorang Rasul yang tidak memiliki kekuasaan duniawi, negara atau pemerintahan. Yang berpendapat semacam itu adalah Ali Abdul Raziq dari Mesir. Untuk mengetahui lebih jauh pemikirannya, lihat, antara lain, Ali Abdul Razik, al-Islam wa Ushul al-Hukm, Kairo, 1925. Bantahan terhadap pendapat terakhir ini cukup banyak, salah satunya Dhiya’ ad-Din ar-Rais, al-Islam wa al-Khalifah fi al-‘Ashr al-Hadis, (Naqd kitab al-Islam wa Ushul al-Hukm) (Kairo: Dar at-Turas, 1972). Bandingkan dengan Ahmad Syalabi, [2] as-Siyasah fi al-Fikr al-Islami (al-Qahirah: Nahdhah al-Misriyah, 1983), h. 35-38.

10 Peristiwa Saqifah yang diceritakan ini didasarkan kepada ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Mulk, jilid IV, h.38-41; Munawir Sjadzali, op.cit, h. 21-23 ; Jalaluddin Rakhmat, [2], op.cit. h. 84-89

11 Aus dan Khazraz adalah dua suku di Madinah yang selalu bermusuhan sebelum kedatangan Nabi Muhammad. Akar permusuhan yang telah “mendarah daging” itu seringkali menimbulkan letupan kecil pada masa Nabi, sungguhpun demikian figur Nabi Muhammad berhasil meredam. Hanya saja, siapa yang dapat menjamin mereka tidak akan membuka luka lama sepeninggal Nabi.

11 Lihat al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyah (Mesir: Musthafa Babi al-Halabi wa Auladuh, 1996), h.6; Ibn Khaldun, Muqaddimah (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h.94. Berbeda dengan al-Mawardi dari pemikir Muslim Klasik dan pertengahan, Ibn Khaldun tidak memahami teks al-Aimmah min Quraish secara harfiah. Sesuai teori ashabiyahnya, ia memahami bahwa yang ditekankan adalah sifat dan kemampuan suku Quraish yang saat itu di atas suku lain. Quraish merupakan suku Arab paling terkemuka dengan solidaritas kuat, dominan, dan berwibawa. Jadi, teks itu harus dibaca: kepemimpinan itu harus berada pada mereka yang memiliki ciri-ciri suku Quraish, dan tidak harus selalu orang Quraish. Persoalannya,, apakah penjelasan Ibn Khaldun itu sama dengan yang dipikirkan mereka yang hadir di Saqifah, lebih khusus lagi dengan Abu Bakar yang menyetir teks itu.

11 Bai’at sesungguhnya telah dipergunakan sejak masa Nabi. Nabi sendiri sering melakukannya, misalnya, bai’at ar-ridwan dan bai’at al-aqabah. Imam an-Nasa’i mengelompokkan bai’at ke dalam sepuluh macam. [Lihat An-Nasa’i, Sunan an-Nasa’i bi Syarhi as-Suyuthi (Beirut: Dar al-jil, 1989), juz VI, h.683-684]. Inti baiat adalah janji untuk setia dan patuh kepada Nabi serta akan mengamalkan dan membela ajaran Islam. Istilah baiat ini rupanya diteruskan sepeninggal Nabi, namun mengalami pergeseran makna. Pada masa khalifah, baiat menjadi ikrar politik, yang tanpanya seorang khalifah tidak akan diakui. Lebih lanjut, lihat al-Mahami Ahmad Husein Ya’qub, an-Nizam as-Siyasi fi al-Islam (Qoum: Anshariyah, 1312 H), h. 69-75; Fathi Osman , “Bay’ah al-Imam: Kesepakatan Pengangkatan Kepala Negara Islam,” dalam Mumtaz Ahmad (editor), Masalah-Masalah Teori Politik Islam (Bandung: Mizan, 1993), h. 75-116

14 Analisis terhadap istilah khalifah berikut pergeseran maknanya secara menarik diberikan oleh W.Montgomeri Watt, [1], Pergolakan Politik Islam (Jakarta: P3M, 1988), h. 50-54. Bandingkan dengan Bernard Lewis, Bahasa Politik Islam (Jakarta: Gramedia, 1994), h. 61-71

15 Lihat Nurcholish Madjid, “Agama dan Negara dalam Islam: Telaah atas Fiqh Siyasy Sunni,” dalam Budhy Munawar-Rachman, op.cit.,h.592

16 Umar berpidato,” … berdirilah kalian dan berbai’atlah kalian (kepada Abu Bakar). Sungguh saya telah berbai’at kepadanya dan Anshar pun demikian.” Kemudian Usman berdiri, diikuti bani Umayyah, lalu semua berbai’at. Sa’ad bin Abi Waqash dan Abdurrahman bin Auf beserta sukunya berdiri dan berbai’at pula. Sedangkan bani Hasyim berbai’at dengan tekanan (paksaan). Demikian diceritakan al-Mahamy Ahmad Husin Ya’qub, op.cit., h.155-156

17 Seperti diriwayatkan dalam Nahj al-Balaghah Syarh Muhammad Abduh (Bandung: Mizan, 1990), terj. Muhammad al-Baqir, h.63-64. Maksud Imam Ali, bila Quraish pohon Rasul, maka Ali adalah buahnya. Ini bisa dimengerti mengingat dalam suku Quraish, bani Hasyim dan bani Umayyah adalah dua klan terhormat. Dan, Ali jelas merupakan pemuda bani Hasyim yang terhormat, mengingat Hamzah telah wafat dan Abbas pun baru masuk Islam, selain itu Abu Sufyan dari bani Umayyah baru masuk Islam pula. Jadi dari silsilah itu, seharusnya, jika al-Aimmah min Quraish dipahami secara lahiriyah maka hanya Imam Ali yang berhak menduduki jabatan khalifah. Tetapi ada juga yang menolak argumen ini. M.A. Shabhan melihat Ali yang masih sekitar tiga puluh tahun tidak mungkin diterima umat. Maka, jika logika di atas diteruskan sebenarnya Abu Sufyan yang harus menjadi khalifah. Untuk menghindari ini, maka diambillah Abu Bakar sebagai jalan tengah, orang Quraish tetapi bukan bani Hasyim dan bani Umayyah. Lihat M.A. Shabhan, Sejarah Islam Penafsiran Baru (Jakarta: Rajawali Press, 1993), h.24-25

Persoalannya, apakah “rasionalisasi” yang dikemukakan Shabhan memang hinggap di kepala mereka yang hadir di Saqifah? Penulis cenderung meragukannya, karena dalam situasi mendadak, emosional, dan genting sukar sekali membayangkan peserta Saqifah berpikir seperti Shabhan

18 Ali Syari’ati [1], Ummah dan Imamah: Suatu Tinjauan Sosiologis (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1989), terj. Afif Muhammad, h.53

19 Ibid, h.63

20 Ibid, h.64

21 Ali Syari’ati, [2] Islam Mazhab Pemikiran dan Aksi (Bandung: Mizan, 1992), h. 65

22 Ali Syari’ati [1], op.cit., h. 114

23 Ibid, h. 129

24 Ibid, h.141-143

25 Ibid, h.145

26 Ibid, h. 156-158

27 Ada dua makna imamah: imamah dalam arti jabatan dan imamah dalam arti sifat / atribut. Pemisahan imamah dan khilafah (dalam arti jabatan) akan bermuara pada pemisahan negara dengan agama. Pemisahan khilafah dan imamah (sifat / atribut) tidak bermuara ke sana. Dan yang terakhir ini yang disetujui Syari’ati.

28 Ali Syari’ati, [1], op.cit., h.161

29 Kebanyakan orang lupa bahwa Imam Hasan pernah menjadi Khalifah sepeninggal Imam Ali. Memang, penyebutan khalifah setelah Imam Ali acapkali langsung loncat pada Mu’awiyah. Lihat Abu al-A’la al-Maududi, Khilafah dan Kerajaan (Bandung: Mizan, 1990), h. 189 ; W.Montgomery Watt, [2], Kejayaan Islam (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), terj. Hartono Hadikusumo, h. 12

30 Kesimpulan Syari’ati ini ditentang oleh banyak ulama Iran, termasuk ayahnya sendiri, Muhammad Taqi Syari’ati. Lihat Ali Syari’ati, [1], op.cit., h.165. Haidar Bagir ketika memberi pengantar pada buku tersebut menulis, “Ia (Syari’ati, pen.) berupaya untuk menghilangkan kesan bahwa ketiga sahabat utama Nabi itu telah “merampas” hak Ali.” Bagir juga memberi catatan bahwa pendapat ini boleh jadi merupakan perkembangan belakangan sikap Syari’ati, jika dilihat pandangannya yang cukup keras sebelumnya, mengenai masalah yang sama. Ibid., h.15-16

31 Ibid, h.167-192

32 Ibid, h. 193-194

33 Ibid, h. 202-203

34 Ibid, h. 204-205

35 Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought: The Response of The Shi’i and Sunni Muslims to The Twentieth Century (London: The Mac Millan Press, 1982), h.6

36 Ibn Khaldun, op.cit.,h.191

37 Al-Mawardi, op.cit.,h.5

38 Tentang makna kepemimpinan dalam disiplin sosiologi, lihat Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. 312-324

39 Masalah kekuasaan dan wewenang dalam Islam, lihat Mohammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru (Jakarta: INIS, 1994), h. 209-238

40 Ali Syari’ati, [1], op.cit.,h.19

41 Ulama Syi’ah yang lain, Allamah Mulla Husain Thabathaba’i berpendapat bahwa Imam Mahdi gaib pada 260 H (bukan 250 H), dan diyakini oleh kaum Syi’ah bahwa pada tahun itu imam berada dalam kegaiban kecil, karena ia masih memiliki wakil khusus sampai empat orang. Setelah orang keempat wafat (70 tahun setelah kegaiban kecil) maka dimulailah masa gaib besar sampai akhir zaman nanti. Pada waktu yang telah ditentukan itulah nanti, menurut kepercayaan Syi’ah, Imam Mahdi akan muncul dari kegaibannya selama ini. Lebih jelasnya, lihat M.H.Thabatha’i, Shi’ite Islam (Jakarta: Grafiti Pers, 1989), terj. Djohan Effendi, h.241-246

42 >Lihat Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1992) h. 114

43 Tentang sosialisasi politik pada masyarakat primitif, lihat Michael Rush dan Philip Alfhoff, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), h. 102-103

44 Mengenai sebab-sebab kemunduran dan kejatuhan dinasti Abbasiyah, lihat Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press, 1988), h. 126-136; W.Montgomery Watt, [2], h.165-166

45 Lihat Hamka, Sejarah Umat Islam (Kuala Lumpur: Pustaka Antara, 1980), h.254

46 Tentang kemajuan pada masa itu, lihat Philip K. Hitti, History of The Arabs, edisi kesepuluh, h. 297-316

47 Ali Syari’ati, [3], Membangun Masa Depan Islam (Bandung: Mizan, 1989), h.31

48 Dalam hal ini, kita harus berhati-hati dalam menterjemahkan kata syura. Boleh jadi syura itu bukan musyawarah seperti yang dikenal dalam budaya Indonesia; juga bukan bermakna demokrasi seperti yang dikenal dalam dunia Barat. Bisa saja syura itu bermakna konsultasi. Tentu saja studi lebih lanjut diperlukan, tetapi untuk sekedar pengantar bisa dilihat arti, penggunaan, dan pergeseran makna syura dalam Bernard Lewis, op.cit. h.194-202

49 Fiqih siyasah tidak mengatur secara tegas mengenai jumlah “wakil umat” atau yang dikenal dengan ahl al-hall wa al-aqd. Ini disesuaikan dengan kondisi dan preseden yang ada.

50 Lihat asas-asas tersebut dalam Abdul Wahab Khallaf, op.cit., h.19 dan Abdur Rahman Taj, op.cit., h.31

51 Lihat Ervand Abraham, Iran: Between two revolutions (New Jersey: Princeton University Press, 1983), h.464-467; Shaghrough Akhavi, Religion and Politics in Contemporery Iran: Clergy-State Relation in The Pahlevi Period (Albany: State University of New York Press, 1980), h.143-178: Riaz Hasan, Islam dan Konservatisme sampai Fundamentalisme (Jakarta: CV Rajawali, 1985), h. 91-95